Penelitian ini membahas kekosongan hukum dalam pengakuan dan eksekusi cross border insolvency dalam hukum kepailitan Indonesia, serta melakukan studi komparatif dengan sistem hukum di United Kingdom. Ketidakteraturan pengaturan dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menunjukkan belum adanya pengakuan dan mekanisme pelaksanaan kepailitan lintas batas yang sah dan efektif. Hal ini menghambat proses penyelesaian sengketa kepailitan yang melibatkan aset atau pihak asing. Sementara itu, United Kingdom, melalui Cross Border Insolvency Regulations 2006 (CBIR) yang mengadopsi UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, telah memiliki kerangka hukum yang komprehensif dan adaptif dalam menghadapi perkara kepailitan lintas negara, bahkan setelah keluarnya negara tersebut dari Uni Eropa. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan komparatif dan analisis deskriptif terhadap regulasi nasional dan internasional, serta prinsip universalitas, teritorialitas, dan modified universalism. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan reformasi hukum untuk mengisi kekosongan ini, baik dengan mengadopsi UNCITRAL Model Law secara utuh, merevisi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, maupun dengan membentuk instrumen bilateral/multilateral yang relevan. Tanpa pembaruan ini, Indonesia akan terus tertinggal dalam harmonisasi hukum kepailitan internasional dan berpotensi merugikan kreditor maupun debitor dalam skema insolvensi lintas negara.
This paper discusses the legal vacuum in the recognition and enforcement of cross border insolvency within Indonesian bankruptcy law, and presents a comparative study with the legal framework of the United Kingdom. The absence of provisions in Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations indicates that Indonesia lacks effective recognition and enforcement mechanisms for transnational insolvency cases. This creates obstacles in resolving bankruptcy disputes involving foreign assets or parties. Conversely, the United Kingdom, through the Cross Border Insolvency Regulations 2006 (CBIR), which implements the UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency, has established a comprehensive and adaptive framework to manage cross-border insolvency cases, even after its exit from the European Union. This study employs a normative juridical method with comparative and descriptive analysis of both national and international legal frameworks, including principles of universality, territoriality, and modified universalism. The findings indicate an urgent need for Indonesia to reform its bankruptcy law by adopting the UNCITRAL Model Law, revising Law No. 37 of 2004, and establishing relevant bilateral or multilateral instruments. Without such reforms, Indonesia will continue to lag behind in harmonizing with global insolvency law standards, posing risks to both creditors and debtors in cross-border insolvency proceedings.