Indonesia telah mengadopsi Aksi BEPS Nomor 13 menjadi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 yang berlaku sejak 30 Desember 2016. Kewajiban pembuatan TP Doc sesuai PMK-213/2016 untuk Wajib Pajak yang hanya memiliki transaksi afiliasi domestik di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi kelaziman internasional. Wajib Pajak yang melakukan transaksi afiliasi domestik dengan tidak adanya perbedaan tarif, tetap diwajibkan untuk membuat TP Doc sesuai PMK-213/2016. Pemberlakuan threshold kewajiban pembuatan TP Doc dalam PMK-213 dengan batasan nominal tertentu, tidak memilah dengan jelas terhadap Wajib Pajak yang melakukan transaksi afiliasi domestik yang sesungguhnya tidak memiliki risiko dan/atau memiliki risiko. Selain itu, pelaksanaan kewajiban TP Doc di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan Kelebihan pembuatan TP Doc dapat membantu Wajib Pajak sebagai bahan argumentasi dalam rangka pembuktian dan untuk mempertahankan kewajaran dan/atau kelaziman usaha (Arm’s Length Principle). Sedangkan, pelaksanaan pembuatan TP Doc memiliki beberapa kekurangan. Pertama, pembuatan TP Doc akan menambah cost compliance Wajib Pajak. Kedua, mekanisme corresponding adjustment yang belum sepenuhnya diterapkan dalam pemeriksaan pajak, dapat menimbulkan double tax secara ekonomi, sehingga merugikan Wajib Pajak yang hanya memiliki transaksi domestik.
Indonesia has adopted BEPS Action Number 13 into Regulation of the Minister of Finance Number 213/PMK.03/2016 which has been in effect since December 30, 2016. The obligation to make a TP Doc according to PMK-213/2016 for taxpayers who only has domestik related party transactions in Indonesia has not fully complied with international norms. Taxpayers who carry out domestik affiliated transactions with no difference in tariffs are still required to make a TP Doc in accordance with PMK-213/2016. The application of the mandatory threshold for making TP Doc in PMK-213 with a certain nominal limit does not clearly distinguish Taxpayers who carry out domestik affiliated transactions which actually have no risk and/or have risk. Other than that, application of the TP Doc obligation in Indonesia has advantages and disadvantages, especially for taxpayers who only have domestik related party transactions. The advantages of making a TP Doc can help taxpayers as argumentation material in the context of proof and to maintain Arm's Length Principle. Meanwhile, the implementation of making TP Doc has several shortcomings. First, the creation of a TP Doc will increase taxpayer compliance costs. Second, the corresponding adjustmentt mechanism, which has not been fully implemented in tax audits, can lead to double taxation economically, thus harming taxpayers who only have domestik transactions.