Banjir di perkotaan menjadi masalah, biasanya dapat mempengaruhi aktivitas-aktivitas antropogenik. Penduduk di negara berkembang biasanya memiliki persepsi risiko yang rendah. Oleh karenanya penting untuk dibahas mengenai bagaimana manusia menangani banjir di Pasar Minggu dan bagaimana persepsi risikonya. Diserahkannya informasi mengenai persepsi risiko banjir oleh penduduk penting untuk dibahas karena akan menggambarkan bagaimana proses berpikir seseorang yang melakukan tindakan mitigasi banjir baik secara kolektif maupun individu. Lanskap permukiman yang mengandung lanskap bahaya dan perkotaan diambil sebagai faktor utama. Dengan metode kualitatif keruangan, peneliti berhasil menemukan bahwa faktor yang membentuk persepsi risiko penduduk dan berbagai elemennya adalah kedalaman banjir, lanskap perkotaan, jarak dari sungai, social bond, dan moda komunikasi. Hasilnya mengungkapkan bahwa secara umum, terdapat beberapa faktor yang membentuk persepsi risiko banjir, yaitu kedalaman banjir, lanskap perkotaan, jarak dari sungai, social bond, dan moda komunikasi. Jarak dari sungai, lanskap perkotaan, kedalaman banjir, dan elemen afektif membentuk social bond yang kemudian social bond tersebut membentuk moda komunikasi. Moda komunikasi sendiri kemudian membentuk kognitif kemudian afektif, namun elemen kognitif tidak dibentuk oleh kedalaman banjir. Berbeda dengan elemen afektif yang dibentuk oleh kedalaman banjir layaknya social bond dan moda komunikasi yang kemudian membentuk konatif. Lalu ketiga elemen tersebut akhirnya membentuk kategori persepsi risiko banjir. Adapun untuk kategori persepsi risiko yang ditemukan sendiri adalah safety dan control. Safety dan control dibentuk oleh kedalaman banjir, jarak dari sungai, social bond, dan moda komunikasi dengan asosiasi positif. Lalu untuk hubungannya dengan lanskap perkotaan adalah asosiasi negatif. Hanya lanskap perkotaan yang memiliki asosiasi negatif dengan semua faktor.
Flooding in urban areas is a problem, it usually affects anthropogenic activities. People in developing countries usually have a low risk perception. Therefore, it is important to discuss how humans handle flooding in Pasar Minggu and how the risk is perceived. The submission of information regarding the perception of flood risk by residents is important to discuss because it will illustrate the thought process of someone who takes flood mitigation actions both collectively and individually. Residential landscapes containing hazard and urban landscapes are taken as the main factors. Using spatial qualitative methods, researchers succeeded in finding that the factors that shape residents' risk perception and its various elements are flood depth, urban landscape, distance from river, social bond, and mode of communication. The results reveal that in general, there are several factors that shape flood risk perceptions, namely flood depth, urban landscape, distance from the river, social bonds, and mode of communication. Distance from the river, urban landscape, depth of flooding, and affective elements form a social bond which then forms a social bond as a mode of communication. The mode of communication itself then forms cognitive and then affective, but cognitive elements are not shaped by the depth of the flood. In contrast to the affective elements which are formed by the depth of the flood, such as social bonds and modes of communication which then form conative. Then these three elements finally form a flood risk perception category. The categories of risk perception that were found were safety and control. Safety and control are formed by flood depth, distance from the river, social bonds, and modes of communication with positive associations. Then the relationship with the urban landscape is a negative association. Only urban landscape had negative associations with all factors.