Apa yang terjadi ketika tradisi leluhur dan Injil berjalan berdampingan di antara hutan dan gereja di tanah Papua? Tulisan etnografis ini membawa kita menyusuri kehidupan masyarakat Moi Kelim di Kampung Kuadas, yang hidup di persimpangan antara adat dan iman kristiani. Alih-alih melihat perubahan budaya sebagai perpecahan atau penghapusan total, tulisan ini menelusuri proses negosiasi yang lebih halus—di mana nilai-nilai tradisional tidak ditinggalkan, tetapi justru dijahit ulang, diselaraskan, bahkan dipeluk bersama ajaran gereja. Perempuan, yang selama ini tak banyak mendapat ruang dalam ranah adat yang eksklusif dan maskulin, menemukan tempat baru di dalam institusi gereja. Di sana, mereka membangun peran, suara, dan otoritas spiritual. Melalui perjumpaan sehari-hari, sejarah hidup, dan kisah-kisah warga, saya mengikuti bagaimana nilai seperti relasionalitas, sosialitas, dan keselamatan individu saling bertemu, berbenturan, lalu berdamai dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan sekadar kisah tentang masyarakat yang "berpindah" agama, tetapi tentang bagaimana mereka merespons secara aktif—dengan imajinasi, dengan keberanian, dan dengan cara mereka sendiri. Perubahan budaya, dalam hal ini, bukan soal memilih antara masa lalu dan masa depan, tapi tentang merangkul keduanya sekaligus—dan membiarkan ‘terang’ datang dari lebih dari satu arah.
What happens when ancestral traditions and the Gospel walk side by side through the forests and churches of Papua? This ethnographic work takes us into the heart of Kampung Kuadas, where the Moi Kelim people live at the crossroads of customary law and Christian belief. Rather than viewing cultural change as rupture or erasure, this thesis traces a quieter, more complex negotiation—where traditional values are not abandoned but reshaped, reinterpreted, and even harmonized with the teachings of the church. Women, often excluded from exclusive spaces of adat, find belonging and agency within the church, carving out new roles and spiritual authority. Through daily encounters, life histories, and shared stories, I follow how values like relationality, sociality, and individual salvation collide, overlap, and co-exist in unexpected ways. This is not a story of a community that simply converts, but one that responds—creatively and critically— to the arrival of Christian modernity. In doing so, they show that cultural transformation doesn’t always mean choosing between past and future. Sometimes, it means holding both in the same hand, and letting the ‘light’ fall from more than one direction.