Tulisan ini menganalisis kekuatan pembuktian surat wasiat yang dibuat oleh WNI di luar negeri, serta akibat hukum dari pertimbangan hakim dalam putusan yang diangkat terhadap surat wasiat tersebut dan terhadap harta peninggalan pewaris. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pasal 945 KUH Perdata menyatakan bahwa WNI yang berada di luar negeri tidak boleh membuat wasiat selain dengan akta autentik dan dengan mengindahkan formalitas-formalitas yang berlaku di negeri tempat akta itu dibuat. Berarti, KUH Perdata mengamahakan bahwa keabsahan wasiat ditentukan oleh persyaratan formil ini, yaitu harus dalam bentuk akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Padahal, pembuatan wasiat secara autentik bukanlah suatu kewajiban, melainkan opsi yang tersedia bagi yang menginginkan. Kasus dalam putusan melibatkan 2 (dua) wasiat, satu dibuat di hadapan Notaris sebelum pewaris menikah, dan satunya lagi dibuat di hadapan Attorney at Law di Amerika Serikat setelah pewaris menikah dan bertempat tinggal disana. Sepeninggalnya pewaris, ahli waris ab testamenter dari kedua wasiat menuntut haknya dan saling mempermasalahkan wasiat tersebut. Hukum Perdata Internasional di Indonesia mengenal prinsip lex patriae, locus regit actum, dan lex rei sitae. Ketika terjadi sengketa waris dimana terdapat unsur internasional seperti dalam kasus, maka selain merujuk pada KUH Perdata, prinsip-prinsip Hukum Internasional tersebut juga patut untuk dipertimbangkan. Dalam hal suatu dokumen tidak dapat dianggap autentik karena tidak dibuat di hadapan Notaris, maka dapat merujuk pada Hukum Acara Perdata, yang tidak hanya mengakui kekuatan pembuktian alat bukti berupa akta autentik, namun juga pada akta yang dibuat di bawah tangan. Oleh karena hakim dalam putusan yang diangkat hanya merujuk pada Pasal 945 KUH Perdata, maka wasiat yang pertama dibuat oleh pewaris di Indonesia berhasil mengalahkan wasiat terakhir yang dibuatnya di Amerika Serikat, serta obyek warisan tidak beralih kepada orang yang ditunjuk sesuai kehendak terakhirnya. Tidak adanya aturan khusus tentang hukum waris Indonesia yang dapat secara definit mengarahkan pembuatan wasiat bagi WNI telah menyebabkan penafsiran yang variatif dan akibatnya, kejadian seperti dalam kasus inilah yang akhirnya melemahkan hak berwasiat WNI yang bertempat tinggal di luar negeri.
The article analyzes the evidentiary strength of a testament made by Indonesian citizens abroad, as well as the legal consequences of judge's considerations in the court’s decision regarding the testament and the inheritance of the testator. This thesis uses doctrinal research methods. Article 945 of the Civil Code states that Indonesian citizens abroad may not make a testament other than with an authentic deed and by observing the formalities applicable in the country where the deed is made. It indicates that the Civil Code requires that the validity of a testament is determined by these formalities, that it must be in the form of a deed made by an authorized official. However in fact, a testament in the form of an authentic deed is not an obligation, but rather an option available for those who wish to. The case involved 2 (two) testaments, one made before a Notary before the testator married, and the other made before an Attorney at Law in the United States after the testator married and resided there. After the testator’s death, the testamentary heirs of both testaments claimed their rights and disputed each other's testaments. Private International Law in Indonesia recognizes the principles of lex patriae, locus regit actum, and lex rei sitae. When an inheritance dispute occurs with an international element, as in this case, apart from referring to the Civil Code, the principles of International Law are also worth considering. In an event where a document cannot be considered authentic because it was not made before a Notary, one can refer to the Civil Procedure Law, which not only recognizes the evidentiary power of evidence in the form of authentic deeds, but also privately made deeds. As a result of the court’s decision where the judges only referred to Article 945 of the Civil Code, the first testament that was made in Indonesia succeeded in defeating the last testament made in the United States, and the inheritance object did not pass to the person appointed according to testator’s last will. The absence of specific rules regarding Indonesian inheritance law that can definitively direct the making of testament for Indonesian citizens has led to varied interpretations and as a result, incidents such as in this case ultimately weaken the rights of Indonesian citizens residing abroad to write a testament.