Toilet sekolah seharusnya menjadi ruang publik yang mendukung kenyamanan dan kesehatan siswi, terutama saat menstruasi. Namun, keterbatasan fasilitas dan desain yang tidak ramah perempuan sering menimbulkan rasa tidak aman dan ketidaknyamanan, yang mendorong perubahan perilaku penggunaan toilet. Skripsi ini bertujuan memahami perilaku siswi berupa strategi spasial dan sosial yang dilakukan siswi dalam merespons keterbatasan affordance ruang toilet. Metode yang digunakan meliputi kajian literatur, observasi lapangan, dan wawancara terhadap beberapa siswi di dua sekolah menengah pertama. Hasil menunjukkan bahwa keterbatasan affordance mendorong munculnya strategi adaptif, baik secara spasial (memilih bilik, mengatur waktu) maupun sosial (mengajak teman, menahan diri), kedua strategi ini sifatnya saling melengkapi demi memenuhi persepsi kenyamanan dan keamanan siswi. Perubahan perilaku dipengaruhi oleh tekanan fisik dan sosial, termasuk stigma terhadap tubuh perempuan. Oleh karena itu, perbaikan toilet sekolah perlu dilakukan melalui pendekatan empatik yang mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai pengguna utama.

---

School toilets should serve as public spaces that support the comfort and health of female students, especially during menstruation. However, limited facilities and genderinsensitive design often lead to feelings of insecurity and discomfort, prompting behavioral changes in toilet use. This thesis aims to understand female students’ spatial and social strategies in responding to the lack of toilet affordances. The research methods include literature review, field observation, and interviews with students from two junior high schools. Findings show that limited affordance triggers adaptive strategies, both spatial (choosing specific stalls, adjusting time of use) and social (asking a friend to accompany, holding the urge to use the toilet). These strategies complement one another in an effort to maintain a sense of comfort and safety. Behavioral changes are influenced by both physical and social pressures, including stigma surrounding the female body. Therefore, improving school toilets requires an empathetic approach that centers on the lived experiences of female users.