Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100109 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Pamudji
"Penelitian bertujuan untuk membahas pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) narapidana. Seperti diketahui bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan setiap narapidana mengalami dan merusakan perlakuan berupa pembatasan kebebasan geraknya. Sedangkan kebutuhan biologis (seksual) merupakan kebutuhan primer manusia yang selalu menuntut pemenuhannya. Karena berada di dalam lembaga pemasyarakatan dalam masyarakat satu jenis kelamin (pria) dan berlangsung lama maka akan mengalami kesakitan /kehilangan salah satunya kehilangan lawan jenis. Bagi yang sudah beristri tidak mudah dapat menyalurkan kebutuhan biologis.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara kepada para informan, dan melalui observasi serta penggunaan data sekunder.
Untuk membahas hasil penelitian menggunakan Teori Hirarki Kebutuhan oleh Maslow, Konsep The Pains of Imprisonment oleh Gresham.M. Skyes, Konsep Conjugal visit, Sex visits, Family visits dan Konsep Perencanaan oleh Bambang Poernomo.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Bekasi pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) secara wajar (normal) tidak dapat terpenuhi. Sebaliknya yang terjadi penyimpangan seksual seperti homoseksual, hubungan badan antara narapidana dan isterinya, dan atau kawan dekat (intim), wanita lain, saat berkunjung ke Lapas dengan mengambil tempat di dalam Lapas, berkat bantuan, kerjasama, dan saling pengertian oleh petugas.

This research is aimed at discussing the compliance of biologic (sexual) need of inmate. As had been recognized that in Correctional each inmate experience and take not treatment to act freely. Whereas, biologic (sexual) needs as primary needs of human always demanding its compliance. Because for a long time stay in correctional with similar gender, so, they will experience lost of one spouse. For married couple he/she may excrete his/her biologic (sexual) need easily.
Research method used herein is qualitative research method. The data is collected by interview technique with informants and by observation as well as secondary data uses.
To discuss research result had been used Hierarchy Basic Needs Theory by Maslow, Concept of The Pains of Imprisonment by Gresham.M. Sykes, Concept of Conjugal visit, Sex visit, Family visit and Planning Concept by Bambang Poernomo.
Based on research result may be concluded that in Correctional of Bekasi normally, the compliance of biologic (sexual) need had been fulfilled. Conversely, it had occurred the sexual intercourse deviation such as homosexual, sexual intercourse among inmate with his wife and his fellow, other woman when inviting Correctional by taking place near with Correctional, as result of assistance, cooperation and understanding each other with officer.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15237
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Pamudji
"Penelitian bertujuan untuk membahas pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) narapidana. Seperti diketahui bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan setiap narapidana mengalami dan merusakan perlakuan berupa pembatasan kebebasan geraknya. Sedangkan kebutuhan biologis (seksual) merupakan kebutuhan primer manusia yang selalu menuntut pemenuhannya. Karena berada di dalam lembaga pemasyarakatan dalam masyarakat satu jenis kelamin (pria) dan berlangsung lama maka akan mengalami kesakitan /kehilangan salah satunya kehilangan lawan jenis. Bagi yang sudah beristri tidak mudah dapat menyalurkan kebutuhan biologis.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara kepada para informan, dan melalui observasi serta penggunaan data sekunder.
Untuk membahas hasil penelitian menggunakan Teori Hirarki Kebutuhan oleh Maslow, Konsep The Pains of Imprisonment oleh Gresham.M. Skyes, Konsep Conjugal visit, Sex visits, Family visits dan Konsep Perencanaan oleh Bambang Poernomo.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa di Lembaga Pemasyarakatan Bekasi pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) secara wajar (normal) tidak dapat terpenuhi. Sebaliknya yang terjadi penyimpangan seksual seperti homoseksual, hubungan badan antara narapidana dan isterinya, dan atau kawan dekat (intim), wanita lain, saat berkunjung ke Lapas dengan mengambil tempat di dalam Lapas, berkat bantuan, kerjasama, dan saling pengertian oleh petugas.

This research is aimed at discussing the compliance of biologic (sexual) need of inmate. As had been recognized that in Correctional each inmate experience and take not treatment to act freely. Whereas, biologic (sexual) needs as primary needs of human always demanding its compliance. Because for a long time stay in correctional with similar gender, so, they will experience lost of one spouse. For married couple he/she may excrete his/her biologic (sexual) need easily.
Research method used herein is qualitative research method. The data is collected by interview technique with informants and by observation as well as secondary data uses.
To discuss research result had been used Hierarchy Basic Needs Theory by Maslow, Concept of The Pains of Imprisonment by Gresham.M. Sykes, Concept of Conjugal visit, Sex visit, Family visit and Planning Concept by Bambang Poernomo.
Based on research result may be concluded that in Correctional of Bekasi normally, the compliance of biologic (sexual) need had been fulfilled. Conversely, it had occurred the sexual intercourse deviation such as homosexual, sexual intercourse among inmate with his wife and his fellow, other woman when inviting Correctional by taking place near with Correctional, as result of assistance, cooperation and understanding each other with officer.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T32843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Ridwansah
"Beragamnya latar belakang kehidupan narapidana, baik itu latar belakang kasus, suku/etnis, agama dan lainnya merupakan faktor nyata dari keberadaan Lembaga Pemasyarakatan sebagai minatur masyarakat. Disana juga terdapat berbagai kebutuhan dan kepentingan narapidana dalam rangka mempertahankan hidupnya selama dalam lapas. Dalam rangka hal tersebut narapidana akan menjaga hubungannya dengan petugas dan aturan yang berlaku dalam lapas sehingga baik petugas maupun aturan mampu mengakomodir ataz dilemahkan oleh kepentingan narapidana, termasuk kepentingan menambah fasilitas kamar hunian sesuai keinginan narapidana. Akibat adanya penambahan fasilitas-fasilitas pada kamar hunian pada narapidana tertentu akan berakibat adanya kecemburuan sosial di kalangan narapidana, pemborosan anggaran karena umumnya penambahan fasilitas berupa alat-alat elektronik yang menggunakan listrik, dan yang terpenting adalah narapidana tersebut umumnya tidak tersentuhk program pembinaan.
Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di Rumah Tahanan negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Jakarta seria kendala-kendala yang dihadapi dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan..dengan wawancara terhadap informan penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara. Wiforiiai penelitian terdiri dari informan petugas dan informan. Lokasi penelitian adalah lima Unit Pelaksana Teknis (UPT) di DKI Jakarta, yaitu Lapas Klas I Cipinang, Lapas Klas IIA Narkotika Jakarta, Lapas Klas IIA Salemba, Rutan Klas I Jakarta Pusat dan Rutan Klas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana pada lima (5) lokasi penelitian belum terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan persepsi dan cara pandang terhadap aturan yang ada yang berbeda-beda sehingga penerapannya pada masing-masing lapas/rutanpun berbeda. Kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana di lapas/rutan masih mementingkan unsur keamanan dan keiertiban. Penyimpangan terhadap pemenuhan fasilitas kamar hunian narapidana adalah adanya fasilitas-fasilitas tambahan yang tidak sesuai aturan seperti TV, AC, Kompor Listrik hingga pencurian listrik untuk kepentingan fasilitas lainnya. sementara dalam rangka mensiasati kondisi kelebihan daya tampung (over kapasitas) pada masing-masing l!okasi penelitian dilakukan alih fungsi atau pemanfataan ruang yang bukan kamar hunian menjadi kamar hunian bagi narapidana. Sementara faktor kendala dalam kebijakan pemenuhan fasilitas kamar hunian bagi narapidana terdiri dari empat faktor utama yaitu kendala komunikasi, kendala sumber daya, kendala sikap implementator dan kendala struktur birokrasi

Diverse backgrounds inmate's life, whether it is the case background, tribe / ethnicity, religion and the other is a real factor of the exisience of correctional institulions as minatur community.There alsa have various needs and interests of prisoners in order to survive as long in prison. In order to convict it will maintain relationships with officers and rules that apply in the prison so that both workers and able io accommodate the rulés or attenuated by the interests of prisoners, including facilities to add interest as you wish inmate occupancy rooms. Due to the exiztence of additional facilities in room occupancy on a particular inmate will result in the social jealously among the inmates, waste budget because generally in the form of additional facilities for electrical appliances that use electricity, and most importantly the inmates were mostly uniouched by development programs.
In this research, there are two research questions to be answered is how the Juifiliment of the policy room occupancy facility for inmates at the Detention Center and state correctional institutions in Jakarta and the constraints faced in julfilling the policy facilities such occupancy rooms, The method used is qualitative method of data collection techniques againts the informant interview conducted with the study using the interview guide Informants consisted of officers and informants informants. Location of the study are five Technical Executive Unit (UPT) in Jakarta, namely Class I Cipinang Prison, Jakarta Narcotic Prison Class HA, Class 14 Salemba prison, Central Jakarta Rutan Class I and Class ITA Rutan Pondok Bambu, East Jakarta.
Based on this research found that the policy of fulfiliment of room occupancy facility for inmates at five (3) the location of the research has not been performing well. This is due to differences in perception and outlook of the existing rules are different so that its application in each prison / rutanpun different. Compliance policies occupancy room facilities for inmates in the prison / detention center is still concerned with the elements of security and order. Deviation toward the Julfiilment facility inmate occupancy room is the presence of additional facilities that are not in accordance with regulations such as TV, air conditioning, Electric Stove to theft of electricity for the benefit of other facilities, while in order to anticipate the conditions of excess capacity fover capaciiy) at each study site conducted over the function or utilization of space that is not a room occupancy room occupancy for the inmates. While the constraint factor in fulfilling the policy for inmate occupancy room facilities consist of four main factors namely the communication constraints, resource constraints, barriers and constraints implementer attitudes bureaucratic structure.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33545
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Kurniawan
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan instansi terakhir dari rangkaian sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan diupayakan agar sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan narapidana. Hal ini diharapkan agar narapidana dapat mengembangkan potensi dirinya masing-masing agar setelah habis masa pidananya dapat memperoleh bekal berupa keahlian dan kemampuan yang dapat dimanfaatkan pada saat berintegrasi dengan masyarakat. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah apakah yang diharapkan oleh narapidana untuk dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka pemenuhan hak narapidana guna mengembangkan diri. Hak narapidana untuk mengembangkan diri di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi, dapat dilihat melalui indikator ketersediaan fasilitas serta program pengembangan diri yang diberikan oleh pihak Lembaga pemasyarakatan. Sebenarnya pihak lembaga pemasyarakatan telah menyediakan fasilitas-fasilitas dimaksud melalui pengelompokan pada pos-pos kerja yang ada, namun jumlahnya masih sedikit dan tidak semua narapidana dapat terserap. Ketersediaan program pengembangan diri dapat dikatakan relatif sudah tersedia, meskipun demikian pihak Lembaga pemasyarakatan belum dapat mengakomodir semua program pengembangan diri yang sesuai dengan minat dan bakat narapidana. Pelatihan kerja atau keterampilan, seringnya hal itu tidak sesuai dengan karakteristik, mint dan keinginan mereka, atau sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi di luar lembaga. Ketertinggalan teknologi dan tidak bervariasinya pemberian keterampilan justru menyebabkan kegiatan menjadi tidak efektif, sehingga biaya produksi yang telah dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang tidak diharapkan. Faktor penghambat lain yaitu lemahnya manajemen sumber daya manusia khususnya dalam fungsi kepemimpinan dan pengorganisasian.

Correctional institution is the last institution from criminal judicature system that based on Acts Republic of Indonesia Number 12 year 1995 about Institutional has function as reconstruction place for prison and pupil of institutional. Implemented reconstruction is attempted to adjust their desire, intelligent and necessity of prison. This is accepted in order to depelop them after they finish their punishment can obtain know-how such as skill and used ability when they enter into community.The main problem in this research is what accepted from prisoner so that it provide useful for correctional institution in attempt to right fulfillment to develop them. From obtained conclusion that lack of chance for prison at Class I Correctional Institution Sukamiskin Bandung to develop them during concerned with their phunisment progress. Prisoner right to develop them at Sukamiskin Correctional Institution cannot be fully fulfilled, viewed from facility infrastructure indicator as well as reconstruction program that provided by correctional institution internal line. In fact, they provided such facilities through work posts classification that exist, but insufficient to accommodate the prisoner, nevertheless correctional institution internal line not yet accommodate all development program concerned with their desire and intelligent and willing or inappropriately with situation and condition that they face. Training for them often not suitable with technology and skill so that ineffective where production cost exceeded their hope. Other factor is poor human resources management especially in leadership and organizational function."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T20829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Kartika Belina
"

Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat melaksanakan pembinaan narapidana namun faktanya masih banyak permasalahan umum yang kerap terjadi seperti overcapacity, homoseksualitas, lesbian, pertengkaran antar sesama narapidana dan kerusuhan. Sehingga dibentuklah UU No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan dan dalam Pasal 12 terdapat pengkategorian lapas berdasar usia, gender, masa pidana, kemudian kejahatan yang dilakukan serta kriteria lain yang bertujuan mengurangi masalah yang kerap terjadi di lapas. Maka itu Kementerian Hukum dan HAM telah membentuk Lapas Wanita dan Lapas Anak di Tangerang serta Lapas khusus Lansia di Serang.

Berdasar data Ditjenpas saat ini total napi lansia berjumlah 4.500 orang dan akan terus bertambah sampai dengan tahun 2025 menurut data Menteri Kesehatan. Namun sampai saat ini belum terbentuk pedoman khusus pembinaan untuk narapidana lansia dan masih dalam tahap perbincangan “The Jakarta Rules” dalam Seminar on Treatment Eldery Prisoners beberapa waktu lalu di Jakarta sehingga masih mengacu pada Permenkumham No.32 Th 2018 tentang Perlakuan bagi Tahanan Lanjut Usia. Narapidana lansia lebih rentan dengan berbagai jenis penyakit dan lebih sensitif sehingga membutuhkan perlakuan yang khusus. Maka dari itu penulis bermaksud meneliti sejauh mana pembinaan yang telah dilakukan kepada narapidana dengan kategori usia lanjut di Lapas Serang.

Metode penelitian yang digunakan studi kasus menggunakan kualitatif deskriptif. Selanjutnya guna mengumpulkan data pihak-pihak terkait seperti Kepala Lapas Serang, petugas Lapas Serang,beberapa narapidana lansia,forum pemerhati pemasyarakatan,observasi dan dokumentasi diwawancarai secara mendalam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mengacu pada Pasal 3 Permenkumham No 32 Th.2018 perlakuan khusus terhadap napi lansia dilakukan dengan memberikan bantuan akses keadilan, pemulihan dan pengembangan fungsi sosial, pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan dengan menyediakan dokter spesialis, perlindungan keamanan dan keselamatan juga telah dipenuhi bagi narapidana lanjut usia dengan memenuhi hak-hak mereka berdasarkan UU No.13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia kemudian blok lansia juga direnovasi serta dilengkapi dengan peralatan seperti televisi.


Criminal cases that are rampant in Indonesia, especially Jakarta from year to year have caused an increase in the number of prisoners living in prisons (prisons) resulting in overcapacity in most Indonesian prisons. This triggers problems that commonly occur in prisons such as homosexuality or lesbians, fights between fellow inmates, riots and less than optimal coaching. In addition, The Department of Ministry and Law Human Rights saw vulnerability of female also child prisoners to form prisons specifically for women and children, such as the Tangerang Class IIA Women's Lapas and Tangerang Children's Special Guidance Center with guidance systems based on Law No.12 of 1995 and Bangkok Rules but in fact residents prison is also mostly inhabited by elderly prisoners (elderly) which currently number 4,500 people. Elderly prisoners are actually more susceptible to various types of diseases as well as their psychological state is more sensitive as parents with prisoners over 60 years old but until now there have not been established prisons and specific guidance for guidance for elderly prisoners.

Therefore in addition to the UU No 12 Th 1995 and Permenkumham No.32 th 2018 which existed some time ago the Directorate General of Corrections of the Departments Human Rights also held seminar discussing about formation of Jakarta Rules which was attended by the Department Law and Human Right as well as representatives of other delegations the formation of international agreements as specific guidelines regarding the general standard of treatment of elderly prisoners whose purpose is to increase protection regulations based on the principles of upholding human rights for elderly prisoners. Therefore, by looking at it is still quite rare to discuss the efforts to provide guidance for prisoners with advanced age, the author intends to examine the extent to which guidance has been carried out to elderly prisoners in Serang Prison as a prison appointed to pilot the treatment of elderly participants at Seminar on Treatment. of Eldery Prisoners.

"
2019
T52714
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Fokus penelitian ini adalah bagaimana implementasi kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana sebagai upaya mengurangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang. Kebijakan ini merupakan kebijakan pembinaan narapidana dalam konsep re-integrasi sosial yang paling baik dalam membebaskan narapidana. Namun pada kenyataannya beberapa orang berpendapat bahwa pembebasan bersyarat dipandang sebagai pemberian maaf atau rasa simpati pemerintah, bertujuan memperpendek hukuman dengan mempercepat waktu pembebasan, bahkan pembebasan bersyarat dianggap sebagai upaya untuk menyenangkan atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (in-dept interview). Analisis terhadap proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan dilakukan dengan cara mengadopsi teori implementasi kebijakan dari George Edward III, Marilee S. Grindle dan Van Meter serta Carl Van Horn (teori yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lapangan).
Lapas Kelas I Cipinang berusaha merubah pendapat keliru beberapa orang mengenai kebijakan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan cara seoptimal mungkin mengimplementasikan kebijakan tersebut, bahwa tujuan pembebasan bersyarat pada narapidana bukan untuk memperkecil hukuman, mempermudah atau memberi kenyamanan pelaku kejahatan, juga bukan merupakan toleransi atau pemaaf. Sebaliknya kebijakan pemberian pembebasan bersyarat pada narapidana sebagai program pembinaan bertujuan untuk mengembalikan narapidana agar dapat hidup kembali di masyarakat dan tidak melakukan kejahatan lagi, dan hal ini harus direkomendasikan sebagai alternatif yang paling banyak mendatangkan manfaat terutama dalam menanggulangi dampak kepadatan atau kelebihan penghuni di dalam Lapas.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan Pembebasan Bersyarat bagi narapidana dalam upaya menanggulangi dampak negatif kepadatan atau kelebihan penghuni di Lapas Kelas I Cipinang secara umum dapat dikatakan berjalan cukup baik namun kurang begitu optimal. Proses implementasi kebijakan berjalan cukup baik terbukti dari telah dipahaminya perubahan strategis yang diinginkan dan implikasinya; adanya peraturan pelaksanaan atau peraturan penjelas; dan telah dilaksanakan sosialisasi kebijakan pemberian pembebasan bersyarat tersebut. Namun yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi kebijakan tersebut atau dapat dikatakan terjadi implementation gap (kesenjangan/perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan) yaitu adanya faktor-faktor menjadi hambatan dalam pelaksanaanya. Beberapa faktor yang menjadi hambatan tersebut adalah komunikasi dan koordinasi, sumber daya, dan struktur birokrasi.

The focus of this research is how the Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang. This policy is a policy to treatment the inmates in the concept of social re-integration, and it is the best concept to release them. But in fact some people argue that parole is viewed as forgiveness or sympathy from government, aimed to shortening the sentence with speed up their release, parole even considered as an attempt to please or give comfort to criminals.
The research used qualitative research method. Data was collected through in-depth interviews. Analysis of the processes and factors that influence the policy implementation is done by adopting the theory of policy implementation from George Edward III, Marilee S. Grindle, Van Meter and Carl Van Horn (the use of theory adapted with field conditions).
Correctional Institution of Class I Cipinang try to change the wrong opinion of some people about this parole policy by optimize the implementation, that the purpose of parole for inmates is not to minimize the penalties, facilitate or give comfort to criminals, also not as a tolerant or forgiving. Instead the policy of parole for inmates as a treatment program aims to restore inmates so can live back in the community and did not commit a crime again, and it should be recommended as an alternative can bring the most benefits, especially in reducing the impact of overcapacity in the correctional institution.
The research concludes that the process of Implementation of parole policy for inmates in effort to overcome negative impact of overcapacity at Correctional Institution of Class I Cipinang, generally speaking, quite well, but less so optimal. Policy implementation process can be said quite well proven that the strategic change desired and its implications have been understood; available regulatory implementation or regulation explanatory; and socialization of this parole policies have been implemented. But the causes of less than optimal implementation of the policy or it can be said to occur the implementation gap (the difference between what are formulated with what has been done), this is due to several factor which become obstacles in its implementation. Some of these factors are communication and coordination, resources, and bureaucratic structures.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pahrudin Saputra
"ABSTRAK
Penelitian ini berjudul "PEMENUIIAN HAK ATAS RASA AMAN DAN BEBAS DART KETAKUTAN DALAM PELAKSANAAN ADMISI DAN ORIENTASI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN NARKOTIKA KLAS IIA JAKARTA". Latar belakang pemilihan judul ini didasarkan pada kajian empiris dan teoritis, bahwa tahap admisi dan orientasi narapidana merupakan fase kritis yang menentukan keberhasilan pembinaan narapidana sehingga diperlukan pemenuhan hak-hak asasi narapidana.
Lokasi penelitian dilakukan pada Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Klas HA Jakarta dengan metode penelitian kualitatif. Beranjak dari latar belakang di alas, rumusan masalah yang mengemuka adalah : (1) Apakah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Narkotika Jakarta merasa terpenuhi hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi; (2) Faktor apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan pemenuhan hak alas rasa aman dan bebas dari ketakutan selama masa admisi dan orientasi narapidana. Untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian tersebut, metoda pengolahan data yang dilakukan mengarah pada metode deskriptif eksplanatory.
Hasil penelitian menunjukan bahwa selama dalam pelaksanaan admisi dan orientasi, hak narapidana atas rasa aman dan bebas dari ketakutan belum terpenuhi. Adapun faktor yang menghambat pemenuhan hak atas rasa aman itu adalah kondisi over crowded, emosi narapidana yang labil, tidak memadainya kualitas pengetahuan dan pemahaman petugas terhadap hak asasi manusia, punish and reward yang kurang ditegakan, dan prosedur pengaduan yang panjang.
Memperhatikan hasil penelitian tentang kondisi aktual pemenuhan hak atas rasa aman dan bebas dari ketakutan dalam pelaksanaan admisi dan orientasi narapidana maka perlu dilakukan pengurangan isi lembaga pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan tentang hak asasi manusia terhadap petugas lembaga pemasyarakatan, penerapan sanksi yang tegas dan terukur, menyederhanakan prosedur penyampaian keluhan

ABSTRACT
The title of this research is THE FULFILLMENT OF SECURE AND FREE FROM FEAR RIGHTS OF INMATES ON THE ADMISSION AND ORIENTATION STAGE IN CLASS IIA NARCOTICS CORRECTION INSTITUTION - JAKARTA". The background reason why author decide to choose this title is based on empirical and theoretical studies, that the stage of admission and orientation of inmates is a critical phase in which decides the success of inmates' treatments. In this stage, the fulfillment of human rights for inmates is a necessity.
The locus of research is taken in Class HA Narcotics Correction Institution by using qualitative research method. Based on the background above, the construction of problems which developed are: (1) Do the inmates in Class IIA Narcotics Correction Institution feel that the rights of secure and free from fear has been fulfilled in the admission and orientation stage?. (2) Define the factors that become obstacles in order to fulfill the rights of secure and free from fear on the admission and orientation stage. In case of finding the answer of those research questions, the data processing method directed to explanatory descriptive method.
The result of research shows that during the admission and orientation stage the rights of secure and free from fear of inmates have not fulfilled yet. However, some factors which become obstacles in fulfillment of the rights of secure are: over crowding condition, instability of inmates emotions, the limitation of human rights knowledge and understanding of officers, punishment and reward norms are not promoted in every aspect of admission and orientation stage, and a long complain procedure.
Focusing on the research result about the actual situation in rights secure and free from fear fulfillment of inmates on the admission and orientation stage, several methods shall be taken such as: decreasing the amount of inmates in correction institution, training and education of human rights for officers, implementation of strict and reliable punishment, and simplify the complain procedure.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20700
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Wijaya
"Terciptanya keamanan dan ketertiban dalam lingkungan lapas, dimana harmonisasi hubungan sosial penghuninya dapat berlangsung dengan baik, adalah tujuan bagi setiap Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini dapat tercipta salah satunya dengan berjalannya mekanisme pengamanan lapas dengan baik. Pendekatan pengamanan yang baik tentu saja tidak hanya sekedar pendekatan yang represif saja akan tetapi dengan pendekatan persuasif oleh petugas pengamanan, yaitu Wali Blok, dengan cara membangun komunikasi yang baik dengan narapidana.
Dalam penelitian ini ada dua pertanyaan penelitian yang hendak dijawab yaitu bagaimana peran Wali Blok dalam menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas Khusus Narkotika Jakarta dan apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas Wali Blok dalam menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas Khusus Narkotika Jakarta. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan yuridis manajerial. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Informan penelitian terdiri dari informan kunci 1 orang, informan penting sebanyak 6 orang dan informan sebanyak 2 orang.
Tesis ini menemukan bahwa peran Wali Blok kurang efektif dalam menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas Khusus Narkotika Jakarta. Indikatornya adalah bahwa komunikasi yang terbangun masih satu arah dan Wali Blok tidak pro aktif dalam mendeteksi masalah-masalah yang dihadapi narapidana sehingga banyak permasalahan di blok yang tidak diketahui oleh Wali Blok. Penelitian juga menemukan bahwa penunjukkan Wali tidak didasarkan pada kriteria yang jelas dan terukur. Kendala pelaksanaan peran Wali Blok dalam menanggulangi gangguan keamanan dan ketertiban adalah kendala sumber daya manusia petugas dan kendala sarana prasarana yang tidak berorientasi pada pendekatan teknologi.

Establishing security and order in the prison environment, where inhabitants harmonization of social relations can be run well, is the goalfor every Penitentiary. This one can be created with the passage of a prison security mechanisms well. A good approach to security, of course, not just a repressive approach alone but with a persuasive approach by security officers, Wali Blok, in a way to buildgood communication with the inmates.
In this study two research guestions to be answered is how the Wali Blok's role in overcoming interference block security and order in prisons Special Narcotics Jakarta and whether the constrainis faced in implementation of the Wali Blok task in tackling problems of security and order in prisons Special Narcotics Jakarta. The method used is a qualitative tnethod with juridical managerial approach. Data collection technigue is done by using the interview guidelines. Research informants consisted of the 1 key informants, key informants as 6people and informants as much as 2people.
This thesis found that the role of Wali Blok is less effective in tackling problems of security and order in prisons Special Narcotics Jakarta. The indicators are that the communication was one-way awoke and Wali Blok are not pro-active block in detecting the problems faced by prisoners, so many problems in the blocks that are not known by the Wali Blok. The study also found that the appointment of Wali Blok are not based on clear criteria and measurable. Obstacles block the implementation of theWali Blok's role in tackling problems of security and order is a constraint of human resource officers and infrastructure constrainis that are not technology-oriented approach.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26825
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
"Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut :
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Harry Wibowo
"Konsep perlakuan terhadap narapidana dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sebagai konsekuensi logis dari dinamika perkembangan jaman. Perlakuan terhadap terpidana dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan juga mengalami perubahan Pemasyarakatan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana yang memandang narapidana sesuai dengan fitrahnya baik selaku pribadi, anggota masyarakat maupun mahluk Tuhan menempatkan narapidana bukan semata-mata sebagai alat produksi.
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem pemasyarakatan dalam memberikan pembinan terhadap narapidana memandang pekerjaan bagi narapidana bukan semata-mata dimaksudkan untuk tujuan komersial yang bersifat profit oriented namun lebih dimaksudkan sebagai media bagi narapidana untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat melalui kegiatan-kegiatan bimbingan kerja yang bermanfaat sehingga baik selama maupun setelah menjalani pidana dapat berperan utuh sebagaimana layaknya anggota masyarakat lainnya.
Sistem Pemasyarakatan sebagai bagian dari pembangunan di bidang Hukum khususnya dan Pembangunan Nasional bangsa Indonesia pada umumnya memiliki arti yang sangat penting, terlebih dengan perubahan lingkungan yang strategis dari waktu ke waktu baik dalam skala Nasional, Regional maupun Internasional. Arti penting Lembaga Pemasyarakatan tersebut belum dapat diimbangi dengan kinerja Lembaga Pemasyarakatan secara optimal, hal itu terlihat dengan masih banyaknya narapidana sebagai penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang tidak bekerja dan masih banyak pula narapidana yang sama sekali tidak memiliki ketrampilan kerja, atau dengan kata lain masih banyak di jumpai narapidana yang menganggur dan menjadi pengangguran.
Sejalan dengan pemberdayaan sumber daya manusia di Lembaga Pemasyarakatan sebagai usaha rasional untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Maka upaya peningkatan kualitas profesionalisme/ketrampilan merupakan suatu media dalam rangka mewujudkan reintegrasi sosial narapidana yaitu pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana baik sebagai pribadi, anggota masyarakat maupun mahluk Tuhan.
Metode yang digunakan adalah diskriptif dengan melakukan wawancara terhadap petugas lembaga dan narapidana yang bekerja di bidang kegiatan kerja lembaga pemasyarakatan klas I Sukamiskin.
Dari hasil temuan, ternyata bahwa di lembaga pemasyarakatan klas I Sukamiskin bimbingan kerja yang diberikan masih belum berjalan secara maksimal, yang disebabkan antara lain kesulitan mencari tenaga kerja yang handal dan dapat membantu petugas dalam memberikan bimbingan kerja bagi narapidana-narapidana lainnya, demikian pula halnya dengan petugas bimbingan kerja yang tidak sepenuhnya memberikan bimbingan serta peralatan yang sudah tua dan banyak yang sudah rusak serta ketidaktersediaan dana anggaran sebagai salah satu penyebab mengapa bimbingan kerja bagi narapidana di lembaga pemasyarakatan klas I Sukamiskin belum optimal.

Behavior concept of prisoners form time to time continuously experience of changes as a logic consequence from the dynamic growth of the age. Treatment to the punisher from prison system becoming correctional system have experienced of changed as a treatment system of prisoners construction that approaching prisoners as it self, society member and also God being place prisoners as a means of produce.
The formulation of this research on this internal issues is how is correctional system in giving construction to the prisoners that looks into their work, meanwhile prisoners not solely for commercial purpose which have the characters as profit oriented, but it is more such as a media for prisoners in applying them selves as a person. Family member and also society member through out good worthwhile work tuition activities so that during and after experiencing a period of their crime, they can run their life as good as the other society members. Correctional system as a part of law foundation especially and National foundation of Republic Indonesia generally has very important meaning, particularly with a good strategic environment change from time to time in national scale, regional and also international. The importance mean of correctional institution has not been balanced by performance work, it seen on the number of prisoners that settled on correctional institution. Prisoners had not had a job and skills; it can say that so many prisoners becoming unemployment.
In the line of human resource enableness in correctional institution as rational effort to increase the quality of human resource. Then the effort to make up the quality of professionalism skill represent a media in order to realize social reintegration prisoners that is convalesce unity of life relation, and life subsistence becomes good prisoners as persons, society member and also God being.
The method that used is descriptive by .doing an interview to the institution officer and prisoners whose work in the activity area of the first class Sukamiskin correctional institution.
From the result of observation, it seems that in first class Sukamiskin correctional institution on a sub work tuition division, it does not works maximal yet, which caused difficulty finding the reliable labor that could assist the officer in giving work tuition to the other prisoners, that way also of work tuition officers which not fully give tuition and equipments are old and a lot of them has been broken, there is- unavailable budget as the one of causing work tuition to the prisoners in first class Sukamiskin correctional institution does not optimal yet.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15198
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>