Deklarasi Presiden Xi Jinping di Sidang Majelis Umum PBB pada 2021 yang menjanjikan penghentian keterlibatan Tiongkok dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara telah dipuji sebagai terobosan bagi pencapaian Perjanjian Paris. Namun, hingga April 2025, status perencanaan proyek dengan keterlibatan aktor Tiongkok menunjukkan variasi. Meskipun beberapa proyek telah dibatalkan, terdapat pula proyek yang terus maju ke tahap selanjutnya dan, bahkan, muncul proyek baru yang diumumkan setelah deklarasi Xi. Penelitian ini bertujuan menjelaskan variasi tersebut dengan mengadopsi konsep Global China dan metode crisp-set Qualitative Comparative Analysis (csQCA) atas 25 proyek. Studi kasus juga dilakukan terhadap PLTU Gwadar di Pakistan, PLTU Tuzla 7 di Bosnia dan Herzegovina, PLTU Tabas di Iran, dan PLTU Kawasan Industri Nanshan di Indonesia. Penelitian ini menghasilkan dua temuan utama. (1) Variasi status proyek PLTU dipengaruhi oleh interaksi unik antara aktor Tiongkok dan mitra di tiap proyeknya yang merespons deklarasi Xi secara berbeda. Dalam hal ini, terdapat variasi dalam perilaku aktor Tiongkok, mulai dari aktor privat yang masih terus terlibat sementara aktor BUMN hanya telah membatasi aktivitas pendanaan mereka. Respons negara mitra juga bergantung pada kondisi domestik masing-masing, seperti tingkat ketergantungan pada bantuan Tiongkok, kemauan politik, dan lain sebagainya. (2) Respons yang bervariasi di antara aktor Tiongkok dapat terjadi karena adanya fleksibilitas dalam pengaturan investasi keluar Tiongkok yang mau tidak mau dilakukan oleh pemerintah pusat demi menyeimbangkan berbagai kepentingan, baik itu untuk aktor domestik, narasi strategis, kedekatan dengan mitra, dan lain sebagainya. Temuan ini menunjukkan bahwa, Tiongkok, negara besar yang kerap diasosiasikan dengan sistem otoriter dengan dominasi kekuatan teknis maupun pendanaan, tetap menghadapi kompleksitas dalam implementasi kebijakan luar negerinya, termasuk dalam menghadapi agensi negara mitra dan konflik kepentingan domestik.
President Xi Jinping’s 2021 announcement at the United Nations General Assembly to stop China’s involvement in the construction of coal-fired power plants abroad was widely praised as a breakthrough for the Paris Agreement. However, as of April 2025, the status of projects involving Chinese actors varies significantly. While some projects have been cancelled, others have continued to progress, and new projects have even been announced post- declaration. This study aims to explain this variation by adopting the concept of Global China and employing a crisp-set Qualitative Comparative Analysis (csQCA) of 25 projects. It also includes case studies of the Gwadar power plant in Pakistan, Tuzla 7 in Bosnia-Herzegovina, Tabas in Iran, and the Nanshan Industrial Park power plant in Indonesia. The study yields two main findings. (1) Variation in project status is shaped by the unique interactions between Chinese actors and partner countries, each responding differently to Xi’s declaration. Chinese actors exhibit differing behavior, with private actors continuing their involvement, while state-owned enterprises (SOEs) have largely limited their financing activities. Partner countries’ responses are also influenced by their domestic conditions, including their level of dependence on Chinese support, political will, and reputational considerations. (2) These variation of responses among Chinese actors are enabled by the flexibility within China’s outbound investment governance. This flexibility is a deliberate strategy by the central government to balance multiple interests, including those of domestic actors, strategic narratives, and diplomatic ties with partner countries. These findings suggest that, despite China’s global image as a centralized authoritarian state with dominant technical and financial power, the country still faces significant complexities in implementing its foreign policy, particularly in managing partner country agency and domestic conflict of interest.