Penelitian ini bertujuan untuk melacak pengenalan dan pengelolaan waterschap Bengawan di wilayah Vorstenlanden Surakarta. Sebagai badan irigasi yang otonom, waterschap bertugas untuk mengatur distribusi air secara adil di antara dua kepentingan, yaitu pengusaha perkebunan dan petani. Namun, ditemukan beberapa permasalahan dalam praktiknya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pada tahapan heuristik, penelusuran sumber meliputi kajian terhadap literatur, arsip-arsip pemerintah Hindia Belanda, serta surat kabar sezaman yang disusun menjadi satu kesatuan dalam narasi penulisan sejarah. Sejauh penelusuran diketahui bahwa waterschap Bengawan belum bisa menjalankan tugasnya dengan efektif karena terbentur dengan beberapa aturan yang lebih berpihak pada kepentingan perusahaan. Hak otonom perkebunan dalam pengelolaan air menyebabkan sebagian besar air irigasi dialokasikan ke perkebunan sehingga meningkatkan produksi. Di sisi lain, hak otonom yang dimiliki oleh perkebunan ini juga memicu konflik antara perkebunan dan petani. Banyaknya perkebunan yang tutup selama krisis malaise, menyebabkan distribusi air difokuskan untuk pertanian yang pada akhirnya meningkatkan hasil produksi padi.
This research aims to trace the introduction and management of the Waterschap Bengawan in Vorstenlanden Surakarta. As an autonomous irrigation agency, the waterschap was tasked with organising the equitable distribution of water between two interests, plantation entrepreneurs and farmers. However, several problems were found in practice. The method used in this research is the historical method which consists of heuristics, verification, interpretation, and historiography. In the heuristic stage, the source search includes a study of literature, archives of the Dutch East Indies government, and contemporaneous newspapers that are compiled into a single unit in the narrative of historical writing. It is known that the Waterschap Bengawan has not been able to carry out its duties effectively due to several regulations that favour the interests of the company. The autonomous rights of plantations in water management caused most of the irrigation water to be allocated to plantations, thus increasing production. On the other hand, the autonomous rights owned by plantations also trigger conflicts between plantations and farmers. As many plantations closed during the malaise crisis, water distribution was focussed on agriculture, which in turn increased rice production.