Perusahaan manufaktur multinasional sektor otomotif di Indonesia umumnya beroperasi sebagai contract manufacturer dengan fungsi dan risiko terbatas serta sepenuhnya bergantung pada principal di luar Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengkonstruksikan skema transfer pricing (TP) berdasarkan putusan pengadilan pajak tahun 2015-2019 (tahun pajak sengketa 2006-2013 atau sebelum BEPS Action Plan 13), (b) menganalisis bagaimana kebijakan pajak saat tahun sengketa diterapkan dan (c) menjelaskan mengapa kebijakan saat ini (pasca BEPS Action Plan 13) harus diubah untuk mengurangi sengketa TP. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi kepustakaan. Penelitian ini mengkonstruksikan bahwa skema umum TP meliputi (i) pembayaran eksesif atas pembayaran penggunaan intangibles kepada afiliasi sehubungan pembuktian eksistensi, manfaat ekonomi/komersial dan kewajaran volume transaksi (ii) pembayaran eksesif atas bunga pembiayaan intra-grup termasuk akibat kerugian yang berkepanjangan. Pendanaan diperoleh dari afiliasi dalam bentuk hutang yang seharusnya direkarakterisasi sebagai modal (iii) pembayaran tidak wajar atas penyediaan jasa intra-grup mengenai transaksi tersebut merupakan bentuk pengaburan transaksi lain (iv) pembelian/penjualan barang intra-group terkait perhitungan kewajaran, komponen dan teknis perhitungan HPP merupakan jenis transaksi yang dapat digunakan menggeser laba. Ketentuan TP sudah ada sejak 1983, namun pedoman teknis penilaian arm's length dirumuskan pada 2010, efektif pada 2011. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerapan ketentuan transfer pricing saat itu (sebelum BEPS Action Plan 13) dan masih perlu menjadi perhatian hingga saat ini (setelah BEPS Action Plan 13) meliputi hal berikut. Pertama, pengujian manfaat ekonomi atas pembayaran penggunaan intangible belum solid, masih menitikberatkan pada legal document. Besar pembayaran untuk intangible seharusnya sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan di Indonesia. Kedua, pemerintah telah menerbitkan ketentuan debt-to-equity ratio untuk mengatur pembatasan bunga, namun diperlukan upaya lebih lanjut terkait hal tersebut. Ketiga, ketentuan terkait pembayaran jasa intra-grup pada dasarnya sudah diatur dalam ketentuan teknis TP. Keempat, pemeriksaan terkait harga jual/harga beli atas pembelian/penjualan telah diatur dalam ketentuan domestik Indonesia. Selain itu, dalam pengujian TP, banyak sengketa yang diakibatkan oleh permasalahan teknis yaitu; (i) pemilihan metode pengujian TP (ii) pemilihan data pembanding (iii) proses audit yang tidak tepat. Untuk meningkatkan sistem administrasi, beberapa hal dapat dipertimbangkan. Terkait regulasi (i) atas pembayaran penggunaan intangibles, adanya penekanan terkait pemeriksaan atas kontribusi berdasarkan konsep DEMPE (development, enhancement, maintenance, protection dan exploitation of intangibles, (ii) Selain adanya ketentuan DER, mengadopsi konsep pembatasan pembayaran bunga berbasis penghasilan atau berbasis aktiva dengan suatu penyesuaian (iii) Diperlukan petunjuk terkait ruang lingkup informasi yang harus diungkapkan mengenai pemberian jasa intra-grup. Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi ketentuan safe harbor atau predetermined margin method untuk mengurangi beban administrasi bagi wajib pajak dan otoritas pajak serta mengoptimalkan Advance Pricing Agreement untuk mengurangi sengketa pajak dan meningkatkan kepastian bagi wajib pajak melalui adanyakesepakatan diawal. Terkait optimasi kinerja organisasi, otoritas pajak Indonesia sebaiknya (a) mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk memperluas jangkatau pengawasan wajib pajak, (b) mengoptimalkan kompetensi dan pengetahuan pemeriksa, (c) membuat pola manajemen risiko transfer pricing yang terinstitusionalisasi/terorganisasi serta (d) adanya pola mutasi/promosi yang menekankan pada aspek spesialisasi.
The general schemes of TP occurred is the following (i) excessive payments for intangibles transferred to affiliates with issues related to proving the existence, economic/commercial benefits, and the fairness of the payments (ii) excessive interest payments due to an intra-group financing scheme related prolonged losses. Debt from affiliates should be characterized as capital. (iii) unreasonable payments for intra-group services, whether it has been properly carried out and whether the transaction is an obscuring other transactions (iv) unfairness of purchasing and selling of intragroup goods, i.e., price fairness, the components, and the calculation of COGS. Basically, TP rule has been formulated since 1983, however, the technical guidelines on arm's length were formulated in 2010, effective since 2011. The research shows that the challenges in performing TP provisions since that era (before BEPS Action Plan 13) until recently (after BEPS Action Plan 13) are the following. First, the examination on payment for intangible has not been solid that audit still focuses on legal documents. The payment should follow the value creation/contribution generated in Indonesia. Second, Indonesia has issued the debt-to-equity ratio rule for the limitation on interest payment, further improvement is needed. Third, the provisions on intragroup services have basically been regulated. Fourth, the examination related to the selling/buying price for intra-group trading has basically been regulated. In addition, there were disputes on TP examination caused by technical problems such as (i) selection the transfer pricing test method (ii) selection comparative data (iii) improper audit process. To improve the current TP policy, several inputs delivered as followed. Related to regulation (i) on payment for the use of intangibles, an emphasizing on examining value creation based on the DEMPE concept (development, enhancement, maintenance, protection, and exploitation of intangibles) (ii) adopting earning based or asset based to the current DER, (iii) creating a guideline on the scope of information disclosure related to intra-group services. The authority may consider safe harbors provision or predetermined margin methods to reduce administrative burdens and optimizing Advance Pricing Agreement to reduce disputes and increase certainty through pre-existing agreement. Furthermore, related to the optimization of organizational performance, the DGT should (a) optimize the use of technology to expand the scope of taxpayers monitoring, (b) improve the competence of examiners with increased knowledge following the dynamic issues in transfer pricing issues, (d) create an institutionalized/organized TP risk management patterns as well as (d) re-manage the transfer/promotion patterns that emphasize specialization.