Notaris sebagai pejabat umum memiliki kewenangan membuat akta autentik. Kewenangan tersebut harus dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Notaris. Namun, ada kalanya terdapat seorang Notaris yang tidak mengikuti prosedur hukum dalam pelaksanaan kewenangannya membuat akta autentik. Hal ini pun mengakibatkan Notaris dinyatakan telah melakukan perbuatan pidana dan karenanya dibebani pertanggungjawaban pidana. Seperti halnya Terdakwa RUUR yang merupakan seorang Notaris di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 1362/Pid.B/2019/Pn.Jkt.Utr. Untuk meneliti Putusan ini, Penulis menggunakan data sekunder serta menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka sebagai alat pengumpulan data. Karenanya, penelitian tesis ini berbentuk penelitian hukum normatif. Lebih lanjut, dalam Putusan a quo, RUUR dinyatakan telah melakukan pemalsuan akta autentik karena membuat PPJB dan AJB tanpa dihadiri oleh para pihak yang berkepentingan dan karenanya tidak membacakan PPJB dan AJB tersebut. Terlebih lagi PPJB dan AJB tersebut merupakan transaksi jual beli tanah yang fiktif. Akibat perbuatan RUUR tersebut, Hakim menyatakan RUUR telah bersalah melakukan tindak pidana karena melanggar Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP dan membebankan pertanggungjawaban pidana kepadanya. Namun, sebelum proses hukum terhadap RUUR, telah terjadi perdamaian antara RUUR dengan para pihak sehingga telah tercipta restorative justice. Dengan demikian, karena telah ada restorative justice, pertanggungjawaban pidana seharusnya tidak dibebankan kepada RUUR dan dapat dikesampingkan dengan pembebanan pertanggungjawaban jabatan baik secara administrasi maupun secara etik. Hal ini juga sebagai implementasi dari konsep hukum pidana sebagai ultimum remedium. Dengan demikian, RUUR dapat dibebankan sanksi administrasi dan juga sanksi etik.
Notary as a public official has the authority to make authentic deeds. Such authority must be exercised by following the procedures stipulated by laws and regulations and the Notary Code of Ethics. However, there are times when there is a notary who does not follow legal procedures in exercising his / her authority to make authentic deeds. This also results in the notary being declared to have committed a criminal act and therefore being liable for the crime. Like the Defendant RUUR who is a Notary in the Decision of the North Jakarta District Court Number 1362/Pid.B/2019/Pn.Jkt.Utr. In this research, writer use secondary data and using document studies or library materials as a data collection tool. Thus, the form of this research is a normative legal research. Furthermore, in this decision, RUUR made PPJB and AJB without the attendance of interested parties and therefore did not read out the PPJB and AJB. Moreover, the PPJB and AJB are fictitious land buying and selling transactions. As a result of the RUUR's actions, the Judge declared RUUR guilty of committing a criminal act for violating article 264 paragraph 1 number 1 Indonesian Criminal Code and imposing criminal responsibility on him. However, before the legal process against RUUR, there was peace between RUUR and the parties so that restorative justice was created. Thus, because there is restorative justice, criminal responsibility does not have to be borne by the RUUR and can be overridden by the imposition of accountability for positions both administratively and ethically. This is also an implementation of the concept of criminal law as ultimum remedium. Thus, RUUR can be subject to administrative sanctions as well as ethical sanctions.