Latar Belakang:
Candida albicans merupakan flora komensal yang dapat berubah menjadi virulen pada keadaan tertentu yang dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan virulensi. Salah satu faktor virulensi
C. albicans adalah kemampuan membentuk biofilm dengan gambaran morfologi yang berubah pada setiap fasenya. Pembentukan biofilm dapat meningkatkan resistensi terhadap agen antijamur. Temulawak merupakan tanaman obat unggulan Indonesia yang diketahui memiliki khasiat antijamur.
Tujuan: Mengetahui perkembangan berbagai fase biofilm
C. albicans ATCC 10231 setelah paparan ekstrak etanol temulawak (
Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Metode: Uji
MTT-assay digunakan untuk mengetahui konsentrasi minimum ekstrak etanol temulawak dalam menghambat pembentukan biofilm
C. albicans (KHBM
50). Gambaran mikroskopis perkembangan biofilm
C. albicans diobservasi dengan menggunakan
Scanning Electron Microscope (SEM).
Hasil: Nilai Konsentrasi Inhibisi Biofim Minimal (KHBM
50) ekstrak etanol temulawak terhadap biofilm
C. albicans ATCC 10231 pada fase awal (adhesi dan proliferasi), fase menengah, dan fase maturasi berturut turut adalah 25%, 35%, dan 40%. Kemampuan ekstrak etanol temulawak dalam menghambat perkembangan biofilm
C. albicans menurun seiring dengan peningkatan fase biofilm. Pada fase adhesi, morfologi
C. albicans ATCC 10231 yang dipaparkan ekstrak etanol temulawak dan nystatin masih berbentuk blastospora, berbeda dengan kontrol negatif yang sudah menunjukkan germinasi. Pada fase proliferasi, menengah, dan maturasi
C. albicans ATCC 10231 yang dipaparkan temulawak maupun nystatin menunjukkan adanya pertumbuhan hifa yang lebih pendek namun dengan jumlah dan densitas yang jauh lebih sedikit jika dibanding dengan kontrol negatif.
Kesimpulan: Ekstrak etanol temulawak mempengaruhi viabilitas
C. albicans ATCC 10231 dan menghambat perkembangan biofilm
C. albicans ATCC 10231 dengan cara menghambat pertumbuhan hypha serta menurunkan densitas biofilm. Semakin meningkat fase perkembangan biofilm, dibutuhkan konsentrasi ekstrak etanol temulawak yang lebih tinggi.
Background: Candida albicans is a commensal flora that can turn into virulent in certain circumstances that are influenced by predisposing and virulence factors. One of the virulence factors of C. albicans is the ability to form biofilm with morphologic changes in every phase. Biofilm formation can increase resistance towards antifungal agents. Javanese turmeric is an Indonesian medical plant that is reported to have antifungal effect which can inhibit the development of C. albicans biofilm. Objective: To observe the development of Candida albicans ATCC 10231 biofilm formation after exposed to Javanese turmeric ethanol extract (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Method: MTT-assay was used to measure the minimum inhibitory concentration of Javanese turmeric ethanol extract in inhibiting C. albicans ATCC 10231 biofilm formation (MBIC50). The morphological changes of the various stages of C. albicans biofilm were observed using Scanning Electron Microscope (SEM). Results: The Minimum Biofilm Inhibitory Concentration (MBIC50) of Javanese turmeric ethanol extract towards formation of C. albicans biofilm ATCC 10231 in the early phase (adhesion and proliferation), intermediate phase, and maturation phase as follows; were 25%, 35%, and 40% respectively. In the adhesion phase, the morphology of C. albicans ATCC 10231 exposed javanese turmeric ethanol extract and nystatin is still in the form of blastospores, unlike negative controls that have shown germination. In the proliferation, intermediate, and maturation phase C. albicans ATCC 10231 exposed to Javanese turmeric ethanol extract and nystatin showed the growth of shorther hyphae and slightly lesser amounts and densities compared negative controls. The ability of javanese turmeric ethanol extract in inhibiting the development of C. albicans biofilm decreased along with the increased of biofilm phase. Conclusion: Javanese turmeric ethanol extract affected the viability of C. albicans cells and inhibit the development of C. albicans biofilm by inhibiting the hyphal formation and decreasing the biofilm density.