Indonesia belum sepenuhnya memberdayakan pengungsi dan pencari suaka karena belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Tanpa ratifikasi kedua instrumen tersebut, para pengungsi di Indonesia tidak memiliki akses terhadap hak-hak dasar, termasuk hak untuk bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Konvensi Pengungsi. Rata-rata, pengungsi harus menunggu 5-10 tahun, bahkan hingga 25 tahun, untuk mendapatkan resettlement, sementara selama masa transit tersebut, mereka tetap tidak diizinkan bekerja. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan studi dokumen dan wawancara terhadap UNHCR, pakar hukum dan keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM RI, akademisi, serta pengungsi di Indonesia. Pihak berwenang harus mempertimbangakn urgensi pemberian hak untuk bekerja bagi pengungsi di Indonesia dari sisi kemanusiaan, psikologis, serta manfaat sosial-ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengevaluasi regulasi terkait pengungsi dan pencari suaka, khususnya terkait hak untuk bekerja, baik melalui revisi Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri maupun dengan membuat peraturan baru yang mengatur hak bekerja sementara bagi para pengungsi.

---

Indonesia has not fully empowered refugees and asylum seekers because it has not ratified the 1951 Refugee Convention or its 1967 Protocol. Without ratification of these two instruments, refugees in Indonesia lack access to fundamental rights, including the right to work, as stipulated in Article 17 of the Refugee Convention. On average, refugees must wait between 5 and 10 years, or even up to 25 years, to obtain resettlement. During this transit period, the refugees are not able to work. This research employs a doctrinal method, utilizing document analysis and interviews with representatives from UNHCR, legal and immigration experts from Indonesia's Ministry of Law and Human Rights, academics, and refugees residing in Indonesia. The authorities should consider the urgency of granting the right to work for refugees in Indonesia from humanitarian, psychological, and socio-economic perspectives. Therefore, the Indonesian government must review regulations concerning refugees and asylum seekers, particularly those related to the right to work, either by revising Presidential Regulation No. 125 of 2016 on the Handling of Refugees from Abroad or by establishing new regulations that govern temporary work rights for refugees.