Sebagai negara kepulauan yang luas dengan kondisi topografi yang beragam mulai dari dataran rendah perkotaan, dataran tinggi, hingga lembah pegunungan dan memiliki curah hujan rata-rata tahunan lebih dari 2000 mm, Indonesia rawan terhadap bencana hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah longsor. Indonesia saat ini memiliki sistem pemantauan curah hujan real-time dengan jumlah sekitar 1000 alat penakar curah hujan otomatis sehingga masih membutuhkan lebih banyak lagi untuk meningkatkan resolusi spasial pemantauan. Peningkatan kepadatan peralatan pemantau menggunakan alat penakar hujan dan radar cuaca menimbulkan masalah biaya pengadaan dan operasional yang tinggi. Penggunaan jaringan satelit komunikasi yang beroperasi pada frekuensi Ku-band juga masih jarang diteliti, terutama di Indonesia. Dalam penelitian-penelitian terdahulu, estimasi curah hujan melalui pembelajaran mesin masih terbatas pada pemodelan berdasarkan redaman sinyal satelit. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi tantangan untuk memperkirakan intensitas curah hujan dengan memanfaatkan jaringan komunikasi satelit Ku-band dan mengombinasikannya dengan data meteorologi berbasis penginderaan jauh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa model 1DCNN dan RF dalam mendeteksi hujan setara dengan LSTM, MLP, dan SVM dengan akurasi berbasis musim berada pada rentang 70–82%, meskipun kesalahan pelabelan dapat terjadi akibat jarak antara UT dan RG. Model estimasi intensitas curah hujan berbasis redaman sinyal satelit memberikan kinerja terbaik di Natuna, khususnya pada curah hujan sedang, dengan underestimate yang rendah (NB -38% untuk 1DCNN dan -16% untuk RF), yang didukung oleh fenomena MCC berskala besar di wilayah tersebut. Penambahan data temperatur permukaan dan puncak awan dari MERRA-2 tidak memberikan peningkatan performa signifikan, kecuali sedikit perbaikan pada Natuna untuk curah hujan sedang, dengan penurunan NRMSE dari 40,7% ke 38,1% dan peningkatan akurasi dari 48,1% menjadi 55,7%, meskipun nilai NB meningkat menjadi -16%, hasil ini sejalan dengan penelitian di Italia dengan variasi jarak UT dan RG.
As an extensive archipelagic country with diverse topographical conditions ranging from urban lowlands, highlands, to mountain valleys, and an average annual rainfall exceeding 2000 mm, Indonesia is highly prone to hydrometeorological disasters such as flash floods and landslides. Currently, Indonesia has a real-time rainfall monitoring system with approximately 1,000 automatic rain gauges, which is insufficient for improving the spatial resolution of monitoring. Increasing the density of monitoring equipment using rain gauges and weather radars poses significant procurement and operational cost challenges. The use of communication satellite networks operating in the Ku-band frequency remains under-researched, especially in Indonesia. Previous studies on rainfall estimation using machine learning have largely focused on modeling based on satellite signal attenuation. Therefore, this study aims to address the challenge of estimating rainfall intensity by utilizing Ku-band communication satellite networks combined with remote sensing-based meteorological data. The study results indicate that the performance of 1DCNN and RF models in detecting rainfall is comparable to LSTM, MLP, and SVM, with seasonal accuracy ranging from 70–82%, despite labeling errors caused by the distance between UT and RG. Rainfall intensity estimation models based on satellite signal attenuation showed the best performance in Natuna, particularly for moderate rainfall, with low underestimation (NB -38% for 1DCNN and -16% for RF), supported by the large-scale MCC phenomenon in the region. Adding surface temperature and cloud top data from MERRA-2 did not significantly improve performance, except for slight enhancements in Natuna for moderate rainfall, reducing NRMSE from 40.7% to 38.1% and increasing accuracy from 48.1% to 55.7%, although NB increased to -16%. These results align with studies conducted in Italy with varying distances between UT and RG.