Initial Coin Offering (ICO) merupakan salah satu metode inovatif untuk penggalangan dana dengan teknologi blockhain yang mulai banyak digunakan di seluruh dunia. Namun, kompleksitas regulasi dan tantangan hukum dalam pelaksanaannya menjadi perhatian utama, terutama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana Indonesia akan meregulasi ICO dengan membandingkan praktik yang di terapkan di Amerika Serikat dan China, serta mengidentifikasi tantangan hukum yang akan dihadapi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator dalam pengaturan dan pengawasan kripto khususnya ICO. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan perbandingan hukum yang bertujuan untuk meneliti kepastian hukum berdasarkan studi kepustakaan dan perbandingan hukum positif yang ada. Penelitian menujukkan bahwa Amerika Serikat mengatur ICO dengan pendekatan berbasis perlindungan investor melalui klasifikasi token sebagai sekuritas sedangkan China melarang ICO secara total untuk mencegah risiko keuangan. Indonesia sendiri belum memiliki regulasi spesifik yang mengatur ICO, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku di pasar kripto. Tantangan yang dihadapi OJK dalam meregulasi ICO yaitu, keadaan pasar kripto itu sendiri, ketidakjelasan status hukum kripto, konflik hukum dan konflik yuridiksi. Kesimpulannya, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan regulasi berbasi perlindungan investor seperti di Amerika Serikat, sembari tetap menjaga ruang inovasi. Perlu adanya pembentukan kerangka hukum yang harmonis melibatkan koordinasi antara OJK, BAPPEBTI, dan Bank Indonesia, guna menciptakan ekosistem kripto khususnya ICO yang aman dan mendukung pertumbuhan ekonomi digital.

---

Initial Coin Offering (ICO) is an innovative method of fundraising using blockchain technology that has gained significant traction worldwide. However, the complexity of regulations and legal challenges in its implementation has become a major concern, particularly in Indonesia. This study aims to analyze how Indonesia can regulate ICOs by comparing the practices implemented in the United States and China, as well as identifying the legal challenges faced by the Financial Services Authority (OJK) as the regulator in governing and supervising cryptocurrencies, specifically ICOs. This thesis employs a doctrinal research method with a comparative legal approach, aiming to examine legal certainty through a literature review and a comparison of existing positive laws. The research shows that the United States regulates ICOs with an investor protection-based approach by classifying tokens as securities, while China prohibits ICOs entirely to prevent financial risks. Indonesia, on the other hand, does not yet have specific regulations governing ICOs, creating legal uncertainty for players in the crypto market. The challenges faced by OJK in regulating ICOs include the dynamic nature of the crypto market, the unclear legal status of cryptocurrencies, conflicts of law, and jurisdictional conflicts. The study concludes that Indonesia needs to adopt a regulatory approach based on investor protection, as seen in the United States, while maintaining room for innovation. A harmonized legal framework involving coordination between OJK, BAPPEBTI, and Bank Indonesia is essential to establish a secure and supportive ecosystem for cryptocurrencies, particularly ICOs, that promotes digital economic growth.