Kejahatan siber telah menjadi salah satu ciri dari masyarakat modern yang muncul seiring dengan perkembangan dan penggunaan teknologi oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan ini, polisi ternyata mengalami kesulitan dalam melakukan penegakan hukum maupun pencegahan terjadinya kejahatan di dunia siber. Polisi terlihat lemah dalam penanganan kasus kejahatan siber, sehingga berdampak pada lemahnya pengendalian sosial formal terhadap kejahatan siber. Situasi ini tercermin, salah satunya, dari meningkatnya angka kasus kejahatan siber dan banyaknya kasus kejahatan siber yang belum dapat ditangani. Di sisi lain, secara teoretis, perubahan terhadap model pemolisian umumnya hanya berlandaskan pada satu atau dua faktor, misalnya dari sisi kelemahan polisi, dari sisi sifat kejahatan siber, atau dari sisi masyarakat pengguna teknologi. Sebagai konsekuensinya, kondisi ini membutuhkan perubahan model pemolisian.
Pendekatan kualitatif digunakan dengan mempertimbangkan bahwa penelitian tentang model pemolisian pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pemahaman dan penjelasan dalam mengonstruksi sebuah konsep yang memiliki sebagian ciri atau karakteristik dari dunia nyata. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kajian literatur, wawancara, dan pengamatan. Analisis data dilakukan dengan pengorganisasian dan mengurutan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat menjadi petunjuk jalan dalam melakukan analisis (interpretasi).
Data menunjukkan bahwa terdapat faktor input dalam model pemolisian, seperti jenis kejahatan siber, penyebab munculnya kejahatan siber, dan karakteristik masyarakat siber. Dari penelitian menunjukkan bahwa jenis kejahatan siber di Indonesia didominasi oleh tindak pidana penipuan dan content-related crimes. Kemudian, rendahnya literasi digital dan terjadinya kesenjangan digital pada masyarakat, kapabilitas polisi yang terbatas, absennya knowledge management system (KMS), serta masih lemahnya praktik-praktik community policing menjadi faktor-faktor yang mendorong maraknya kejahatan siber di Indonesia. Dengan bantuan kerangka berpikir yang diberikan oleh Ponsaers (2001), pemahaman akan faktor-faktor tersebut sebagai aspek dalam proses dinamis pembentukan model pemolisian diidentifikasi pada model pemolisian terhadap kejahatan siber. Hasilnya, hybrid policing sebagai model pemolisian dipandang sebagai jawaban atas makin beragamnya bentuk kejahatan siber, keterbatasan kapabilitas Polri, serta praktik pemolisian yang lebih efektif. Model ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk turut berperan serta dalam pelaksanaan kewenangan polisi dalam melakukan pemolisian. Dalam penelitian ini, teridentifikasi pula beberapa tipologi hybrid policing sebagai sebuah model, yaitu non-hybrid policing, semi hybrid policing, serta pseudo hybrid policing.
Cybercrime has been a feature of modern society, which emerges along with technological advancement and usage. Empirically, it has been challenging for the police to enforce and prevent the occurrence of cybercrime in the cyberspace. The police appear to be weak in handling cybercrime cases, hence weakening the formal social control of cybercrime. Currently, it reflects on the increasing number of cybercrime cases, while most of those cases left unhandled. Theoretically, current state indicates change in policing model grounded in one or two factors, for instance, police weakness, or the nature of cybercrime, or how the society uses technology. Prevailing conditions commonly leads to change in policing model.The qualitative approach employed in current research, considering the nature of a policing model research in which can be defined as an attempt to understand and explain in order to construct a concept that partly resemble characteristics of the real world. The data collection process in current research utilizes literature study, interview and observation. Data analysis was done by organizing and sorting data into categories and basic description unit in order to find patterns and themes in which can be analyzed (interpretation).Data exposes certain factors in policing model, input factor. Factors such as the high number of fraud and content-related crimes, user’s lack of understanding of how technology can be exploited for personal gain, police’s weakness and limitations, the absence of knowledge management system (KMS), and also inadequate community policing practice. Understanding of these factors, combined with a framework of aspects within the dynamic process of constructing policing model from Ponsaers (2001), identifying cybercrime policing model. Result presents Hybrid Policing, as a policing model to resolve varying forms of crime, weaknesses of the police and encouraging more effective policing. Aforementioned model can also initiate opportunities for the people to have authority, previously in the hands of the police, in terms of policing. Current research also identifies several typologies of Hybrid Policing as a model, namely non-hybrid policing, semi hybrid policing and pseudo hybrid policing.