Remaja yang berkonflik dengan hukum memiliki konsep diri yang negatif karena terjerat kriminalitas yang membuat mereka kehilangan keberfungsian sosial. Dalam situasi tersebut, pembentukan resiliensi menjadi aspek penting agar mereka mampu bangkit, beradaptasi, dan kembali berfungsi secara sosial. Sebagai bagian dari proses rehabilitasi sosial, bimbingan sosial hadir sebagai intervensi yang diarahkan untuk memperkuat aspek kognitif, emosional, dan sosial remaja. Penelitian ini dilakukan di Sentra Handayani, salah satu LPKS yang menyelenggarakan program rehabilitasi melalui prinsip restorative justice dengan program Asistensi Rehabilitasi Sosial (ATENSI). Preliminary research menunjukkan bahwa mayoritas penerima manfaat berasal dari kalangan remaja dengan vonis rehabilitasi 3–6 bulan, terlibat dalam kasus seperti kekerasan fisik, kepemilikan senjata tajam, kekerasan seksual, dan pencurian. Sebanyak 90% dari mereka memiliki tingkat intelegensi rendah dan cenderung bersikap agresif serta kesulitan memahami norma sosial. Penelitian ini bertujuan untuk 1) menjelaskan kegiatan bimbingan sosial di Sentra Handayani; dan 2) menjelaskan pembentukan resiliensi remaja yang berkonflik dengan hukum melalui kegiatan bimbingan sosial di Sentra Handayani. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Informan terdiri dari 5 orang remaja yang berkonflik dengan hukum, 3 fasilitator bimbingan sosial dari kalangan penyuluh sosial, dan 2 orang pekerja sosial pendamping. Data yang didapatkan dianalisis menggunakan open coding, axial coding, dan selective coding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan bimbingan sosial dilaksanakan secara rutin dan sistematis dengan materi berbasis penguatan karakter dan sosial, serta metode yang bervariasi seperti pemaparan teori, refleksi diri, dan permainan edukatif. Kegiatan ini sejalan dengan terapi Cognitive Behavioral yang diaplikasikan melalui penguatan kognitif, pengelolaan emosi, dan pembentukan perilaku positif. Kegiatan ini berkontribusi terhadap pembentukan resiliensi remaja melalui penguatan tiga sumber resiliensi menurut Grotberg (1995), dukungan eksternal (I Have), kekuatan dalam diri (I Am), dan kemampuan interpersonal (I Can). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kegiatan bimbingan sosial berperan dalam mendukung proses rehabilitasi remaja agar mampu membentuk kemampuan resiliensi. Rekomendasi diberikan kepada Sentra Handayani untuk meningkatkan variasi metode dan menyusun modul yang terstruktur. Penelitian selanjutnya disarankan menelusuri keberlanjutan resiliensi pasca-rehabilitasi dan menganalisis jenis pelanggaran hukum dengan resiliensi remaja yang berkonflik dengan hukum.
Juvenile in conflict with the law often develop negative self-concepts due to their involvement in criminal behavior, leading to a loss of social functioning. In such situations, resilience becomes a crucial aspect that enables them to recover, adapt, and regain their social roles. As part of the social rehabilitation process, social guidance serves as an intervention aimed at strengthening adolescents’ cognitive, emotional, and social aspects. This research was conducted at Sentra Handayani, one of the social welfare institutions that implement rehabilitation programs based on restorative justice through the Social Rehabilitation Assistance (ATENSI) program. Preliminary research showed that most beneficiaries were adolescents sentenced to 3–6 months of rehabilitation, involved in cases such as physical assault, possession of sharp weapons, sexual violence, and theft. Approximately 90% of them had low intellectual abilities, exhibited aggressive behavior, and struggled to understand social norms. This study aims to: (1) describe the implementation of social guidance activities at Sentra Handayani; and (2) explain the formation of resilience among juveniles in conflict with the law through these activities. The method are qualitative-descriptive study using in-depth interviews, observations, and document analysis. Informants included 5 juveniles in conflict with the law, 3 social guidance facilitators from social counselors, and 2 social workers. The data analyzed with open coding, axial coding, and selective coding method. The findings show that social guidance activities are carried out regularly and systematically, with materials focused on character and social development, delivered through various methods such as theoretical presentations, self-reflection, and educational games. These activities align with the principles of Cognitive Behavioral Therapy by reinforcing cognitive restructuring, emotional regulation, and positive behavior development. The program contributes to building adolescents’ resilience through the development of three sources as proposed by Grotberg (1995): external support (I Have), internal strengths (I Am), and interpersonal skills (I Can). This study concludes that social guidance plays a significant role in supporting the rehabilitation process by fostering adolescents' resilience. Recommendations are directed to Sentra Handayani to enhance method variation and develop a structured module. Future research is suggested to explore the sustainability of resilience after rehabilitation and examine the relationship between types of offenses and adolescents’ resilience levels.