Penelitian ini membahas peran pelabuhan Parepare dalam perdagangan beras di kawasan Selat Makassar. Sejauh ini, Historiografi Maritim Sulawesi Selatan cenderung menempatkan komoditas kopra sebagai penggerak sejarah yang dominan selama paruh pertama abad ke-20. Akibatnya, narasi sejarah pelabuhan Makassar masih lebih mencolok dibanding narasi pelabuhan-pelabuhan lain di sekitarnya. Penelitian ini menelusuri sejarah pelayaran dan perdagangan di Sulawesi Selatan dari sisi yang berbeda, yakni komoditas beras. Dengan mengambil temporal penelitian yang mencakup 1905 hingga 1939, penelitian ini menggunakan metode sejarah dan pendekatan struktural. Adapun sumber-sumber yang digunakan ialah arsip pemerintah kolonial, surat kabar, jurnal dan majalah. Terletak di pantai barat Sulawesi, Parepare adalah suatu pelabuhan yang ditopang beberapa wanua ri laleng (daerah pedalaman), seperti Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang dan Toraja. Meskipun pada awalnya terdapat berbagai faktor yang saling berkelindan dan turut mempengaruhi dinamika perdagangan beras, namun hal itu tidak menjadi penghalang bagi Parepare yang didukung wanua ri laleng yang terkenal subur. Hal ini tercermin dari aktivitas ekspor beras dengan jaringan perdagangan yang mencakup intra-regional dan inter-regional. Pada 1930-an, komoditas beras di Parepare diangkut langsung ke beberapa wanua laeng (daerah seberang), seperti Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, Manado, Maluku, Timor dan Jawa. Luasnya cakupan perdagangan itu mewujudkan peran Parepare sebagai pusat perniagaan beras utama di Selat Makassar. Dengan peranan itu, penelitian ini menemukan bahwa collecting centre (Parepare) tidak selalu bertindak sebagai penyuplai bagi entrepot (Makassar). Temuan ini juga menjelaskan bahwa Parepare telah berperan melampaui fungsinya dalam perdagangan (over-collecting centre). Kontrol pemerintah kolonial dalam perdagangan beras sejak 1933 adalah salah satu faktor penting di balik pencapaian peranan tersebut dan, bahkan, Parepare menjelma sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di Timur Besar (Groote Oost). Di samping itu, ramainya aktivitas perdagangan pada gilirannya berdampak pula terhadap perkembangan Kota Pelabuhan Parepare pada masa kolonial, sebagaimana tercermin dari struktur masyarakat, fasilitas kota dan peran para pedagang dalam pengembangan kota.
This study discusses the role of the port of Parepare in the rice trade in the Makassar Strait area. So far, the Maritime Historiography of South Sulawesi tends to place copra as the dominant historical driver during the first half of the 20th century. As a result, the historical narrative of the Makassar port is still more striking than the narratives of other ports in the vicinity. This study traces the history of shipping and trade in South Sulawesi from a different side, namely rice commodities. By taking the research temporal which covers 1905 to 1939, this research uses historical methods and structural approaches. The sources used are colonial government archives, newspapers, journals and magazines. Located on the west coast of Sulawesi, Parepare is a port supported by several wanua ri laleng (hinterland), such as Sidenreng, Rappang, Pinrang, Barru, Parepare, Enrekang and Toraja. Although in the beginning there were various factors that were intertwined and also influenced the dynamics of the rice trade, this did not become a barrier for Parepare, who was supported by the famous fertile wanua ri laleng. This is reflected in rice export activities with a trade network that includes intra-regional and inter-regional. In the 1930s, rice commodities in Parepare were transported directly to several wanua laeng (foreland), such as East and South Kalimantan, Manado, Maluku, Timor and Java. The wide scope of trade embodies Parepare's role as the main rice trading center in the Makassar Strait. With that role, this study found that the collecting center (Parepare) does not always act as a supplier for entrepot (Makassar). This finding also explains that Parepare has played a role beyond its function in trading (over-collecting center). The colonial government's control of the rice trade since 1933 was one of the important factors behind achieving this role and, in fact, Parepare became one of the busiest ports in the Great East (Groote Oost). In addition, the hectic trading activities in turn also had an impact on the development of the Port City of Parepare during the colonial period, as reflected in the community structure, city facilities and the role of traders in the development of the city.