Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) merupakan terminologi yang lahir dari disiplin ilmu hukum administrasi, mengingat wewenang (bevoigheid) merupakan kajian inti dari hukum administrasi negara. Namun demikian, dalam konteks indonesia, penyalahgunaan wewenang pertamakali digunakan dalaam hukum pidana (korupsi). Implikasi dari hal tersebut, penyalahgunaan wewenang selalu identik dengan kesalahan dalam tindak pidana (korupsi). Konsep demikian pada akhirnya menciptakan fenomena overcriminalization terhadap perbuatan yang tidak mengandung unsur kejahatan pada tataran birokrasi. Pada akhirnya, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebagai landasan yuridis dalam mengakhiri mono frasa dalam penindakan unsur penyalahgunaan wewenang. Hal demikian juga diperkuat dasar pertimbangan (ratio decidendie) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menafsirkan unsur penyalahgunaan wewenang agar dibaca berdasarkan dua bidang hukum yaitu administrasi pemerintahan dan hukum pidana. Tesis ini akan mengulas lebih dalam mengenai maksud pembatasan dalam dimensi hukum administrasi dan hukum pidana terhadap unsur penyalahgunaan wewenang, melalui serangkaian proses identifikasi. Selain itu, tesis ini disusun berdasarkan penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum primer dan kepustakaan sebagai bahan sekunder. Hasil dari tesis ini menunjukan dua temuan utama, yaitu; Pertama, identifikasi terhadap unsur penyalahgunaan wewenang pejabat administrasi pemerintahan harus difahami berdasarkan elemen melawan hukum dari dua bidang hukum yaitu, hukum administrasi dan hukum pidana. Kedua, penyalahgunaan wewenang termasuk sebagai elemen melawan hukum dalam hukum administrasi sepanjang berkaitan dengan lingkup dwaling (salah kira) mengenai wewenang, prosedur/syarat dan subtansi pelaksanaan wewenang, sedangkan menyalahgunakan kewenang termasuk dalam elemen melawan hukum dalam hukum pidana sepanjang memuat unsur dwal badrog, yaitu suap, paksaan, tipuan.
Abuse of authority (detournement de pouvoir) is a terminology that was born from the discipline of administrative law, considering that authority (bevoigheid) is the core study of state administrative law. However, in the Indonesian context, abuse of authority was first used in criminal law (corruption). This implicates that abuse of authority is always identical with errors in criminal acts (corruption). This concept ultimately creates the phenomenon of overcriminalization of acts that do not contain elements of crime at the bureaucratic level. In the end, the Government enacted Law Number 30 of 2014 concerning Government Administration, as a juridical basis in ending mono-phrases in the prosecution of elements of abuse of authority. This is also reinforced by the basis for consideration (ratio decidendie) of the Constitutional Court Decision Number 25/PUU-XIV/2016 which interprets the element of abuse of authority to be read based on two fields of law, namely government administration and criminal law. This thesis will review more deeply about the purpose of restrictions in the dimensions of administrative law and criminal law against elements of abuse of authority, through a series of identification processes. In addition, this thesis is prepared based on normative juridical research that uses laws and regulations as the primary source of law and literature as secondary material. The results of this thesis show two main findings; First, the identification of elements of abuse of authority of government administrative officials must be understood based on elements against the law from two fields of law, namely administrative law and criminal law. Second, abuse of authority is included as an element against the law in administrative law as long as it relates to the scope of dwaling (mistaking) regarding the authority, procedures/conditions and substance of the exercise of authority, while abusing authority is included in the unlawful element in criminal law as long as it contains elements of dwal badrog, namely bribe, coercion, and deception.