Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104327 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardalena Rahmi
"ABSTRAK
Perkawinan dalam Islam merupakan salah satu sunnah Rasul untuk memelihara manusia dari kesesatan, serta untuk meneruskan keturunan. Tujuan perkawinan menurut Islam adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang kekal dan bahagia bukanlah merupakan hal yang mudah sehingga sering kali terjadi perceraian, salah satu penyebab adanya perceraian adalah salah satu pihak pindah agama, ke agama semula (murtad) atau memasuki agama lain selain Islam. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak diatur mengenai perkawinan yang salah satu pihak tidak beragama Islam lagi (murtad) akan tetapi menurut hukum Islam perkawinan tersebut sudah tidak memenuhi persyaratan lagi dan harus diceraikan oleh lembaga yang berwenang yang dalam hal ini adalah pengadilan. Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara perceraian bila salah satu pihak murtad menurut hukum Islam? Apakah akibat hukumnya apabila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam? Metode penelitian ini adalah kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, jenis data dan sumber data yang di pergunakan adalah studi kepustakaan (Library Research) dan wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Palembang sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yaitu kewenangan hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan dilangsungkan. Apabila perkawinannya di lakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) yang berwenang adalah Pengadilan Agama tetapi apabila perkawinan di .lakukan di Kantor Catatan Sipil yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Akibat hukum bila salah satu pihak pindah agama (murtad) menurut hukum Islam adalah perkawinan tersebut adalah batal sehingga berakibat sebagai berikut yaitu bila melakukan hubungan biologis hukumnya adalah berzinah/haram, suami isteri yang berbeda agama tidak saling mewarisi, nasab (garis keturunan) tidak dapat di sandarkan kepada ayahnya, seseorang yang murtad tidak mempunyai hak untuk menjadi wali dari anaknya."
2007
T 17402
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Setiadi
"Akibat murtad terhadap hubungan perkawinan adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara tegas mengenai putusnya perkavlinan akibat murtad. Untuk mengatasi hal ini, hakim di pengadilan agama dalam mengadili perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini biasanya menggunakan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasan yang digunakan adalah perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sedangkan menurut Pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam KHI, hanya murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga yang dapat memutuskan hubungan perkawinan. Jadi menurut kedua peraturan di atas, murtadnya salah satu pihak dalam perkawinan tidak serta merta memutuskan perkawinan. Hal ini yang menimbulkan ketidaksesuaian dengan hukum Islam. Untuk mengatasi ketidaksesuaian tersebut, dapat menggunakan Pasal 4 KHI dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. Dengan demikian, walaupun tidak menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga, murtadnya pihak suami atau isteri dapat dijadikan dasar oleh hakim di Pengadilan Agama untuk memutuskan suatu perkawinan. Pengadilan Agama dalam memutuskan suatu perkara didasarkan pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Bila merujuk peraturan yang ada (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI), putusnya perkawinan akibat murtad belum diatur sesuai dengan hukum Islam. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi hakim di pengadilan agama dalam memutuskan perkara putusnya perkawinan akibat murtad. Selain peraturan yang masih kurang memadai, administrasi di pengadilan agama juga kurang menunjang dalam menangani masalah perkara putusnya perkawinan akibat murtad ini agar sesuai dengan hukum Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21207
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggi Maisarah
"Di Indonesia, murtadnya salah satu pihak sepanjang perkawinan sering kali menimbulkan permasalahan hukum. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini, yang menelaah secara mendalam seperangkat peraturan yang mengatur tentang akibat murtad terhadap perkawinan, yaitu berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian yuridis normatif ini juga menganalisis akibat murtad terhadap perkawinan pada putusan Pengadilan Agama Nomor 2390/Pdt.G/2013/PA.Dpk dan Nomor 695/Pdt.G/2012/PA.JP berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam norma hukum yang dimaksud. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur secara eksplisit akibat murtadnya salah satu pihak dalam perkawinan. Namun, Pasal 27 (2) undang-undang ini dapat disimpulkan bahwa orang yang telah menjadi muallaf ternyata mengakui tidak pernah muallaf, itu artinya secara Islam dikatakan murtad. Inilah yang menjadi dasar bahwa murtad berakibat pembatalan perkawinan jika peralihan agama itu adalah sebuah kebohongan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, akibat murtad terhadap perkawinan yaitu pembatalan perkawinan dan perceraian. Akibat murtad dalam pembatalan perkawinan dan perceraian ini adalah status dan pemeliharaan anak, harta bersama, masa tunggu dan nafkah keluarga. Oleh karena kedua pasangan dalam putusan tersebut belum memiliki anak, maka akibat hukum yang timbul bagi para pihak yaitu mengenai pembagian harta bersama dan masa idah. Pembagian harta bersama dibagi masing-masing seperdua atau berdasarkan pada hukum lain yang ditentukan atau diperjanjikan lain. Masa tunggu yang berlaku terhadap istri adalah 90 (sembilan puluh) hari setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap jika keduanya telah berhubungan dan tidak ada masa idah jika keduanya belum pernah berhubungan badan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Nury Soeharso
"Lembaga perkawinan adalah suatu lembaga yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari perilaku kehidupan manusia sehari-hari. Pada prinsipnya suatu perkawinan baru berakhir apabila salah satu dari pasangan suami isteri meninggal dunia. Agama Islam tidak mengikat mati suatu perkawinan tetapi tidak pula mempermudah perceraian. Salah satu yang dapat menyebabkan perceraian adalah riddah. Apabila kedua suami isteri itu atau salah satunya saja keluar dari agama Islam (riddah), sementara dalam pernikahannya itu belum melakukan hubungan badan, maka ikatan perkawinannya menjadi fasakh dan keduanya harus berpisah. Akan tetapi apabila murtad itu terjadi setelah dilakukannya hubungan badan, maka tasakh itu ditangguhkan selama masa iddah. Riddah pengertian 2 ; dua) agama dan riddah dalam pengertian mengandung makna pengertian yaitu riddah dalam filosofis. Di dalam pembahasan skripsi ini dipakai dua buah kasus perceraian dengan alasan riddah, dengan maksud untuk mengetahui apakah di dalam memeriksa dan memutuskan perkara tesebut, Pengadilan Agama tetap berpegang kepada ketentuan Hukum Islam. Dari hasil analisa dapat diambil kesimpulan bahwa Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Pengadilan Tinggi Agama Bandung, dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut tetap berpegang pada ketentuan Islam."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S20438
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mugia Suwantari
"Suatu perkawinan akan membawa akibat bagi hubungan suami isteri dengan anak yang dilahirkan dimana suami isteri harus memelihara anaknya serta membiayai kehidupannya hingga dewasa dan kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua terputus. Hal ini ditegaskan dalam Hukum Islam, UU Perkawinan No. 1/1974 Pasal 41, juga dalam Pasal 105 dan Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam. Walaupun telah diatur dengan jelas masalah akibat perceraian terhadap pemeliharaan dan pendidikan serta biaya hidup anak, akan tetapi dalam prakteknya kewajiban tersebut sering tidak dilaksanakan. Akibatnya anak hidup terlantar dan berada dibawah pemeliharaan dan penguasaan orang yang tidak seharusnya. Dalam hal terjadi perceraian timbul masalah mengenai hak pemeliharaan anak dan nafkah (biaya pemeliharaan anak). Pada umumnya hak pemeliharaan anak jatuh pada pihak isteri dengan kewajiban memberi nafkah atau biaya pemeliharaan anak pada suami. Dalam praktek sering terjadi walaupun Pengadilan sudah memutuskan hak asuh anak pada isteri dan memerintahkan suami untuk memberi biaya pemeliharaan anak, suami tidak melaksanakan kewajibannya tersebut sehingga isteri hanya menang diatas kertas. Untuk mengatasi masalah tersebut UU No. 1 /1974 maupun KHI telah mengatur mengenai permohonan untuk meminta pada Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan proses perceraian untuk mengeluarkan surat perintah sita esekusi. Upaya ini hanya bisa dilakukan jika suami adalah orang yang punya penghasilan lain halnya jika suami adalah orang yang tidak punya penghasi1an maka tuntutan isteri atas nafkah anak akan sia-sia UU No. 1 /1974 dan KHI juga memberikan perlindungan bagi hak anak atas nafkah, baik pada masa perkawinan maupun pasca perceraian. Tetapi dalam pelaksanaanya kadang terjadi penyimpangan yang disebabkan beberapa faktor, diantaranya kurangnya kesadaran hukum suami mengenai tanggung jawabnya terhadap anak, faktor budaya, kurang sempurnanya Undang-undang, dan lain-lain ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21074
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Haar, B. ter
Jakarta: Bhratara, 1972
347.02 HAA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Idris Ramulyo
Jakarta: Ind-Hill, 1985
347.01 RAM b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Haar, B. ter
Djakarta: Bhratara, 1972
347.026 HAA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Amalia
"Perkawinan merupakan salah satu bentuk ibadah yang sakral pada Allah swt. Oleh karena itu, pelaksanaan perkawinan harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi ketentuan rukun dan syarat perkawinan pada dasarnya harus dibatalkan melalui permohonan pembatalan perkawinan, agar terhindar dari kebathilan. Pembatalan perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia didasarkan pada ketentuan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nornor 9 tahun 1975, serta Kompilasi Hukurn Islam (KHI). Penulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pembatalan perkawinan yang diatur dalam hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia, serta melakukan analisis terhadap putusan Pengadilan Agama Cibinong Nomor 790/Pdt .G/2003/PA.Cbn. Putusan tersebut membatalkan perkawinan poligami yang dilaksanakan tanpa adanya izin dari istri sebelumnya, dan pengadilan agama. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan dan lapangan, dengan data yang berasal dari sumber kepustakaan dan hasil wawancara. Kesimpulannya, hukum Islam, terutama Al-Qur'an mengatur pembatalan pembatalan perkawinan dalam bentuk ketentuan umum, sedangkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengatur secara lebih khusus dan rinci tentang pembatalan perkawinan. Selain itu, putusan Pengadilan Agama Cibinong tentang pembatalan perkawinan Nomor 790/Pdt . G/2003/PA. Cbn telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang pembatalan perkawinan. Saran yang dapat diberikan adalah dengan melakukan perneriksaan serta pengawasan yang lebih baik dalam pelaksanaan perkawinan, penegakkan sanksi yang tegas bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pelaksanaan perkawinan, meningkatkan mutu pelayanan perkawinan, dan pihak yang akan melaksanakan perkawinan harus lebih mengenal pasangannya, agar terhindar dari cacat pada rukun dan syarat perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21371
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>