Provinsi Kepulauan Riau dijuluki negeri segantang lada. Dalam bahasa Melayu Kepri lada disebut dengan nama sahang dan saat ini menjadi komoditas perkebunan yang kurang populer dibandingkan tanaman lain seperti karet dan kelapa sawit. Tulisan ini mengkaji usaha perkebunan lada di Kepri abad 19. Penelitian menggunakan metode penelitian sejarah yang dalam pengumpulan sumber menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Dari hasil penelitian, lada baru masuk ke Kepri akhir abad 18, bersamaan masuknya gambir dari Sumatra. Tahun 1787, Sultan Riau Lingga Johor Pahang, Mahmud Riayat Syah dan pengikutnya, Orang Bugis dan Melayu memindahkan pusat pemerintahan dari Pulau Bintan ke Daik Lingga untuk menghindari tekanan Belanda. Kebijakan ini juga berdampak pada usaha perkebunan lada yang ditinggalkan Orang Bugis dan Melayu. Orang Tionghoa yang semula bekerja sebagai pekerja atau kuli di perkebunan, berubah menjadi pemilik kebun. Pada abad 19, perkebunan lada diusahakan secara besar-besaran disejumlah wilayah di Kepri, seperti Bintan, Batam, Lingga dan Karimun. Lada mayoritas diekspor ke Singapura dan sebagian kecil dijual ke Pulau Jawa. Akhir abad 19 hingga awal 20 terjadi penurunan produksi lada di Kepri. Hal ini tidak terlepas dari menurunnya permintaan akibat kondisi harga lada di pasaran dunia. Para pemilik kebun lada dan sekaligus memiliki kebun gambir meninggalkan dua komoditas perkebunan tersebut. Awal abad 20, kebun lada dan gambir diganti jadi kebun karet. Selain itu, mereka masih memiliki usaha sampingan lain, seperti perkapalan dan perjudian