UI - Skripsi Membership :: Kembali

UI - Skripsi Membership :: Kembali

Penghapusan Pemanggilan Paksa DPR RI Pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XVI/2018) = The abolition of the Forced Summons of DPR RI in Law Number 2 of 2018 concerning the People's Consultative Assembly, the People's Representative Council, and the Regional People's Representative Council (Study of Constitutional Court Decision Number 16/PUU-XVI/2018)

Muhammad Riyan Rizki; Nur Widyastanti, supervisor; Qurrata Ayuni, supervisor; Ryan Muthiara Wasti, examiner; Ghunarsa Sujatnika, examiner; Titi Anggraini, examiner (Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023)

 Abstrak

Pemanggilan paksa merupakan mekanisme untuk memanggil seseorang dalam rangka meminta keterangannya terkait suatu permasalahan tertentu, ketentuan terkait pemanggilan paksa umumnya digunakan dalam ranah penegakan hukum. Ketentuan mengenai penggunaan pemanggilan paksa dalam meminta keterangan selain dalam ranah penegakan hukum juga digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang diatur dalam UU MD3. Pada tahun 2018, yang merupakan perubahan kedua UU MD3 terdapat beberapa pasal kontroversial, salah satunya yaitu memberikan kewenangan kepada DPR RI untuk melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan seseorang sebelumnya pernah dipanggil DPR namunĀ  tidak hadir sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, sebelum akhirnya pasal kontroversial tersebut diputuskan inskontitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018. Penelitian ini dilakukan untuk membahas dan menjawab permasalahan yaitu bagaimana pengaturan dan penerapan hak subpoena oleh Lembaga Negara di Indonesia dan analisis mengenai pemanggilan paksa oleh DPR dalam Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan yuridis-normatif dan menggunakan data-data yang diperoleh berdasarkan hasil studi kepustakaan serta menelaah ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil analisis menemukan bahwa DPR RI memiliki kewenangan untuk melakukan pemanggilan paksa, yakni dalam menjalankan fungsi pengawasan, akan tetapi kewenangan dalam melakukan pemanggilan paksa tersebut dikatikan dengan adanya upaya penghinaan terhadap parlemen/contempt of parliamentsehinggan terdapat alasan yang jelas terkait dilakukannya pemanggilan paksa terhadap seseorang.

Forced summons is a mechanism to summon someone in order to ask for information regarding a particular problem, provisions related to forced summons are generally used in the realm of law enforcement. Provisions regarding the use of forced summons when requesting information other than in the realm of law enforcement are also used by the Republic of Indonesia's House of Representatives (DPR) which are regulated in the MD3 Law. In 2018, which was the second amendment to the MD3 Law, there were several controversial articles, one of which was giving the authority to the DPR RI to carry out forced summons using the assistance of the Indonesian National Police to present someone who had previously been summoned by the DPR but was absent 3 (three) times successively without proper and valid reasons, before finally the controversial article was decided unconstitutional by the Constitutional Court through Decision Number 16/PUU-XVI/2018. This research was conducted to discuss and answer problems, namely how to regulate and apply subpoena rights by State Institutions in Indonesia and an analysis of forced summons by the DPR in the Constitutional Court Decision Number 16/PUU-XVI/2018. To answer these problems, the author uses research methods with a normative-juridical approach and uses data obtained based on the results of literature studies and examines the provisions in the applicable laws and regulations. The results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out the results of the analysis found that the DPR RI has the authority to carry out forced summons, namely in carrying out its supervisory function, but the authority to carry out forced summons is tied to attempts to insult parliament/contempt of parliament so that there are clear reasons related to carrying out forced summons against someone.

 File Digital: 1

Shelf
 S-Muhammad Riyan Rizki.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Skripsi Membership
No. Panggil : S-pdf
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : computer
Tipe Carrier : online resource
Deskripsi Fisik : xi, 71 pages : illustration + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
S-pdf 14-24-76929592 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 9999920529564
Cover