Penelitian ini dilatar belakangi oleh fenomena tentang elektabilitas partai-partai politik Islam (PKS, PPP, PAN, dan PKB) yang semakin menurun dalam setiap pemilu. Hal tersebut ditandai dengan perolehan suara di pemilu yang cenderung tidak mengalami peningkatan yang berarti. Dengan menggunakan teori triad koalisi dari Theodore Caplow (1956) yang membahas tentang size of party power sebagai dasar pembentukkan koalisi dan penentuan posisi daya tawar politik anggota koalisi, teori tentang arena koalisi dari Heywood dan Arendt Liphart yang membahas tentang pentingnya kesamaan ideologi dalam koalisi, teori tentang tipologi partai politik dari Almond yang dikaitkan dengan konsep tentang partai Islam dari Vali Nasr, penelitian kualitatif ini menganalisis masalah yang berkaitan dengan konstruksi bangunan koalisi yang dibentuk (KIH dan KMP) dengan melihat posisi PKS, PPP, PAN dan PKB didalamnya. Dengan mengaitkan masalah tentang adanya kesamaan dasar nilai ideologi partai dan karaktaer basis massa yang sama, penelitian ini juga menganalisis masalah tentang penyebab partai partai politik Islam tidak membangun satu koalisi bersama untuk menghadapi Pemilihan Presiden 2014 untuk mengajukan tokoh politik Islam sebagai calon Presiden dan wakil presiden. Penelitian ini menemukan bahwa orientasi policy seeking yang mengedepankan ideologi sebagai motivasi dalam membentuk koalisi, sudah tidak lagi dianggap penting. identifikasi kekuatan perolehan suara partai politik seperti yang dijelaskan oleh Caplow menjadi satu satunya strategi dalam pembentukkan koalisi. Akibatnya, pragmatisme semakin kuat dengan office seeking yang menjadi orientasi dalam berkoalisi, soliditas menjadi lemah dan partai politik bisa dengan mudah keluar masuk koalisi. Konflik internal partai, menjadi salah satu penyebab lemahnya daya tawar politik partai di dalam koalisi yang dimasuki karena dianggap mengancam elektabilitas capres dan cawapres yang diajukan. Tidak terbangunnya koalisi di antara partai politik Islam disebabkan karena orientasi ideologi yang berbeda, lebih dominannya pragmatisme politik dan tidak adanya figur elite politik Islam yang bisa menjadi pemersatu kekuatan Islam politik yang terpecah. Implikasi teoritis dari penelitian ini menunjukkan bahwa size of party power seperti yang dikemukakan oleh Caplow dalam pembentukkan koalisi hanya dijadikan sebagai strategi untuk mengumpulkan kekuatan partai dalam kontestasi. Karakter massa dan latar belakang nilai ideologi yang sama tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk melakukan bargaining dalam internal koalisi dalam penentuan keputusan penting. Secara teoritis, seperti yang dikemukakan oleh Caplow, masing-masing anggota koalisi memiliki daya tawar berdasarkan besaran kekuatan suara yang dimiliki. Namun secara faktual, posisi tawar PKS, PPP dan PAN di KMP sangat minim dan lemah, Begitu juga dengan PKB di KIH, walau menjadi partai kedua terbesar di KIH, lemahnya daya tawar politik PKB membuat calon waki presiden yang diajukan PKB tidak diputuskan mendampingi Joko Widodo sebagai calon presiden
This research is motivated by the phenomenon of the electability of Islamic political parties (PKS, PPP, PAN, and PKB) which is decreasing in every election. This is indicated by the number of votes in the general election which tends not to increase significantly. By using the triad coalition theory from Theodore Caplow (1956) which discusses the size of party power as the basis for forming coalitions and determining the political bargaining power position of coalition members, the theory about the coalition arena from Heywood and Arendt Liphart which discusses the importance of ideological similarities in coalitions, theory Regarding the typology of political parties from Almond associated with the concept of an Islamic party from Vali Nasr, this qualitative study analyzes problems related to the construction of the coalition buildings formed (KIH and KMP) by looking at the position of PKS, PPP, PAN and PKB in it. By linking the problem of the similarity of the basic ideological values of the party and the same mass-based character, this study also analyzes the problem of why Islamic political parties did not build a coalition together to face the 2014 Presidential Election to nominate Islamic political figures as presidential and vice presidential candidates. This study found that the policy seeking orientation, which puts forward ideology as a motivation in forming coalitions, is no longer considered important. identification of the voting power of political parties as described by Caplow is the only strategy in forming coalitions. As a result, pragmatism is getting stronger with office seeking being the orientation in coalitions, solidity is getting weaker and political parties can easily enter and exit coalitions. Internal party conflicts are one of the causes of the weak political bargaining power of parties in the coalition entered because they are considered to threaten the electability of the proposed presidential and vice-presidential candidates. The non-establishment of coalitions among Islamic political parties is due to different ideological orientations, more dominant political pragmatism and the absence of Islamic political elite figures who can unify the forces of divided political Islam. The theoretical implication of this research shows that the size of party power as proposed by Caplow in forming a coalition is only used as a strategy to gather party power in the contestation. The character of the masses and the background of the same ideological values are not used by political parties to bargain within the internal coalition in determining important decisions. Theoretically, as stated by Caplow, each member of the coalition has bargaining power based on the amount of voting power they have. But in fact, the bargaining position of PKS, PPP and PAN in KMP is minimal and weak. Likewise with PKB in KIH, despite being the second largest party in KIH, PKB's weak political bargaining power has prevented the vice presidential candidate proposed by PKB to accompany Joko Widodo as a presidential candidate.