Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ostler, H. Bruce
London: Williams & Wilkins, 1993
R 617.7 OST d
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rika Harbani Meirawati
"Latar Belakang: Keluhan iritasi mata banyak terdapat pada pekerja emping yang terpajan asap pembakaran kayu. Keluhan yang dirasakan adalah mata perih, gatal, merah dan berair. Pekerja masih menggunakan tungku lama. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh desain tungku terhadap penurunan derajat iritasi mata akibat asap pembakaran kayu.
Metode Penelitian: Desain kuasi eksperimen dua kelompok, menggunakan intervensi desain tungku baru untuk mengeliminir asap pembakaran kayu. Dilakukan pada 44 orang pekerja emping perempuan. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik mata. Subyek penelitian mempunyai kriteria inklusi masa kerja ≥ 1 tahun dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, kriteria eksklusinya adalah tidak mengalami penyakit mata merah lainnya selain iritasi mata akibat kerja, mempunyai riwayat atopi dan menggunakan obat yang dapat mempengauhi air mata, seperti antihistamin, antiglaukoma, AINS dan antipsikotropica.
Hasil: Hasil menunjukkan adanya penurunan derajat iritasi mata pada kelompok studi setelah intervensi selama 14 hari sebesar 89% (Tabel 4.6). Terdapat perbedaan bermakna antara kelompok studi dan kontrol dalam perubahan iritasi mata dengan nilai p = 0,000 (Tabel 4.7).
Kesimpulan. Kelompok kontrol mempunyai kemungkinan 8 kali untuk mengalami iritasi mata yang buruk dibandingkan dengan kelompok studi, p = 0,000, RR = 8, CI 95% (2,08 ? 30,74). Hipotesis terbukti bahwa terjadi penurunan derajat iritasi mata sebesar 89% pada pekerja emping setelah menggunakan desain tungku baru selama empat belas hari.

Background: There are many eye irritation complaints in workers exposed to the wood burning smoke. Perceived grievances are eye sore, itchy, red and watery. Workers are still using the old furnace. This study aims to examine the influence of furnace design to decrease the degree of eye irritation caused by the smoke of burning wood.
Method: Quasi-experimental design of the two groups, using a new furnace design interventions to reduce wood burning smoke. Conducted on 44 female workers emping. Data were collected through interviews, observation and physical examination eye. The respondents were met the inclusion criteria and did not meet exclusion. The inclusion criteria were age ≥ 1 year of work and willing to be the subject of research. Exclusion criteria were having red eyes besides eye irritation due to work, have history of atopy and is undergoing treatment thay may influence the tears, like antiglaucoma, NSAIDs, antihistamines and antipsikotropica. Determination of the control group and the study is base on cluster random sampling with consideration of psychosocial and RT boundaries. Each group consisted of 22 respondents.
Results: The proportion of poor eye irritation in the study group preintervensi 81.8%, day 7th intervention 13.6% and 9.1% intervention 14th day (Table 4.6), meaning that a decrease in the degree of eye irritation with the use of a new furnace. Changes in eye irritation scores in the study group had occurred on the 7th day of the intervention by 83.3%, from preintervensi until the 14th day of the intervention of 88.9% and from day 7 until day 14 of 33.3 interventions %. Table 4.7 shows there is a significant difference between the control and study groups in terms of changes in the degree of eye irritation with p = 0.000.
Conclusion: The group that has the possibility of using the old furnace 8 times more likely to experience changes in eye irritation bad compared to the group using a new furnace with a value of p = 0.000, RR = 8.00, 95% CI (2.08 to 30.74). Hypothesis is proved that a decline in the degree of eye irritation of 88.9% in workers emping after using the new furnace design for fourteen days.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Lippincott Williams &​ Wilkins, 2012
617.7 WIL
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sidarta Ilyas
Jakarta: Sagung Seto, 2001
R 573.883 9 SID a
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Masalah kebutaan adalah salah satu masalah kesehatan yang memprihatinkan. Kedokteran regeneratif lewat rekayasa jaringan dan optimalisasi regenerasi jaringan melalui sel induk lokal atau transplantasi sel induk telah mendapat banyak perhatian. Tinjauan pustakan kali ini membahas penemuan penting sel induk mata dan eksperimen in vivo transplantasi sel induk serta tren terkini di bidang rekayasa jaringan mata.

Abstract
Blindness is one of the most devastating condition for mankind. Regenerative medicine through tissue engineering and optimizing tissue regeneration through local adult stem cell differentiation or stem cell transplantation has received a lot of attention. This review presents highlights in the discovery of ocular stem cell and in vivo experiment for stem cell transplantation and current trends in tissue engineering of the eye. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leitman, Mark W., 1946-
New Jersey : Medical Economics Company , 1981
617.7 LEI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Rita Sita
Netherlands: Ponsen & Looijen, 2004
617.7 SIT m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Elisabeth Irma Dewi K.
"Endoftalmitis merupakan kegawatdaruratan dibidang mata yang bila tidak ditangani cepat akan mengalami penurunan tajam penglihatan bahkan kebutaan. Fasilitas vitrektomi sebagai terapi baku emas jarang tersedia di RS begitupula antibiotika (seftazidim) intra vitreal belum tersedia secara komersil dengan dosis yang sesuai, sehingga perlu diracik dan dapat berisiko meningkatkan kontaminasi atau kesalahan pengenceran. Tujuan mencari alternatif antibiotika intra vitreal untuk pengobatan endoftalmitis akibat Pseudomonas aeruginosa. Metode menggunakan dua belas kelinci New Zealand White terbagi dua kelompok (n=6). Dibentuk endophthalmitis dengan injeksi intra vitreal P. aeruginosa 2x105 CFU/0,1mL. Kelompok A mendapat intra vitreal levofloksasin 0,5% 0,1mL dan kelompok B mendapat intra vitreal seftazidim 2,25 mg/0,1 mL setelah 24 jam inokulasi bakteri. Penilaian klinis dilakukan hari ke-1 hingga ke-6. Pada hari ke-6 dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dan histopatologik.
Hasil selisih skor klinis hari ke-1 dan 6 kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Terdapat 2 kelinci mengalami perbaikan di kelompok levofloksasin namun secara statistik tidak bermakna. Penghitungan jumlah bakteri memberikan hasil kelompok A dan kelompok B mengalami penurunan menjadi 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/0,1mL dengan hasil yang tidak berbeda bermakna begitu pula dengan skor pemeriksaan histopatologik. Kesimpulan yang didapatkan injeksi intra vitreal tetes mata levofloksasin 0,5% 0,1mL sama efektif dengan seftazidim dan dapat dijadikan alternatif dalam terapi endoftalmitis akibat P. aeruginosa.

The purpose of this study was to find and evaluate intravitreal 0.5% levofloxacin as an alternative treatment for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in an experimental model. Twelve New Zealand White rabbits were divided into two groups (n = 6 in each). Vitreous cavity of the right eye was inoculated with 2x105 CFU / 0,1mL of Pseudomonas aeruginosa suspension. Group A treated with intravitreal 0.5% levofloxacin and group B received intravitreal injection of 2.25 mg / 0.1 mL ceftazidime. Results showed mean clinical assessment scores in both groups were similar at 24 hours after inoculation (p> 0.05). Clinical score at day 1 and day 6 do not show any significant difference. Two rabbits experienced improvement in the levofloxacin group but there was no statistically significant difference. The number of microbiological bacteria results in group A and group B were decreased to 1,5x102 (4x101-7,3x103) CFU/ 0,1mL, but microbiological analysis and histopathological scoring demonstrated no statistically significant difference between both group (for each, P>0,05). The conclusion in this sudy was intra vitreal 0,5% levofloxacin ophthalmic appeared to be effective in the treatment of Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis in rabbits, but was not superior to intravitreal ceftazidime administration. Therefore, intravitreal 0,5% levofloxacin may be a useful alternative to ceftazidime for Pseudomonas aeruginosa endophthalmitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Husnun Amalia
"Mata adalah organ dengan aktivitas farmakokinetik yang spesifik karena memiliki sawar yang membuat obat sulit berpenetrasi ke dalam bola mata terutama kornea. Keratomikosis adalah infeksi kornea yang disebabkan oleh jamur terutama terjadi pada daerah tropis dan membuat kerusakan kornea yang berakhir dengan kebutaan. Hal ini masih menjadi masalah di negara berkembang. Obat antijamur yang saat ini memiliki aktivitas yang sangat baik adalah Amfoterisin B dan bentuk liposom memiliki kemampuan efektivitas yang lebih tinggi dan menurunkan toksisitas obat. Penelitian terhadap tetes mata Amfoterisin B liposom (AmB-L) ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut sehingga obat tetes ini dapat digunakan pada penderita keratomikosis. Penelitian ini menilai sejauh mana tetes mata AmBL dapat berpenetrasi di dalam bola mata, adakah efek toksik pada jaringan mata dan bagaimana efektivitasnya pada keratomikosis kelinci Metode: Penelitian ini menggunakan desain eksperimental Laboratorium dan animal study. Subyek penelitian adalah 11 ekor hewan kelinci New Zealand yang dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok uji kadar dan toksisitas AmB-L 0,15% dan 0,5% masing-masing 3 ekor, kelompok uji efektivitas AmB-L 0,15% dan 0,5% terhadap keratomikosis kelinci masing-masing 2 ekor, dan kelompok kontrol 1 ekor. Pengukuran kadar Amfoterisin B pada jaringan mata (kornea, akuos, lensa, vitreus, dan sklera) dilakukan setelah ditetes obat AmB-L 0,15% dan 0,5% setiap 1 jam selama 3 hari dengan cara menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Toksisitas tetes mata AmB-L 0,15% dan 0,5% pada jaringan mata (kornea, iris, sklera dan retina) dievaluasi dengan pemeriksaan klinid dan histopatologis (Haematoksilin Eosin). Pada uji efektivitas menilai waktu kesembuhan keratomikosis kelinci, hasil kultur kornea dan akuos pasca terapi dengan agar Sabouraud, kadar Amfoterisin B pada kornea dan akuos serta efek toksik. Hasil: Kadar Amfoterisin B pada AmB-L 0,5% terukur lebih tinggi dibandingkan AmB-L 0,15% dan kadar AmB-L pada setiap jaringan di kedua konsentrasi hasilnya lebih tinggi dari MIC. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% tidak memperlihatkan efek toksik secara klinis maupun histopatologi pada jaringan mata kelinci. Tetes mata AmB-L 0,5% dan 0,15% adalah antijamur yang efektif untuk keratomikosis kelinci akibat Aspergillus sp. dan waktu kesembuhan pada kedua konsentrasi tidak berbeda bermakna (p=0,2) Kesimpulan : Liposom adalah drug carrier yang dapat membawa obat amfoterisin B mencapai bagian anterior dan posterior bola mata serta mampu berpenetrasi dengan baik, efektif, tidak toksik terhadap jaringan mata. Karena itu, penggunaan amfoterisin B liposom dapat menjadi terapi standar untuk keratomikosis

The eye has a specific pharmacokinetic because of its complex barrier to drug entry, especially the cornea. Keratomycosis is a fungal infection of the cornea in tropical areas and the cause of corneal morbidity and blindness. This remains a problem in developing countries. Amphotericin B (AmB) is still considered the treatment of choice for fungal infection. Liposomal formulation of AmB (L-AmB) has demonstrated promising results with higher efficacy and lower toxicity. The research of L-AmB eye drops still needs further studies before it can be used in humans. This study will evaluate L-AmB eye drop penetration, toxicity, and efficacy on keratomycosis of the rabbit eye. Methods: The study is using laboratory design and animal study. Eleven New Zealand rabbits were devided into five groups. Six rabbits were used for the pharmacokinetic and toxicological studies, four rabbits for studying the efficacy, and one served as normal and keratomycosis control. All treatment used two concentrations of L-AmB (0.15% and 0.5%) given as eye drops every hour for three days. The pharmacokinetic study measured AmB concentration in the tissues (cornea, aqueous, lens, vitreus, sclera) using high performance liquid chromatography (HPLC), and toxic reactions were evaluated in clinical signs and histopathological examination (cornea, iris, sclera, retina). Efficacy was evaluated by length of therapy, concentration of AmB in the tissues (cornea, aqueous), and toxic effects. Result: In all tissues, L-AmB 0.5% had higher concentrations of AmB than 0.15%, reached MIC in both concentrations and showed no toxic effects. L-AmB eye drops in both concentrations were effective for Aspergyllus sp. keratomycosis in rabbits. Length of therapy varied insignificantly between the two concentrations (p=0.2); both concentrations of AmB reached MIC and did not reveal toxic reactions. Conclusion: Liposomes are promising drug carriers for eye diseases that can penetrate to the anterior and posterior tissues of the eye. L-AMB can be successfully applie"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>