Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117361 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nirbito Prastyono
"Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa suatu perkawinan harus dicatatkan di lembaga pencatatan perkawinan. Menurut undang-undang ada dua lembaga pencatatan perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama bagi para pemeluk agama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang tidak beragama Islam. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan sangat penting, dan berguna untuk mendapatkan bukti otentik yang dapat menjelaskan tentang perkawinan tersebut Serta bukti pengakuan dleh Negara. Jika suatu perkawinan tidak dicatatkan maka akan menimbulkan masalah terhadap status perkawinan, status anak yang dilahirkan dan status harta bersama.Dalam Kenyataannya para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dengan mudah mencatatkan perkawinannya pada Kantor Catatan sipil. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mengenai penafsiran ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kegercayaannya itu. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agamanya dan kepercayaannya adalah kepercayaan terhadap agamanya tapi ada yang berpendapat bahwa kata agama dan kepercayaannya merupakan dua kata yang terpisah.Untuk mencari pemecahan masalah ini upaya hukum yang dapat dilakukan hingga saat ini dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk memperoleh Penetapan/Persetujuan/Dispensasi. Sedangkan bagi mereka yang telah terlanjur menikah tapi permohonan pencatatan perkawinannya ditolak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naura Niyomi
"Harta Benda Perkawinan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Harta Benda Perkawinan ini terdiri dari 2 macam, yaitu Harta Bersama dan Harta Bawaan. Harta Bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung baik karena pekerjaan suami atau pekerjaan istri. Sedangkan Harta Bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing suami atau istri baik sebagai hadiah atau warisan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sehingga diharapkan terjadinya perceraian dapat dihindari, karena Undang-Undang menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.
Yang menjadi pokok permasalahan dalam penyusunan tesis ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bersama menurut Undang-Undang Perkawinan; bagaimanakah pengaturan mengenai Harta Bawaan menurut Undang-Undang Perkawinan; dan bagaimanakah pelaksanaan pembagian Harta Benda Perkawinan (Harta Bersama) apabila terjadi perceraian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan tesis ini adalah Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research), dimana bahan-bahan yang diperlukan diperoleh dengan mempelajari teori mengenai perkawinan, khususnya mengenai pembagian Harta Bersama Perkawinan apabila terjadi perceraian dari sumber-sumber tertulis, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, referensi maupun makalah yang terdapat di perpustakaan yang berkaitan dengan judul tesis ini.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa perceraian biasanya membawa akibat hukum terutama terhadap Harta Benda Perkawinan, baik terhadap Harta Bersama maupun Harta Bawaan. Apabila terjadi perceraian, maka menurut Undang-Undang Perkawinan Harta Bersama akan dibagi menjadi 2 banyak yang sama besar, yaitu: ½ bagian untuk suami dan ½ bagian lagi untuk istri.
Sedangkan Harta Bawaan suami istri tersebut akan kembali ke masing-masing pihak yang mempunyai harta tersebut, kecuali jika ditentukan lain, yaitu dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Masalah Pembagian Harta Benda Perkawinan inilah yang sampai saat ini masih menjadi pokok perdebatan apabila terjadi perceraian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T14471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olviani Shahnara
"Masyarakat Indonesia terdiri dari masyarakat adat yang memiliki kepercayaan asli dari nenek moyang. Hingga dewasa ini, masih banyak masyarakat yang tetap memegang teguh kepercayaan asli tersebut dan mereka disebut Penghayat Kepercayaan. Namun, kepercayaan yang mereka yakini masih dipandang sebelah mata karena dianggap bukanlah suatu agama. Oleh karena itu, banyak kendala yang dihadapi oleh para Penghayat Kepercayaan terkait kedudukan status hukum mereka di mata negara, terutama mengenai masalah pencatatan perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan Penghayat Kepercayaan. Akibatnya, pada saat itu para Penghayat Kepercayaan kerap mendapatkan penolakan pencatatan perkawinan dari Kantor Catatan Sipil setempat. Demi memenuhi rasa keadilan dan hak asasi setiap manusia, pemerintah Negara Republik Indonesia pada tahun 2006 kemudian memberlakukan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang Administrasi Kependudukan tersebut yang kemudian dapat dijadikan landasan hukum mengenai pencatatan perkawinan Penghayat Kepercayaan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Penghayat Kepercayaan kini telah dapat mencatatkan perkawinan mereka pada Kantor Catatan Sipil. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Indonesian society comprises of a traditional society (with adat cultures and values) who preserves their ancestors? beliefs. Until recently, few people still maintain to deem these traditional beliefs and classified as 'Penghayat Kepercayaan'. Their beliefs, however, are still underestimated since these beliefs are not classified as religions. Obstacles are familiar to the people of "Penghayat Kepercayaan", in regards to the legal status according to Indonesian Law, especially relating to issues of marriage's registration. Indonesian Law No. 1 Year 1974 regarding Marriage does not regulate the marriage of "Penghayat Kepercayaan" people. As a result, people of "Penghayat Kepercayaan" received several rejections of marriage records from the local Civil Registry Office. In order to fulfill values of justice and human rights of the people, Government of Republic of Indonesia enacted Law No. 23 Year 2006 regarding Population Administration. That law could be used as the legal basis in regards to the marriage records for the 'Penghayat Kepercayaan 'people where they are able to file their marriage in the Civil Registry Office. As for the methodology used in conducting this study is a normative juridical research through literature materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1189
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Budisarwono
"Perkembangan yang terjadi di masyarakat pada saat ini banyak terjadi ikatan perkawinan yang dilaksanakan cenderung cukup hanya memenuhi persyaratan hukum agamanya saja dengan mengabaikan pencatatan perkawinan pada lembaga yang berwenang yaitu di KUA ataupun di KCS. Perkawinan yang tidak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan di bawah tangan. Perkawinan di bawah tangan ini tidak sesuai dengan apa yang terdapat pada ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perkawinan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini bukan semata-mata tindakan administratif saja, akan tetapi pencatatan perkawinan sangat penting untuk mendapatkan bukti otentik berupa akta perkawinan yang dapat menjelaskan selengkap-lengkapnya tentang perkawinan sehingga akan memperoleh jaminan kepastian hukum. Dengan tidak dicatatkannya perkawinan, maka menurut pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dianggap tidak sah yang berdampak hukum terhadap status perkawinan, terhadap istri dan anak serta harta kekayaan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan. Selanjutnya untuk melakukan analisa dipergunakan metode pendekatan kualitatif yang akan menghasilkan sifat deskriptif analisis yang memberikan gambaran atas masalah yang terjadi dengan mengurai data seteliti mungkin dan menganalisa hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan di bawah tangan yang selanjutnya penulis akan memberikan upaya-upaya hukum terhadap perkawinan di bawah tangan dengan mengajukan itsbat nikah bagi yang beragama Islam ataupun melakukan perkawinan ulang secara resmi bagi yang beragama bukan Islam. Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan status perkawinan dan berguna untuk menuntut hak-hak dari istri dan anak yang dilahirkan. Diperlukan kesadaran bagi kaum wanita untuk mencatatkan perkawinannya secara resmi pada pejabat yang berwenang agar memperoleh akta perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21133
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Intasari
"Untuk melakukan perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ditentukan batas umur untuk kawin bagi seseorang, yaitu 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Dengan demikian perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang berlangsung antara seorang pria dengan seorang wanita yang salah satu atau keduanya belum melalui batas minimal usia kawin yang telah ditentukan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perkawinan di bawah umur disebabkan oleh faktor lingkungan, psikologi, ekonomi serta kepercayaan dan adat istiadat. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya perkawinan di bawah umur adalah kurang telitinya aparat yang berwenang dalam melihat umur sesorang dengan akan melangsungkan perkawinan sehingga dikhawatirkan akan terjadi penyelundupan umur. Dalam hal pasangan calon pengantin belum mencapai usia 21 tahun maka mereka memerlukan izin dari kedua orang tua mereka/wali namun apabila izin tersebut tidak terpenuhi maka dapat diajukan permohonan izin kawin ke pengadilan. Demikian pula halnya apabila pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai 16 tahun maka perkawinan tidak dapat di ijinkan (Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) kecuali adanya suatu alasan-alasan tertentu yang mendesak agar perkawinan segera dilaksanakan, maka kedua orang tua/wali dapat mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin kepengadilan untuk untuk mengajukan permohonan Dispensasi Usia Kawin harus welewati suatu prosedur tertentu dan memenuhi persyaratan yang telah di tetapkan. Apabila pengadilan memberikan Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin dengan alasan-alasan yang dapat di terima. Bagi pasangan yang menikah di bawah umur dengan adanya Izin Kawin maupun Dispensasi Usia Kawin tentunya akan timbul akibat hukum serta hambatan-hambatan yang harus dihadapi. Untuk mencegah perkawinan di bawah umur disarankan agar aparat yang berwenang lebih meningkatkan penelitian dalam hal pemberian Izin Kawin dan Dispensasi Usia Kawin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S20977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Akhadiat
"Skripsi berjudul "Ijab Kabul Perkawinan Melalui Teknologi Telekomunikasi Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan" ini berlatar belakang adanya praktek perkawinan Islam yang pada ijab kabul-nya dilakukan melalui teknologi telekomunikasi yaitu melalui telepon dan Video Teleconference, yang memicu perdebatan tentang keabsahannya secara hukum. Di Indonesia belum ada ketentuan khusus mengatur akan akad nikah melalui teknologi telekomunikasi. Pokok permasalahan yang dibahas adalah bagaimana pelaksanaan ijab kabul melalui teknologi telekomunikasi serta analisis mengenai keabsahan hukum perkawinan tersebut, disertai akibat hukumnya.
Penelitian dilakukan penulis dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang didahului dengan Penelitian Kepustakaan dan Penelitian Lapangan. Di dalam skripsi ini akan dibahas mengenai pengertian, rukun dan syarat-syarat perkawinan, dan larangan perkawinan, yang terdapat dalam al-Qur?an dan as-Sunnah, ketentuan di dalam Kompilasi Hukum Islam, serta ketentuan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Kemudian, akan dibahas pula gambaran umum mengenai teknologi telekomunikasi serta contoh kasus perkawinan yang menggunakan perangkat telekomunikasi. Pada bab terakhir, penulis memberi kesimpulan tentang proses akad perkawinan melalui teknologi telekomunikasi baik melalui telepon maupun melalui video teleconference. Kemudian terdapat dua pendapat hukum mengenai perkawinan tersebut, yaitu sah secara hukum dan tidak sah secara hukum.
Penulis memberikan pendapatnya bahwa dari dua pendapat tersebut, penulis cenderung untuk mensahkan perkawinan tersebut karena telah memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut Hukum Islam dan UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Penulis menyarankan bahwa perkawinan tersebut lebih baik tidak dilakukan kecuali dalam keadaan yang benar-benar darurat. Selain itu, pemerintah Indonesia harus segera membuat aturan yang tegas mengenai masalah ini atau adanya fatwa yang jelas dari Majelis Ulama Indonesia, agar dapat menjadi acuan bagi setiap muslim di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21372
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S.A. Hakim
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], [Date of publication not identified]
346.016 HAK h (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Masalah perkawinan masih meruapakn bahan kajian akdemis yang menarik. Untuk itulah, penulis artikel ini melakukan analisis sosio-yuridis terhadap perkawinan campuran. Penulis juga melakukan perbandingan perkawinan campuran antara Hukum dan Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974"
Hukum dan Pembangunan Vol. 31 No. 1 Maret 2001 : 97-111, 2001
HUPE-31-1-Mar2001-97
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Sari Joshinta
"Anak sebagai generasi penerus bangsa perlu dilindungi dan dipenuhi semua kebutuhan-kebutuhan yang merupakan haknya. Sehingga anak dapat tumbuh dengan sehat baik jasmani maupun rohani, memperoleh pendidikan, mendapat gizi yang cukup, mendapat perlindungan kesehatan, tumbuh dalam suasana yang penuh kasih, dan terpenuhi nya rasa aman. Namun seringkali apa yang menjadi hak anak ini tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Kedua orang tua sibuk dengan urusan masing-masing sehingga kebutuhan anak yang merupakan haknya tidak diperhatikan. Akibat kurang perhatiannya orang tua terhadap anak maka anak akan tumbuh menjadi anak terlantar, dan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga sehingga akhirnya mengarah pada perceraian, dan apabila hal ini terjadi lalu akan bagaimanakah nasib anak-anak mereka ? Sebagai contoh kasus dalam skripsi ini adalah kasus Arie Hanggara pada tahun 1985 dimana orang tua Arie telah bercerai dan penguasaan anak diserahkan kepada ayahnya karena ibu nya yang berprofesi sebagai wanita malam dirasa tidak baik untuk merawat anak-anak tersebut. Lalu dalam perkembangannya ternyata ayahnya telah hidup bersama dengan seorang wanita yang belum dinikahinya dan ternyata wanita tersebut telah melakukan tindakan kekerasan terhadap anak-anak tersebut, bahkan ayah mereka sendiri pun akhirnya juga ikut menganiaya anaknya sendiri sehingga akhirnya salah satu anak tersebut yang bernama Arie meninggal dunia. Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan penguasaan anak diserahkan pada ibu kandung dari anak-anak tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20453
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Ida Harnani
"Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai hubungan erat antar perkawinan dengan agama hal ini disebabkan bukan saja mempunyai unsur jasmani tetapi juga unsur rohani memegang peranan penting. Dalmn perkawinan akan timbul hak dan kewajiban baik suami maupun isteri, diantaranya harus bertanggung-jawab terhadap harta benda. Harta kekayaan dalam Suatu perkawinan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan rumah tangga yang bahagia. Apabila harta kekayaan tersebut baik yang diperoleh selama perkawinan ataupun sebelum perkawinan tidak dapat dipertanggungjawabkan akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Untuk melindungi hak dan kewajiban suami istri khususnya harta benda maka dibuatlah perjanjian Perkawinan. Seringkali pihak ketiga tidak menyadari adanya percampuran harta, dalam pembuatan perjanjian perkawinan juga harus memperhatikan mengenai kecakapan dalam membuatnya yakni pertama akta perjanjian perkawinan mengikat pihak ketiga dalam rangka perjanjian pemberian jaminan kredit perbankan, kedua mengenai syarat-syarat yang dipakai untuk membuat akta perjanjian perkawinan supaya bisa nengikat pahak ketiga, ketiga batas usia yang dipakai oleh notaries untuk dianggap cakap membuat akta perjanjian perkawinan. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif,tipe penelitian eksplanatoris, data yang digunakan data sekunder, diadakan wawancara dengan notaris di Tangerang, metode analistisnya yaitu metode kualitatif. Perjanjian perkawinan mempunyai bentuk dan isi sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain yang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian perkawinan mempunyai syarat pendaftaran yang didaftarkan pada kantor pencatat perkawinan pada saat dilangsungkan perkawinan. Perjanjian perkawinan dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga memiliki hubungan hukum dengan kedua belah pihak yang membuatnya. Batas usia seseorang untuk dapat membuat perjanjian perkawinan adalah 21 tahun atau belum 21 tahun tapi sudah menikah. Pihak ketiga adalah bank maka apabila melakukan pengikatan maka hendaknya memeriksanya terlebih dahulu akta perkawinan dari kedua belah pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>