Disertasi ini mengkaji esensi ajaran Buddha dalam kerangka lima marga pada relief-relief naratif Gandawyuha-Bhadracari di Candi Borobudur. Penelitian ini didasari krisis narasi ilmiah dan kurangnya studi yang berfokus pada pendidikan agama Buddha di Candi Borobudur. Riset ini menggunakan tiga konsep fenomenologi transendental: epoché, reduksi, dan variasi imaginatif sebagai dasar analisis dan interpretasi disertai analisis tema. Epoché diterapkan dengan melakukan deskripsi relief terlebih dahulu sebelum melakukan analisis dan interpretasi. Reduksi level pertama dan kedua adalah menyeleksi panil-panil relief berdasarkan kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Analisis tema digunakan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan tema-tema sebelum reduksi. Reduksi level ketiga berfokus pada penggambaran yang bersifat pengajaran. Variasi imaginatif digunakan untuk mengonstruksi lima marga berdasarkan penggambaran Gandawyuha-Bhadracari dan mengevaluasi pembagian tiga dhatu pada Candi Borobudur. Riset ini menghasilkan dua temuan utama. Temuan utama pertama adalah terdapat esensi ajaran Buddha berupa lima marga dalam relief Gandawyuha-Bhadracari yang berfungsi sebagai pedoman dan patokan yang membimbing pada pencapaian tujuan. Marga pengumpulan dan marga penerapan untuk menghimpun daya kebajikan dan pengetahuan, diperlihatkan pada kunjungan Sudhana kepada mitra bajik ke-1—50. Marga penglihatan dengan ciri utama melihat realitas secara langsung, digambarkan melalui penglihatan berbagai manifestasi secara nonkonseptual oleh Sudhana di dalam kutagara Maitreya. Marga penumbuhkembangan digambarkan melalui praktik sepuluh kesempurnaan hingga pertemuan Sudhana dengan Manjusri. Marga melampau pelatihan ditunjukkan dengan penyempurnaan sepuluh pengetahuan oleh Sudhana dan pengukuhan oleh Samantabhadra atas dicapainya kesetaraan dengan semua Buddha. Penggambaran Gandawyuha berlanjut dengan relief Bhadracari mengenai cara hidup bajik dalam sepuluh tekad agung untuk membimbing makhluk-makhluk lain mencapai keadaan serupa. Temuan utama kedua adalah penggambaran di Candi Borobudur melampaui Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Pengungkapan lima marga dan evaluasi atas pembagian tiga dhatu memperjelas esensi ajaran Buddha dan gagasan keagamaan yang tergambar pada Candi Borobudur. Melalui pengungkapan lima marga sebagai pedoman jalan spiritual, penelitian ini memberi sumbangsih paradigma Candi Borobudur bukanlah monumen yang tidak lagi berfungsi. Melalui pendekatan fenomenologi transendental, objek-objek peninggalan di masa lalu dapat lebih memperlihatkan relevansinya dengan kehidupan manusia di masa kini. Terakhir, dengan kandungan filosofi keagamaan yang mendalam disertai artefak lengkap yang bertahan hingga sekarang, Indonesia dapat berperan aktif dalam pertukaran pendidikan agama, pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan dengan negara-negara lain berkat warisan budaya yang mendunia ini.
This dissertation examines the essence of Buddha’s teachings within the framework of the five paths in the Gandavyuha-Bhadracari narrative reliefs at Candi Borobudur. It addresses the academic narrative crisis and scarcity of studies on Buddhist education at Candi Borobudur. This research applied three transcendental phenomenology concepts: epoché, reduction, and imaginative variation for analysis and interpretation, coupled with theme analysis. Epoché involved a description of the reliefs before analysis and interpretation. The first and second-level reduction selected relief panels based on predetermined criteria. Theme analysis identified and grouped themes before reduction. The third-level reduction is applied by focusing on teaching depictions. Imaginative variation constructed the five paths and evaluated the division of the three dhatus at Candi Borobudur. This research yielded two primary findings. The first centers on the revelation of the essence of Buddha’s teachings in the five paths in the reliefs of Gandawyuha-Bhadracari, which serve as guides and milestones leading to the attainment of goals. The path of accumulation and the path of application primarily gather the accumulation of merit and wisdom, exemplified in Sudhana’s visit to the 1st–50th virtuous friends. The path of vision, marked by direct perception of reality, is portrayed as Sudhana perceiving various manifestations non-conceptually in the Maitreya’s kutagara. The path of cultivation is depicted by the practices of the ten perfections, culminating in Sudhana’s encounter with Manjusri. The path of “no more learning” signifies the perfection of ten knowledges by Sudhana and Samantabhadra’s empowerment of Sudhana who has attained equality with all the Buddhas. The depiction of Gandavyuha extends to Bhadracari reliefs, which elaborate on the good conduct of ten great vows aimed at guiding beings toward a similar state of awakening. The second key finding highlights the depictions at Candi Borobudur transcend the Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu. The revelation of the five paths, along with the re-examination of the division of the three dhatus elucidates the essence of Buddha’s teachings and religious ideas conveyed at Candi Borobudur. Through the revelation of the five paths as a spiritual guideline, this research contributes to the paradigm that Borobudur is not an obsolete monument. Through the transcendental phenomenology approach, archaeological remains from the past can be seen to bear contemporary relevance. Finally, with the profound religious philosophy content accompanied by complete artifacts that have endured to this day, Indonesia is well-positioned to take an active role in fostering international exchanges of religious education, knowledge, history, and culture with other countries, leveraging this esteemed world cultural heritage.