Penelitian ini membahas mengenai produksi narasi Tan Malaka sebagai Datuk dan Raja Adat ketika pemindahan makam Tan Malaka dari Selopanggung (Jawa Timur) ke Pandan Gadang (Sumatra Barat) tahun 2017. Narasi tersebut diproduksi keluarga Tan Malaka untuk menandingi narasi Tan Malaka sebagai pengkhianat. Penelitian ini menjabarkan bagaimana narasi itu berasal dari praktik penulisan sejarah resmi di era Orde Baru. Rezim anti-komunis Orde Baru menghapus peran penting Tan Malaka di dalam sejarah resmi Indonesia dan menempatkan nama Tan Malaka dalam asosiasi sebagai pengkhianat negara. Dengan demikian, produksi narasi yang dilakukan keluarga Tan Malaka merupakan kontestasi terhadap narasi resmi negara.
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan metode riset pustaka dan etnografis. Studi pustaka berfokus pada mengumpulkan data tentang sejarah resmi terkait Tan Malaka yang dipublikasikan oleh pemerintah Orde Baru. Hasilnya, penelitian ini menggunakan empat referensi utama untuk melihat narasi Orde baru terhadap Tan Malaka, yaitu Sejarah Nasional (1975),30 Tahun Indonesia Merdeka (1975), Lima Tahun Perang Kemerdekaan(1975), dan 50 Tahun Indonesia Merdeka (1995), dan Album Pahlawan Bangsa (1984). Sedangkan dengan menggunakan etnografis, penulis melakukan wawancara mendalam dengan juru bicara keluarga Tan Malaka terkait pemindahan makam tersebut. Selain itu, penulis melakukan pengamatan dan pendokumentasian selama pemindahan makam Tan Malaka dilakukan dan selama peringatan satu tahun pemindahan makam itu. Berdasarkan data etnografis tersebut, penelitian ini menemukan bahwa produksi narasi Tan Malaka sebagai Datuk dan Raja Adat dilakukan dengan penekanan status Datuk melalui tulisan di makam Tan Malaka, Ritual Basalin Baju yang dilakukan ketika pemindahan makam, peringatan satu tahun pemindahan makam tersebut, serta berbagai ritual adat Minangkabau lainnya.
Menggunakan konsep Memori Nasional dan Memori Kultural yang dikembangkan oleh Aleida Asmann, penelitian ini mengonseptualisasi bahwa produksi berbagai narasi identitas Minangkabau dalam pemindahan makam Tan Malaka tersebut sebagai kontestasi antara memori kultural dan memori nasional. Memori nasional diproduksi dari atas oleh negara sedangkan memori kultural diproduksi dari bawah oleh masyarakat. Negara melanggengkan memori nasional lewat berbagai instrumen negara sedangkan keluarga Tan Malaka membangun memori kultural lewat berbagai objek material dan praktik kultural.
Penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Tan Malaka dalam menggunakan makna yang ambigu dalam melakukan ritual dan menggunakan objek material tersebut, yang kemudian berdampak pada ambiguitas posisi Tan Malaka antara pahlawan nasional dan pahlawan lokal. Namun, pemaknaan yang ambigu tersebut merupakan strategi yang digunakan oleh pihak keluarga untuk tetap bisa merehabilitasi nama Tan Malaka sekaligus mengontestasi memori nasional Orde Baru.
This study discusses the production of Tan Malaka's narrative as Datuk and Raja Adat when the relocation of Tan Malaka's tomb from Selopanggung (East Java) to Pandan Gadang (West Sumatra) in 2017. The narrative was produced by Tan Malaka's family to match the narrative of Tan Malaka as a traitor. This study describes how the narrative originated from the practice of writing official history in the New Order era. The anti-communist New Order regime erased Tan Malaka's important role in Indonesia's official history and placed Tan Malaka's name in the association as a traitor to the state. Thus, the narrative production by Tan Malaka's family is a contestation against the official state narrative.The data collection of this research was carried out using library research and ethnographic methods. The literature study focused on collecting data on the official history of Tan Malaka published by the New Order government. As a result, this study uses four main references to see the narrative of the New Order against Tan Malaka, namely the National History (1975), 30 Years of Independent Indonesia (1975), Five Years of the Independence War (1975), and 50 Years of Independent Indonesia (1995), and Hero of the Nation Album (1984). Meanwhile, using ethnography, the author conducted in-depth interviews with the spokesman for the Tan Malaka family regarding the relocation of the tomb. In addition, the authors conducted observations and documentation during the transfer of Tan Malaka's tomb and during the one-year anniversary of the transfer of the tomb. Based on the ethnographic data, this study found that the production of Tan Malaka's narrative as Datuk and Raja Adat was carried out by emphasizing the status of Datuk through writings on Tan Malaka's tomb, the Basalin Baju Ritual which was carried out when moving the tomb, the one-year anniversary of the transfer of the tomb, and various traditional rituals other Minangkabau.Using the concepts of National Memory and Cultural Memory developed by Aleida Asmann, this study conceptualizes that the production of various Minangkabau identity narratives in the transfer of the Tan Malaka tomb is a contestation between cultural memory and national memory. National memory is produced from above by the state while cultural memory is produced from below by society. The state perpetuates national memory through various state instruments, while the Tan Malaka family builds cultural memory through various material objects and cultural practices.This study shows that Tan Malaka's family uses ambiguous meanings in performing rituals and using these material objects, which then has an impact on the ambiguity of Tan Malaka's position between national heroes and local heroes. However, this ambiguous meaning is a strategy used by the family to continue to rehabilitate Tan Malaka's name as well as to contest the New Order's national memory