Dalam masyarakat berkembang, lanjut usia (lansia) di Indonesia pada umumnya dirawat oleh keluarga mereka sendiri. Namun hal tersebut tidak dialami oleh waria lansia positive deviance yang berada dibawah lindungan Rumah Singgah Waria Anak Raja yang didirikan oleh Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI). Kasus penyimpangan positif yang terjadi pada waria lansia tersebut, dalam kajian ilmu sosial dapat dikatakan sebagai kasus Positive Deviance. Diskriminasi dan stigma sosial yang dialami oleh waria dimulai ketika mereka memutuskan untuk mengikuti jati diri mereka sebagai seorang perempuan diusia dini. Penelitian ini mengkaji bagaimana waria lansia positive deviance di Rumah Singgah Waria Anak Raja dapat mewujudkan keberfungsian sosialnya dengan modal sosial sebagai bonding, briding, dan linking yang dimiliki. Informan utama adalah waria lansia yang berumur lebih dari 60 tahun dan telah berada dibawah lindungan rumah singgah selama minimal 1 tahun. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kualitatif dan menggunakan wawancara mendalam untuk pengumpulan data. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa waria lansia positive deviance dapat memenuhi modal sosialnya karena berada dibawah lindungan Rumah Singgah Waria Anak Raja sehingga dukungan sosial, jaringan sosial, sumber daya sosial, peran sosial, dan aktivitas sosial sebagai bagian dari keberfungsian sosial mereka dapat terwujud.
In a developing community, elders in Indonesia are generally taken care of by their own family. However, such norm does not apply and experienced by positive deviance elderly transgenders under the auspices of Waria Anak Raja Shelter House which was established by The Indonesian Waria Communication Forum (FKWI). Positive deviance cases in elderly transgenders, in social science studies is referred to as Positive Deviance. Discriminations and social stigmatizations experienced by transgenders for most cases started out when they decided to pursue their identity as women at an early age. This research also studied the way positive deviance elderly transgenders in Waria Anak Raja Shelter House can realize their social function as a bonding, briding, and linking that they own. The main informants for this research are 60-year-old elderly transgenders and have been under the auspices of the shelter house for a minimum of 1 year. The method used for this research was qualitative method using in-depth interviews to gather data. This research revealed that positive deviance elderly transgenders can fulfill their social capital in which being under the auspices of Waria Anak Raja Shelter House plays a big role in. Therefore, they can materialize their social support, social network, social resource, social role, and social activity as a part of their social function.