Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192344 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukmariani
"Kedudukan seorang cucu tidak secara tegas dan rinci diatur dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, Awalnya hal ini menyebabkan pendapat seorang cucu menjadi berbeda-beda. Begitupun dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh para hakim di Peradilan Agama. Tetapi sejak dikeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tenpang Kompilasi Hukum Islam, maka kedudukan seorang cucu dan bagiannya sebagai ahli waris pengganti menjadi jelas, seperti yang terdapat dalam pasal 185 ayat (1), yaitu bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anak-anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, dengan pembatasan yang terdapat dalam pasal 185 ayat (2) bahwa bagian ahli waris penggati tersebut tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Hal tersebut menjadikan Kompilasi Hukum Islam kemudian diterapkan dalam pengambilan keputusan untuk menangani kasus seorang cucu di Peradilan Agama, penerapan disini didasarkan atas prinsip keadilan. Kompilasi Hukum Islam, secara konstitusional, keabsahannya benar-benar bersifat legalitas atau legal law. Meskipun bentuk formal Kompilasi Hukum Islam hanya di dukung dalam bentuk Instruksi Presiden, tapi hal tersebut tidak mengurangi otoritasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T16264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idris
"Hukum kewarisan Islam pada dasar nya berlaku secara universal terhadap seluruh umat Islam di mana saja di dunia ini. Sungguhpun demikian sistem kekeluargaan suatu negara atau daerah memberikan pengaruh terhadap hukum kewarisan di daerah tersebut. Pengaruh ini terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad ahli-ahli hukum Islam dalam memahami garis-garis pokok ketentuan kewarisan yang terdapat dalam alqur'an dan sunah Rasul. Hukum kewarisan Islam di Indonesia mengenal adanya sistem kewarisan patrilineal Syafi i (ahlussunah) dan sistem kewarisan bilateral Hazairin. Kedua sistem kewarisan itu pada prinsipnya sama, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda satu sama lain. Salah satu perbedaan di antara keduanya ialah dalam memahami kedudukan cucu yang orang tuanya telah meninggal sebelum meninggalnya pewaris. Menurut kewarisan bilateral, cucu yang demikian akan mendapatkan bagian warisan sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup, karena cucu ini merupakan ahli waris pengganti (mawali) yang menggantikan kedudukan orangtuanya. Sedangkan menurut kewarisan patrilineal, kedudukan cucu tersebut dipisahkan antara cucu melalui anak perempuan dan cucu melalui anak laki-laki. Cucu melalui anak laki- laki memperoleh warisan apabila tidak ada anak laki-laki. Sedangkan cucu melalui anak perempuan baru bisa memperoleh warisan apabila sudah tidak ada lagi ahli waris yang lain. Kalangan ahlusunah telah lama menyadari bahwa ketentuan itu sangat janggal dan tidak adil, oleh karena itu mereka memberikan jalan keluarnya melalui wasiat wajibah untuk cucu yang besarnya sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup tetapi tidak boleh lebih dari sepertiga. Di antara kedua sistem kewarisan yang berbeda itu, Kompilasi Hukum Islam mengambil jalan tengah. Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam merumuskan (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173, (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam hal yang menyangkut kedudukan cucu, pasal 185 ayat (1) mengakomodir atau menampung pendapat-pendapat baik dari konsep ahli waris pengganti menurut sistem kewarisan bilateral maupun pendapat-pendapat dari konsep wasiat wajibah menurut sistem kewarisan patrilineal. Karena kedua konsep tersebut pada prinsipnya sama-sama memberikan bagian dari harta warisan kepada cucu yang orangtuanya telah meninggal. Sedangkan mengenai besarnya bagian untuk cucu, dimana menurut konsep ahli waris pengganti (dalam hukum kewarisan bilateral) besarnya bagian cucu sama persis seperti bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan tidak ada pembatasan, dan menurut konsep wasiat wajibah (dalam hukum kewarisan patrilineal) besarnya bagian cucu sebesar bagian orangtuanya seandainya masih hidup dengan pembatasan tidak lebih dari sepertiga, pasal 185 ayat (2) memberikan ketentuan sendiri yaitu besarnya bagian cucu tidak boleh lebih besar daripada bagian ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Ketentuan ayat (2) ini sangat adil, karena tidak logis apabila bagian untuk cucu yang menggantikan kedudukan orangtuanya (anak dari pewaris) lebih besar dari pada bagian untuk anak pewaris yang lain (paman atau bibi dari si cucu) yang merupakan ahli waris langsung. Sehingga ketentuan ini dapat diterima baik oleh sistem kewarisan bilateral maupun oleh sistem kewarisan patrilineal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20646
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Elvi Rosini
"Hukum kewarisan merupakan himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur peralihan hak dan kewajiban dari seseorang yang meninggal dunia atau pewaris kepada orang yang masih hidup atau ahli waris. Hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia adalah pluralistis, karena belum adanya Undang-Undang Kewarisan Nasional, sehingga masih berlakunya aturan-aturan hukurn Barat, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan hukum Islam, yaitu hukum kewarisan Islam patrilinial (syafi'i), serta hukum Adat, yang sudah berkurang para pendukungnya. Dalam hukum kewarisan Islam ada ijtihad dari Hazairin, yaitu hukum kewarisan Islam bilateral (Hazairin). Penulis mengadakan perbandingan hanya diantara hukum kewarisan Islam patrilinial (Syafi'i), hukum kewarisan bilateral (Hazairin) dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pandangan hidup dan sistem menarik garis keturunan yang berbeda, menyebabkan ketiga sistem hukum tersebut berbeda dalam pengaturan mengenai kewarisan. Masalah kedudukan dan perolehan warisan untuk saudara menurut hukum kewarisan Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menarik untuk dibahas, karena kalaulah sebagai syarat saudara tampil mewaris berbeda dalam hukum kewarisan Islam patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Kalaulah suatu keadaan khusus dan memperlihatkan hubungan anak dengan saudara dimana saudara tampil mewaris, jika tidak ada anak walad. Pengertian walad ini berbeda antara hukum kewarisan patrilinial dan hukum kewarisan Islam bilateral. Dalam Undang-Undang Hukum Perdata saudara ditempatkan sebagai golongan kedua bersama-sama dengan orang tua berbagi sama rata, dengan perolehan orang tua tidak boleh kurang dari seperempat bagian. Dari perbandingan itu, akan didapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang ada diantara ketiga sistem hukum tersebut. Untuk itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan dari persamaan dan perbedaan yang ada, agar dapat dipertemukan bagi pembentukan hukum kewarisan nasional. Perbedaan yang ada bukan untuk dipertentangkan tapi didekatkan, agar semua pihak bisa menerima prinsip yang sama dan prinsip itu dapat menjadi ketentuan dalam Hukum Kewarisan Nasional."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S20032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Handayani
"Peristiwa meninggalnya seseorang menimbulkan akibat hukum berupa beralihnya seluruh hak dan kewajiban orang yang meninggal (pewaris) kepada ahli waris yang berhak. Masalah kewarisan ini memerlukan suatu pengaturan untuk menyelesaikannya yaitu dengan hukum kewarisan. Di Indonesia terdapat tiga macam hukum kewarisan yang berlaku yaitu hukum kewarisan adat, hukum kewarisan Islam dan hukum kewarisan Barat. Dalam hukum kewabisan Islam sendiri terdapat bermacam-macam ajaran tentang hukum kewarisan Islam yaitu ajaran patrilineal/ahlu's sunnah wal jamaah yang dianut oleh mazhab Imam Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali (yang banyak dianut di Indonesia adalah mazhab Syafi 'i) ajaran kewarisan Bilateral Yang dianut Hazairin dan ajaran kewarisan yang berasal dari Kompilasi Hukum Islam. Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang lebih mendalam tentang kedudukan saudara dan perolehannya menurut hukum kewarisan Islam (menurut sistem kewarisan bilateral, sistem kewarisan patrilineal dan menurut Kompilasi Hukum Islam). Selain itu juga bertujuan untuk membandingkan penyelesaian kasus kewarisan menurut Pengadilan Agama Jakarta Pusat, ajaran kewarisan bilateral (Hazairin), ajaran kewarisan patrilineal (Syafi'i), dan menurut Kompilasi Hukum Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20720
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Masitoh
"Judul dalam penulisan tesis ini adalah Posisi Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam dalam Masyarakat (Suatu Studi tentang Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Tengah-Tengah Masyarakat Muslim Bekasi). Adapun masalah yang dikaji di dalamnya adalah mengenai: (1) Bagaimanakah hukum adat mengatur tentang kewarisan, (2) Adakah kesesuaiannya antara hukum waris adat dengan hukum waris Islam, (3) Atas dasar apakah masyarakat menyelesaikan permasalahan warisnya berdasarkan hukum adat, (4) Apakah telah terjadi pembauran antara hukum adat dengan hukum Islam serta (5) Bagaimana posisi keduanya di daiam masyarakat. Penelitian yang dilakukan mencakup penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian lapangan ini dilakukan melalui pembauran angket/kuesioner dan wawancara kepada beberapa responden salah satunya adalah tokoh masyarakat yang terkadang diminta memberikan fatwa dan penjelasannya mengenai permasalahan waris.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa (1) hukum waris adat dalam menyelesaikan permasalahan kewarisan itu lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasa kekeluargaan dan kebersamaan melalui musyawarah di antara para ahli waris dengan memperhatikan kondisi ekonomi para ahli waris. (2) antara hukum waris adat dengan hukum waris Islam ditemukan persamaan-persamaan di samping perbedaan-perbedaannya, (3) dan ternyata dalam masyarakat telah terjadi pembauran antara kedua sistem hukum tersebut antara yang satu dan yang lainnya tidak bertentangan sehingga dapatlah dikatakan bahwa kedua sistem hukum tersebut diterima dan diakui keberadaannya di tengah tengah masyarakat sebagai suatu sistem hukum yang digunakan daiam menyelesaikan setiap permasalahan yang timbul khususnya mengenai kewarisan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrisman
"Di Indonesia berlaku hukum Adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Istilah hukum Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda "adat rack", yang pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dipakai dalam bukunya "De A jehers ". Istilah ini, kemudian dipakai pula oleh van Vollenhoven yang menulis buku tentang hukum adat dalam 3 (tiga) jilid, yaitu "HetAdat Recht van Nederlandsch India" (Hukum adat Hindia Belanda)2. Menurut van Vollenhoven, hukum Adat ialah keseluruhan aturan lingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi3.
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari ajaran Islam4 dan di Indonesia sebelum tahun 1800 maupun sesudahnya diakui oleh ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda berlaku bagi orang bumiputera yang beragama Islam5. Oleh karena itu politik hukum pemerintahan Belanda tidak jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan Vereenigde Oast Indische Compagnie).
'Mohammad Daud Ali, "Undang-undang Peradilan Agama dan Masalahnya , (Makalah tanpa keterangan yang lain), hall 1. Lihat juga Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hakim Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ar Risalah, 1984), hal. 7.
2Iman Sadiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal1. 3Ib'd, hal 5.
'Mohammad Daud Ali dan Habibahz Daud, Lembaga-Iembaga Islam di Indonesia, (Jakarta PT Raja Grafmdo Persada, 1995), hal. 124.
5Sajuti Thalib, Receprio a Conlrario, (Jakarta: PT Bina Aksara,1985), hal- 4."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Imam Purwadi
"Dari sejarah hukum dapat diketahui bahwa sistem hukum Indonesia bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai kini dalam negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem yang mempunyai corak dan sistem sendiri. Yang dimaksud disini adalah sistem hukum Adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum itu berlaku di Indonesia. Hukum Adat telah lama ada dan berlaku di Indonesia, kendati baru dikenal sebagai sistem hukum pada permulaan abad XX. Untuk jangka waktu yang cukup lama, sistem hukum adat memainkan peranannya dalam berbagai kehidupan masyarakat Indonesia.
Sekitar abad VII sampai awal abad VIII, agama Islam mulai penyebarannya di Indonesia melalui Sumatera. Dalam waktu relatif singkat agama Islam diterima dan berkembang ke seluruh pelosok Indonesia. Agama Islam dianut dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia dengan sungguh-sungguh. Proses Islamisasi di Indonesia melalui para saudagar yang berdagang dan mengadakan perkawinan, (peranan hukum Islam) sangat besar.
Hal itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa kalau seorang saudagar muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan pernikahannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam. Kalau salah seorang anggota keluarga itu meninggal dunia, harta peninggalannya dibagi menurut hukum kewarisan islam. Hukum islam berkembang dan dilaksanakan sampai kini oleh sebagian besar rakyat Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azmi Siradjuddin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>