Akta perjanjian perkawinan wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun pada praktiknya terdapat persoalan dimana para pihak yang terdiri dari 2 (dua) pihak, salah satu penghadapnya, yaitu WNA tidak mengerti bahasa Indonesia. Dalam hal ini Notaris digugat oleh penghadap WNA dengan surat gugatannya yang diputus oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Denpasar dalam Putusan Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. yang menyatakan bahwa akta perjanjian perkawinan yang dibuat Notaris tersebut batal dengan segala akibat hukumnya. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai pelanggaran oleh Notaris terhadap akta perjanjian perkawinan yang merugikan warga negara asing dan alasan pembatalan akta perjanjian perkawinan para pihak dikaitkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian doctrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris adalah Notaris tidak menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap dan tidak juga memanggil seorang penerjemah resmi untuk menerjemahkan atau menjelaskan isi akta tersebut, sehingga Notaris melanggar kewajiban jabatannya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan akta perjanjian perkawinan tersebut menjadi batal demi hukum karena tidak memenuhi kekuatan hukum pembuktian lahiriah dan materiil. Selain memperhatikan pembuatan akta perjanjian perkawinan dalam UUJN, perlu melihat undang-undang terkait dalam pembuatannya, dalam hal ini Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengenai harta bersama dan kepemilikan hak atas suatu tanah, sehingga tidak ada kontradiksi pada substansi pasal-pasalnya yang dapat merugikan WNA. Dengan dibatalkannya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak tersebut, maka keadaan menjadi seperti semula dan harta tersebut menjadi harta campur bersama antara WNA dan WNI, sehingga para pihak wajib melepaskan hak milik tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun dan hak tersebut hapus karena hukum dengan tanah jatuh kepada negara. Berdasarkan hal tersebut, Notaris harus memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta dan perbuatan hukum yang akan dilakukan sebagaimana Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, sehingga para penghadap dapat teredukasi dengan baik dengan segala akibat-akibat hukum yang akan terjadi di kemudian hari.
The marriage agreement deed must be made in the Indonesian language. However, in practice, there are problems where the parties consist of two parties and one of the opponents, namely the foreigner, does not understand Indonesian. In this case, the Notary was sued by the foreign plaintiff with his lawsuit, which was decided by the Panel of Judges at the Denpasar District Court in Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. stating that the marriage agreement deed made by the notary is null and void with all the legal consequences. The problems in this study regarding violations by a notary of the marriage agreement deed that harm foreign citizens and the reasons for canceling the marriage agreement deed of the parties are related to Denpasar District Court Decision Number 1308/Pdt.G/2019/PN.Dps. This study uses a form of doctrinal research. The results of the study show that the violation committed by the Notary is that the Notary does not translate or explain the contents of the deed in a language understood by the appearer and does not also call an official translator to translate or explain the contents of the deed, so that the Notary violates his position obligations in Article 16 paragraph (1) letter a of the Notary Office Law (UUJN) and the deed of the marriage agreement becomes null and void because it does not fulfill the legal force of proof outwardly and material. In addition to paying attention to the making of the marriage agreement deed in the UUJN, it is necessary to look at the relevant laws in making it, in this case Article 35 of the Marriage Law (UUP) and Article 21 of the Basic Agrarian Law (UUPA) regarding joint property and ownership of rights to a land, so that there are no contradictions in the substance of the articles that could harm foreigners. With the cancellation of the marriage agreement deed made by the parties, the situation will return to normal, and the property will become joint property between the foreigner and the Indonesian citizen, so that the parties are obliged to relinquish these ownership rights within a period of one year, and these rights are nullified because the law with land falls to the state. Based on this, the Notary must provide legal counseling related to the making of the deed and legal actions that will be carried out as per Article 15 paragraph (2) letter e UUJN, so that appearers can be properly educated with all the legal consequences that will occur in the future.