Pendahuluan Hidronefrosis kongenital adalah kelainan yang tersering dijumpai pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) antenatal. Prevalensinya 11,5 per 10000 kelahiran hidup. Deteksi dini, diagnosis yang akurat, dan ketepatan penatalaksanaan pascakelahiran sangat berperan dalam mempreservasi fungsi ginjal dan kelangsungan hidup penderita. Meski demikian, prosesproses tersebut merupakan hal yang kompleks karena melibatkan multidisiplin, ketersediaan sarana penunjang, dan kepatuhan untuk: kontrol. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: mengevaluasi permasalahan diagnostik dan tata laksana hidronefosis kongenital. Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan mengumpulkan data seluruh pasien anak. dengan hidronefrosis kongenital yang datang ke Poliklinik Urologi atau yang dirawat di Departemen Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo antara Januari 1999 - Desember 2008 dan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita antara Januari 2004 - Desember 2008. Penggalian informasi tambahan mengenai riwayat antenatal care (ANC) dilakukan dengan menghubungi orang tua pasien pertelepon. Data diolah dengan SPSS 13.0. Analisis statistik dengan uji Mann-Whitney guna melihat hubungan antara usia terdiagnosis dan fungsi ginjal dan uji Chi-Square untuk: melihat hubungan antara usia terdiagnosis dan angka nefrektomi. Hasil Didapatkan 145 pasien dengan hidronefrosis kongenital dengan median usia 29 bulan (rentang 1-183 bulan), yang terdiri dari 55 perempuan dan 90 laki-laki. Etiologi hidronefrosis kongenital terbanyak adalah obstruksi UPJ (40 pasien ). Pada penelitian ini didapatkan 62 pasien dengan penurunan fungsi ginjal. Didapatkan 15 dari 145 pasien ( 10,34 %) yang telah didiagnosis antenatal. Dari 63 pasien yang diperoleh informasi tentang riwayat ANC-nya, sebanyak 56 dari 63 pasien ( 88,89%) menjalani ANC dengan dokter spesialis obstetriginekologi. Dari 59 pasien yang dilakukan USG, hanya 26 pasien (44,07%) yang terdeteksi hidronefrosis pada periode antenatal. Terdapat 11 dari 26 pasien yang sudah terdeteksi antenatal, yang baru dibawa kontrol pada usia lebih lanjut. Untuk diagnosis, USG hanya dikerjakan pada 108 pasien (74,5%), VCUG pada 79 pasien (54,5%), dan sidik ginjal pada 26 pasien (17,9010). Hanya 12 pasien (8,27 %) yang menjalani ke-3 pemeriksaan penunjang yang dianjurkan, yaitu USG, VCUG, dan sidik ginjal. Dari 115 pasien yang menjalani penatalaksanaan yang dianjurkan, 95 pasien (82,61 %) menjalani operasi dan 20 pasien (17,39%) ditatalaksana secara konservatif. Terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05) pada rerata nilai kreatinin serum antara kelompok anak yang berobat pada usia kurang dari 12 bulan (0,78±0,93mgldl) dan kelompok anak yang berobat lebih dari 12 bulan (1,03±0,88 mgldl). Angka nefrektomi pada kelompok usia < 12 bulan 6,52 % dan pada kelompok usia> 12 bulan 13,13% , namun secara statistik tidak bermakna ( p> 0,05). Hanya 73 dari 115 pasien (63,48%) yang datang untuk follow up. Pemeriksaan urine, USGNCUG, dan fungsi ginjal tidak rutin dikerjakan saatfollow up. Simpulan Penatalaksanaan hidronefrosis kongenital masih memerlukan banyak perbaikan seperti peningkatan kemampuan deteksi antenatal dengan USG, standardisasi modalitas diagnostik yang dipakai (USG, VCUG, dan sidik ginjal) dan komunikasi antara pihak-pihak yang berperan pada tata laksana hidronefrosis kongenital pascakelahiran (dokter spesialis urologi, spesialis anak, spesialis radiologi) serta peningkatan edukasi kepada orang tua pasien dengan hidronefrosis kongenital tentang penyakit anaknya dan pentingnyafollow up.
Introduction Congenital hydronephrosis is the most common anomaly encountered in antenatal ultrasound examination. Early detection of hydronephrosis has a significant role in postnatal management. Patients diagnosed antenatally should undergo further evaluation with ultrasound, voiding cystourethrogram, and renal scintigraphy. In Indonesia the diagnosis and management of congenital hydronephrosis still deals with so many problems. Objective To evaluate problems in diagnosing and managing congenital hydronephrosis. Methods This study was retrospective. Data was collected from medical records of patients with congenital hydronephrosis which were hospitalized or went to urologic outpatient clinic at Ciptomangunkusumo Hospital from January 1999 to December 2008 and Harapan Kita Maternal and Pediatric Hospital from January 2004 to December 2008. Data was analyzed with SPSS programme version 13.0. Statistical analysis was done to find the relation between age at diagnosis and kidney function (Mann-Whitney test) and between age at diagnosis and nephrectomy rate ( Chi-Square test ). Results There were 145 patients with congenital hydronephrosis with median age 29 months ( 1-183 months). There were 55 females and 90 males. The most common etiologies were UPJ obstruction ( 40 patients), VUR ( 37 patients ), and neurogenic bladder (25 patients). There were 62 patients with renal function deterioration. There were 15 patients who was came to us because they bad been diagnosed antenatally. Of the 145 patients we could collect the antenatal history only from 63 patients. Antenatal care of 56 out of the 63 patients was provided by obstetricians. Antenatal ultrasound was done in only 59 out of 63 patients and only 44,07% (26 patients) with hydronephrosis which was detected antenatally. Eleven out of 26 antenatally diagnosed patients came to our clinic at later age. Three standard studies ( postnatal ultrasound, voiding cystourethrogram, and renal scintigraphy) were done only in 12 out of 145 patients (8,27 %). Ultrasound was only done in 108 patients ( 74,5%), voiding cystourethrogram in 79 patients ( 54,5%), and renal scintigraphy in only 26 ptients ( 17,9%). The suggested management were conducted in 115 patients; operative management in 95 patients (82,61 %) and conservative treatment in 20 patients ( 17,39%). The most common operative procedures were ureteroneocystostomy, pyeloplasty, nephrectomy, and ablation of posterior urethral valve. Mean serum creatinine in below 12 months old group and above 12 months old group was 0,78±0,93mg/dl dan 1,03±O,88 mg/dl respectively( p < 0,05). There was no significant diffrence in nephrectomy rate in both age groups ( p> 0,05). Nephrectomy was performed in 16 patients with the most common indication was grade IV hydronephrosis with thin parenchyme in 11 patients ( 68,75%) and the most common etiologies was UPJ obstruction in 10 patients ( 62,5%). We can only collect follow up data from 73 out of 115 managed patients ( 63,48% ).Urinalysis,ultrasoundlvoiding cystourethrogram, and renal function studies were not routinely conducted during follow up. Conclusion The management of congenital hydronephrosis in Indonesia needs improvements in antenatal care standards, particularly obstetric ultrasound, to improve early detection of congenital hydronephrosis. More education for parents about the imprtance of follow up is needed to be improved, especially for antenatally diagnosed patients. A consensus regarding diagnostic tools used in managing congenital hydronephrosis must be established among urolgists, pediatricians, and radiologists.