Ditengah maraknya aset digital sebagai sosial media dan alat komoditi seperti cryptocurrency, bitcoin dan NFT (Non-Fungible Token) terdapat potensi aset digital sebagai objek jaminan utang. Kebendaan digital dapat berupa kebendaan atau kekayaan dalam media sosial, akun-akun terkait keuangan yang dilakukan secara daring, akun-akun terkait bisnis, alamat internet atau situs web, dan kebendaan virtual. Jenis penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif. Penelitian ini menganalisa permasalahan terkait keabsahan aset digital sebagai objek jaminan utang di Indonesia dengan mengetahui bagaimana sifat hukum aset digital dalam hukum kebendaan di Indonesia dan bagaimana penerapan aset digital dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2022 serta keabsahan aset digital secara keseluruhan sebagai objek jaminan utang di Indonesia. Teknik analisis menggunakan metode kualitatif. Wawancara kepada perbankan juga dilakukan dalam penelitian ini. Tidak semua aset digital dikategorikan aset HKI dan dapat dilakukan skema pendanaan berdasarkan PP Nomor 24 tahun 2022, hanya aset digital yang memiliki perlindungan hak cipta yang dapat menerimanya. Penerapan peraturan tersebut dalam perbankan memiliki kendala pada valuasi, nilai tambah, secondary market, dan appraisal aset digital dalam market. KUHPerdata memuat aturan yang mengatur tentang jaminan secara umum yaitu Pasal 1131 dan 1132 yang juga berlaku untuk aset digital secara keseluruhan. Jaminan khusus keabsahannya bergantung pada bentuk jaminan. Di indonesia yang paling tepat untuk jaminan aset digital adalah fidusia karena karekteristiknya dan waktu lahirnya perikatan sudah bisa dipastikan. Sejumlah perbandingan aset digital sebagai jaminan di negara lain juga dijadikan referensi, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.
In the midst of digital assets rising as social media and commodity tools such as cryptocurrencies, bitcoin and NFT (Non-Fungible Tokens), there is some potential for digital assets to be used as collateral for debt. Digital assets can be goods or assets on social media, financial-related accounts conducted online, business-related accounts, internet addresses or websites, and virtual assets. This type of research is normative juridical. This study analyzes issues related to the legality of digital assets as objects of debt guarantees in Indonesia by knowing the legal nature of digital assets in material law in Indonesia and how digital assets are implemented in Government Regulation Number 24 of 2022 and the validity of digital assets as a whole as objects of debt guarantees in Indonesia. The analysis technique uses a qualitative method. Interviews to several banks were also conducted in this study. Not all of digital assets are categorized as Intellectual Property Right (IPR) assets can be carried out the funding scheme based on PP Number 24 of 2022, only digital assets that have copyright protection can receive them. The application of these regulations in banking has problems with valuation, added value, secondary market, and digital asset appraisal in the market. The Civil Code contains rules governing guarantees in general, namely Articles 1131 and 1132 which also apply to digital assets as a whole. The specific guarantee of validity depends on the form of the guarantee. In Indonesia, the most appropriate for digital asset collateral is a fiduciary because its characteristics and the time when the engagement was born can be ascertained. A number of comparisons of digital assets as collateral in other countries are also used as references, such as the United States, United Kingdom and Japan.