Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181945 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pratista Hendarjana
"Latar Belakang. Penelitian ini membandingkan pemberian ropivakain plain 15 mg dengan ropivakain hiperbarik 15 mg untuk wanita hamil yang akan melakukan bedah sesar.
Metode. Pada sampel dilakukan acak, tersamar ganda. Dengan hipotesa, bahwa penambahan glukosa akan mempercepat mula kerja, masa kerja dan masa pulih sensorik dan motorik blok dan tingkat sensor motor dan blok pada analgesia spinal ropivakain. 70 wanita hamil, status fisik ASA I-11 diberikan 15 mg balk ropivakain plain(n = 35) maupun ropivakain dalam 8,3% glukosa (n = 35) dengan analgesia spinal pada posisi lateral. Perubahan sensorik dengan tes pinprick dan motor test tusuk dan motorik blok (Bromage score) dicatat dengan interval 2 mnt selama 20 mnt pertama.
Hasil penelitian. Mendapatkan penyebaran ropivakain plain banding ropivakain hiperbarik [mean(median) Th4 (The sampai Th2) vs Th2 (Th4 sampai Chi)], mula kerja Iebih cepat pada sensorik blok (pada dermatom ThB) pada kelornpok ropivakain hiperbarik (mean ± SD) 2.16 ± 0.4 vs 4.12 + 0.4 min, p < 0.001; masa kerja blok sensorik lebih cepat ( regresi 2 segmen dari blik sensorik tertinggi) kelompok ropivakain hiperbarik (mean + SD) 67.28 + 5.7 vs 70.19 + 2.4 min, p = 0.008 ; and masa pulih blok sensorik lebih cepat ( sampai dermatom L1) (mean + SD) 102.68 + 9,2 vs 119.00 + 3.9 min , p < 0.001, mula kerja blok motorik ropivakain hiperbarik (mean + SD) 3.59 + 0.9 vs 5.52 ± 0.8 min, p < 0.001; masa kerja blok motorik ropivakain hiperbarik (mean + SD) 56.18 + 9.8 vs 63.90 + 6.4 min, p < 0.001 ; masa pulih motorik btok ropivakain hiperbarik (mean + SD) 37.87 + 5.4 vs 57.53 + 5.6 min, p <0.001 juga mempunyai waktu lebih cepat.
Kesimpulan: Ropvvakain hiperbarik 15 mg dan ropivakain plain 15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk pasien wanita hamil yang dilakukan bedah sesar. Ropivakain hiperbarik mempunyai penyebaran yang lebih tinggi, mula dan masa kerja sensorik, motorik yang lebih cepat dan masa pulih sensorik, motorik blok juga lebih cepat.

Background. This study was designed to evaluate the effects of intrathecal plain ropivacaine 15 mg and hyperbaric ropivacaine in women undergoing caesarean deliveries.
Method. This study prospective, randomized, double-blinded study. We hypothesized that the addition of glucose would change more faster the onset, duration, and recovery of sensory and motor block from intrathecal ropivacaine for caesarean deliveries. Seventy parturients, ASA physical status I-Il women were given 15 mg of either ropivacaine (n = 35) or ropivacaine in 8% glucose (n = 35), via spinal technique in the lateral position. Sensory changes with pinprick test (sensory block) and motor block (Bromage score) were recorded at 2-min intervals for the first 20 min.
Results.There were no significant differences in demographic variable between groups. We found the following: higher cephalic spread (median [range] maximum block height to pinprick ropivacaine plain compare ropivacaine hiperbaric Th4 [Tha to The] vs Th2 [Th4 to C,], faster onset sensory block to The dermatome ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 2.16 + 0.4 vs 4.12 + 0.4 min, p < 0.001; faster duration 2 segmen regretion ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 67.28 + 5.7 vs 70.19 + 2.4 min, p = 0.008 ; and faster recovery sensory block to L.1 ropivacaine hiperbaric (mean + SD) 102.68 + 9,2 vs 119.00 + 3.9 min, p < 0.001, The onset motor block (mean + SD) 3.59 + 0.9 vs 5.52 + 0.8 min, p < 0.001 ; duration motor block (mean + SD) 56.18 + 9.8 vs 63.90 + 6.4 min, p <0.001; the recovery motor block (mean + SD) 37.87 ± 5.4 vs 57.53 + 5.6 min, p < 0.001, ropivacaine hiperbaric was also faster.
Conclusion. Ropivacaine hyperbaric and plain ropivacaine 15 mg provides sufficient for spinal analgesia in the lateral position in patients undergoing cesarean delivery. Hyperbaric ropivacaine produced hihger cephalad spread, more onset, duration rapid block with faster recovery sensory and motori block compared with plain ropivacaine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahmawati
"Latar belakang : Penelitian ini membandingkan efek ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dengan ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg untuk bedah sesar dengan analgesia spinal.
Metode : Dilakukan secara acak tersamar Banda. Hipotesis yang dibuat adalah Ropivakain hiperbarik 12 mg dengan morfin 0,15 mg intratekal, mempunyai mula kerja hambatan sensorik dan motorik yang sama dengan ropivakain hiperbarik 15 mg ditambah morfin 0,15 mg intratekal, namun dengan masa kerja hambatan sensorik dan motorik lebih singkat, dan dapat digunakan untuk anestesia spinal pada bedah sesar. Sebanyak 66 wanita hamil yang akan menjalani beddah sesar, ASA I -- II diberikan ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg (n=33) atau ropivakain hiperbarik 12 mg + morfin 0,15 mg (n-33) dengan teknik blok subaraknoid. Perubahan blok sensorik diukur dengan tes pinprick, dan perubahan hambatan motorik diukur dengan modifikasi skala bomage, VAS diukur 3 kali.
Basil : Tidak ada perbedaan bermakna pada data demografi kedua kelompok. Kelompok ropivakain 15 mg mempunyai penyebaran hambatan sensorik maksimal lebih tinggi (median [min-max]) : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 -- 6), tidak ada perbedaan bermakna pada mula kerja hambatan sensorik (median [min-max]) : 3,2 mnt (2 - 5 mnt) vs 3,0 (1- 5 mnt), tidak ada perbedaan bermakna pada mula keija hambatan motorik (median [min-max]) : 3,3 mnt (1-10 mnt) vs 3 mnt (1-7 mnt), masa kerja hambatan sensorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median [min-max]) : 60 mnt (45 -120mnt) vs 52 mnt (30 - 103 mnt), masa kerja hambatan motorik lebih lama pada kelompok ropivakain 15 mg (median[min-max]) : 60 mnt (35-118 mnt) vs 57 mnt (32 -102 mnt), dan basil yang sama pada pengukuran VAS sebanyak 3 kali.
Simpulan : Ropivakain hiperbarik 15 mg + morfin 0,15 mg dan ropivakain hiperbarik 12 mg + mofin 0,15 mg dapat digunakan untuk analgesia spinal untuk operasi bedah sesar.

Background This study was designed to evaluate the effects of intrathecal hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morln 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg in women undergoing cesarean section.
Methods : This was a prospective, randomized, doubleblinded study. We hypothesized that hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphin 0,15 mg has the same onset of sensory and motoric block, with longer duration of sensory and motoric block with hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg. Sixtysix parturients, physical status ASA I - II were given either hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg (n=33) or hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg (n=33), for cesarean section with spinal analgesia. Changing of sensory block was assessed by pinprick test and motoric block was assessed by bromage score (modification). Visual analogue score was measured three times.
Results : There were no significant differences in demographic variable between groups. Higher cephalic spread (median [range]) maximum block height to pinprick hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg : Th 4 (th 1 - 6) vs Th 5 (Th 2 - 6), no significant difference of sensory block onset (median [range]) : 3,2 min (2 - 5 minutes) vs 3,0 (1 - 5 min), no significant difference of motoric block onset (median [range]) : 3,3 min (1-10 min) vs 3 min ( 1-7 min), longer sensoric block duration hyperbaric ropivacaine 15 mg compare to hyperbaric ropivacaine 12 mg (median [range]) : 60 min (45 -120min) vs 52 min (30 -- 103 min), longer motoric block duration in hyperbaric ropivacaine 15 mg compare hyperbaric ropivacaine 12 mg (median[range]) : 60 min (35-118 min) vs 57 min (32 - 102 min), and no significant difference in visual analogue score in three times measurements.
Conclusion : Hyperbaric ropivacaine 15 mg plus morphine 0,15 mg and hyperbaric ropivacaine 12 mg plus morphine 0,15 mg are sufficient for spinal analgesia in patients undergoing cesarean section."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21413
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismaya Sari Dewi
"Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg.
Disain : Uji klinis acak tersamar ganda
Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi.
Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok
Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.

Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5%
Design : Double blind, randomized clinical study.
Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS.
Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression.
Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Eka Ari Wirawan
"Latar Belakang : Hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada analgesia spinal. khususnya pada pasien obstetrik. Hipotensi terjadi karena blok simpatis. Salab satu cara untuk menurunkan insiden hipotensi adalah dengan menurunkan dosis obat analgetika lokal dan kombinasi dengan opioid untuk analgesia infra dan postoperatif. Fentanil intratekal memiliki rnula kerja yang lebih cepat dibanding morfin dan memberikan analgesia postoperatif yang cukup singkat. Intratekal fentanil menurunkan ketidaknyarnanan ibu intraoperatif saat penarikan peritonium atau manipulasi uterus.
Metode : 86 ibu hamil yang akan menjalani operasi bedah sesar elektif maupun darurat dibagi secara random dalam 2 kelompok. Kelompok I diberikan 10 mg bupivakain 0.5;o hiperbarik plus 12,5 gig fentanil dan Kelompok 11 diberikan 12,5 mg bupivakain 0.5% hiperbarik. Tinggi hambatan maksimal, masa kerja dan masa pulih sensori diuji menggunakan uji pin-prick. Mula kerja, mass kerja dan masa pulih motorik dinilai dengan skala Modifikasi Bromage. Tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas dicatat setiap 2 menit dalam 20 menit pertama. Insiden hipotensi. mual muntah_ pruritus dan depresi nafas dicatat.
Hasi1 : Data demografik dan data dasar tidak berbeda bermakna. Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kelompok fentanil dan kontrol (39,5% banding 48.8%;p>0.05). Median tinggi maksimal blok sensori tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (T5: p>0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan sensori Iebih lama pada kelompok fentanil dibanding kontrol (104,21±29,199 vs 72,60±19,538 menit; 153.21±30.671 vs 124,88±21,001 menu ; p<0.05). Masa kerja dan masa pulih hambatan motorik lebih singkat pada kelompok fentanil dibanding kontrol (99.44120.466 vs 65.95=17.845 menit ; 49.60±18.611 vs 114.14±11.823 menit : p<0,05). Insiden muai muntah tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada pasien pada kedua kelompok mengalami insiden depresi nafas. Insiden pruritus berbeda bermakna (p>0,05).
Kesimpulan : Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Dosis bupivakain yang lebih rendah akan menyebabkan masa kerja blok motorik lebih singkat tanpa berpengaruh pada blok sensori. Penambahan fentanil- intratekai _akan memperpanjang masa kerja hambatan sensori. Insiden pruritus berbeda bermakna pada kelompok fentanil jika dibandingkan dengan kelompok bupivakain.

Backgrounds : Hypotension was the most common complication ,franc spinal analgesia. especially in obstetric patients. Hypotension developed because of svmpatlretic blockade. One method to reduced hi pnten.vwn incidence in caesarean .section was two reduced the doses of local atutlge& drugs and combined with opioul for infra and post operative analgesia. hrtratltecal lipophilic opioid had faster onset of sensory blockade than nrorfne and produced a brief post operative analgesia. Intrathecal feuitanvl decreased maternal discomfort intraoperatively when peritoneum pulled or uterus exrerioration.
Methods : 86 parturients undergoing elective or emergency cesarean section were randomized into one of 2 groups. In group I, spinal analgesia bras performed with 111 mg 0,5% hyperbaric hupivacaine plus /2,5 pg fenianyl and in Group 11 with 12,5 mg 0,5% hyperbaric hupiracain. the max/man season. blockade, duration of analgesia and recovery time were test using pin-prick test. Onset, duration and recovery of motor block were assessed using modified 1lromage scale. Blood pressure. heart rate and respiration rare were recorded even' 2 minute in f rst 20 minutes. The incidence of hypotension, nausea vomiting. pruritus and respiratory depression were recorded.
Results : "There were no significant differences in demographic and baseline value. Incidence of hypotension did not significantly different between fentanyl group and control (39,5% versus 48,8%: p-° 0.115). Tire median maximum block height did not significantly different between two groups (75 ; p 0.05). Duration of analgesia and sensory recovery time was significantly longer in fentonvl group compared to control (104,21-29.199 vs 72.60=19,538 minute 153,21=30.67I vs 124,88=21,001 minute : p<0,05). Onset of motor blockade did not significantly different between two groups. Duration and recovery time of motor blockade was more, shorter in fentanyl group compared to control (99,44=20,466 vs 65,95=17,845 minute ; 49,60,18,611 vs 114,14 -11.823 minute p<0,05). Incidence of nausea and vomiting did not significantly different between two groups. None of the patient in hnt11 groups had respiratory depression episode. Pruritus incidence significantly different (p. (1,05).
Conclusion : Incidence of hypotension did not significantly different between two groups. Smaller doses of bupivacaine results--more shorter time of-motor-blockade with no effect on sensory block. Adding fenianyl intrathecally will prolong the duration of analgesia. Pruritus incidence signifcanl/y different with intrathecal fentanyl when compared with bupivacaine alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subuh Widhyono
"

Tatalaksana dengan tindakan operasi pada fraktur suprakondiler atau interkondiler distal femur ( AO/ OTA type 33 ), masih memberikan tantangan dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Komplikasi yang masih string terjadi berupa gagalnya fiksasi dari distal fragmen fraktur, terutama pada tulang yang osteoporotik . Implan yang sering dipakai pada kasus ini adalah 95 derajat "angle blade plate "(ABP ) dan "retrograde femoral nail". Prosedur sekunder berupa tandur tulang mengikuti tindakan pemasangan ABP antara 0 - 17 % dan 0 - 20 % setelah pemasangan "retrograde intramedular nail". Secara klinis basil pemasangan 1M nail dilaporkan memberikan basil yang baik, tetapi pemakaiannya sulit pada fraktur artikular yang kominutif dan pemasangan screw interlocking pada distal osteoporotik femur merupakan masalah tersendiri. Sanders dkk mengajukan pemasangan pelat pada sisi medial setelah pemasangan pelat 'condyler buttress' "Less invasive stabilization system" ( LISS ; Synthes, Paoli, PA) merupakan 'locked plate' sistim fiksasi interna yang dikembangkan untuk melakukan fiksasi pada fraktur suprakondiler atau interkondiler distal femur. Karakteristik berupa 'multiple fixed-angle screw' fiksasi distal dan proksimal dengan 'unicortical screws'.

Di FKUIIRSUPNCM dikembangkan clover plate dan cloverplate dengan sistim locking untuk daerah periartikuler yang merupakan alternatif implan yang lebih terjangkau untuk mcmenuhi kebutuhan pasien yang tidak mampu. Sehingga pasien tak mampu dapat ditolong terutama dengan mengurangi jumlah biaya untuk membeli implan yang hampir tidak terjangkau oleh mayoritas pasien di RSUPNCM.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marbun, Juan Carson Roy Nathanael
"Latar Belakang: Sistoskopi merupakan prosedur urologi yang memerlukan anestesi spinal untuk memberikan kenyamanan pada pasien. Bupivakain merupakan agen anestesi spinal yang lumrah digunakan namun memiliki durasi kerja yang panjang sehingga menimbulkan kerugian. Prilokain merupakan alternatif anestesi spinal untuk prosedur sistoskopi dengan durasi kerja yang lebih singkat dibandingkan dengan bupivakain. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kecepatan waktu pulih anestesi spinal dengan prilokain hiperbarik 2% 50 mg dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg pada prosedur sitoskopi.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda yang melibatkan 66 pasien yang menjalani prosedur sistoskopi di RSCM. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok yaitu prilokain hiperbarik 2% 50 mg + fentanyl 25 mcg dan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg + fentanyl 25 mcg. Waktu pulih yang dinilai adalah waktu pasien dapat mengangkat tungkai bawah 45 derajat pasca anestesi spinal dan waktu pasien dapat berjalan pasca anestesi spinal.
Hasil: Waktu pasien dapat mengangkat tungkai bawah 45 derajat pasca anestesi spinal dan waktu pasien dapat berjalan pasca anestesi spinal lebih singkat pada prilokain dibandingkan bupivakain. Perubahan hemodinamik dan efek samping yang terjadi tidak berbeda antara kedua obat.
Simpulan: Waktu pulih anestesi spinal dengan prilokain hiperbarik 2% 50 mg lebih singkat dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 12,5 mg pada prosedur sitoskopi.

Introduction: Cystoscopy is a urologic procedure requiring spinal anesthesia to provide comfort to patients. Bupivacaine is a frequently used spinal anesthesia agent, however its long duration of action creates disadvantages. Prilocaine may be an alternative for spinal anesthesia in cystoscopy, which has shorter duration of action compared to bupivacaine. This study aimed to compare spinal anesthesia recovery time of hyperbaric prilocaine 2% 50 mg and hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg in cystoscopy procedure.
Methods: This study was a randomized-controlled trial involving 66 patients who underwent cystoscopy in RSCM. Subjects were randomized into two groups, i.e. hyperbaric prilocaine 2% 50 mg + fentanyl 25 mcg and hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg + fentanyl 25 mcg.Recovery times being assessed were time to raise leg 45 degree and time to walk unassisted after spinal anesthesia.
Results: Time to raise leg 45 degree and time to walk unassisted after spinal anesthesia were shorter in prilocaine group compared to bupivacaine group. Hemodynamic changes and adverse effects were comparable between two groups.
Conclusion: Spinal anesthesia recovery time of hyperbaric prilocaine 2% 50 mg was shorter than hyperbaric bupivacaine 0.5% 12.5 mg in cystoscopy procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pryambodho
"Latar belakang: Teknik CIEA untuk analgesia persalinan belum banyak digunakan dibandingkan teknik ILA yang sudah lebih populer. Secara teori teknik CIEA dapat memberikan analgesia yang lebih stabil dibandingkan ILA. Untuk itu dilakukan uji klinis prospektif untuk membandingkan keefektifan teknik CIEA menggunakan pompa infus portabel dengan teknik ILA sebagai kontrol.
Metode: Sebanyak 72 parturien yang memenuhi krnteria penerimaan dibagi secara randomisasi menjadi 2 kelompok yaitu 36 parturien mendapat teknik ILA menggunakan ropivakain 3,75mg plus martin 0,2mg sedangkan 36 Iainnya mendapat teknik CIEA menggunakan ropivakain O,15% plus fentanil 2 µglmL untuk analgesia persalinan. Dilakukan pencatatan berkala sejak sebelum tindakan sampai 12 jam pasca tindakan penelitian terhadap variabel-variabel visual analogue pain scale (VAPS), skor Bromage, efek samping yang ditimbulkan (hipotensi, gangguan buang air kecil, pruritus dan mual-muntah), lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan, dan tingkat kepuasan parturien.
HasiI: Secara deskriptif teknik CIEA menghasilkan nilai median VAPS yang lebih rendah dibandingkan ILA untuk menit ke 30,60,120,300 dan kala II ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; dan 3 vs 6). Teknik CIEA menghasilkan skor Bromage 0 yang lebih besar dibandingkan ILA namun secara statistik tidak berbeda bermakna (83,3% vs 77,8%, p>0,05). Teknik CIEA menghasilkan efek samping yang pada umumnya lebih sedikit dibandingkan teknik ILA (hipotensi 0% vs 6,3%; gangguan buang air kecil 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; mual-muntah 63,3% vs 96,9%) namun secara statistik hanya efek samping mual-muntah yang berbeda bermakna (p<0,05). Lama persalinan kala I (230,54 menit) pada teknik CIEA Iebih panjang dibandingkan ILA (194,00 menit) namun tidak berbeda bermakna. Demikian pula halnya pada lama persalinan kala II (27,89 menit pada CIEA vs 38,47 menit pada ILA). Banyaknya persalinan pervaginam pada CIBA (77,8%) walaupun lebih kecil tetapi tidak berbeda bermakna dengan ILA (83,3%). Persalinan spontan pervaginam tanpa instrumenlasi pada CIEA (85,7%) lebih banyak dibandingkan ILA (76,7%) namun secara statistik juga tidak berbeda bermakna. Skor APGAR >7 pada menit pertama untuk bayi yang dilahirkan dengan teknik CIEA (94,4%) relatif sama dengan ILA (91,7%), sedangkan untuk skor APGAR menit kelima pads kedua kelompok tersebut semuanya >7 (100% vs 100%). Tingkat kepuasan parturien pada kelompok CIEA (92,9% puas sampai dengan puas sekali) juga tidak berbeda bermakna dengan kelompok ILA (86,7%).
Kesimpulan: Teknik CIEA lebih efektif untuk mengatasi nyeri persalinan sejak menit ke 30 pasca tindakan sampai dengan kala II dibandingkan teknik ILA.Teknik CIEA menghasilkan efek samping hipotensi, pruritus dan gangguan buang air kecil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan ILA, sedangkan efek samping muaI-muntah pada CIEA Iebih rendah dibandingkan ILA dan berbeda bermakna. Teknik CIEA menghasilkan efek blok motorik, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan dan tingkat kepuasan parturien yang tidak berbeda bermakna dengan ILA.

Background; CIEA for labor analgesia is rarely done eventhough theoretically it could provide more stable level of analgesia compared with ILA as the most popular technique in Indonesia. This prospective randomized controlled trial compared the efectivity of CIEA using ambulatory infusion pump for labor analgesia with ILA as control.
Method: Seventy two parturients was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups, each had 36 parturients. One group received ILA using ropivacaine 3,75 mg plus morphin 0,2 mg and the other received CIEA using ropivacaine 0,15% plus fentanyl 2 .tglmL. Some variables were recorded from preanesthetic procedures to 12 hours post procedures, including visual analogue pain scale (VAPS), Bromage score, side effects (hypotension, retensio urine, pruritus, and nausea-vomiting), duration of labor, mode of labor, APGAR score of newborn, and the level of parturients' satisfaction.
Result: Descriptively, CIEA group showed smaller median value of VAPS at 30,60,120,300 minutes and second stage of labor, compared with ILA ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; and 3 vs 6): CIEA group showed more parturient with Bromage score null than ILA group, but statistically indifferent (83,3% vs 77,8%, p>0,05). CIEA group showed less side effects than ILA group (hypotension 0% vs 6,3%; retensio urine 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; nausea-vomiting 63,3% vs 96,9%), however only nausea-vomiting variable that showed significan difference (p<0,05). Duration of the first stage of labor (230,54 minutes) in CIEA group was longer but statistically indifferent with ILA group (194,00 minutes)_ Duration of the second stage of labor was also statistically indifferent (CIEA 27,89 minutes vs ILA 38,47 minutes). The number of vaginal delivery in CIEA group (77,8%) was less than ILA group (83,3%) but indifferent. The number of spontaneus vaginal delivery (uninstrumented) in CIEA (85,7%) was higher than ILA group (76,7%) but indifferent. The newborn's APGAR score more than 7 at the first minute in CIEA group (94,4%) looked similar to ILA group (91,7%), while the APGAR score more than 7 at the fifth minute for both groups are 100%. The level of parturients' satisfaction also showed indifferent (in CIEA group 92.9% parturients was satisfied to very satisfied vs ILA 86,7%).
Conclusion: CIEA technique was more efective than ILA to reduce labor pain from minute 30 post procedure to the second stage of labor. CIEA technique showed indifferent in hypotension, pruritus, and retensio urine, as side effects of labor analgesia compared with ILA, but CIEA produced significantly less nausea-vomitting than ILA. CIEA technique produced the same level of motoric blockade, duration of labor, mode of labor, newborn's APGAR score, and the level of parturients' satisfaction as ILA technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanny Adhitya
"LATAR BELAKANG : Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) adalah salah satu terapi batu ginjal dan batu ureter yang minimal-invasif. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo anestesia spinal merupakan pilihan anestesia utama untuk PCNL, namun regimen anestesia spinal yang digunakan masih bervariasi, dan kejadian hipotensi masih cukup besar. Penelitian ini membandingkan angka kejadian hipotensi pada PCNL dengan anestesia spinal antara dua regimen, yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg.
METODOLOGI: Dua puluh dua pasien PCNL dewasa, ASA I-III, tanpa kelainan kardiovaskuler, dirandomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg. Anestesia spinal dilakukan dalam posisi duduk, pungsi di L3-4/L4-5, kemudian pasien telentang lalu derajat blok sensorik dan motorik dinilai. Sebelum pasien pasien diposisikan prone, derajat blok sensorik dan motorik dinilai lagi. Tekanan darah diperiksa pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 setelah injeksi obat spinal.
HASIL: Angka kejadian hipotensi pada kelompok I adalah 33% sedangkan pada kelompok II 60% (p=0,391). Tidak terdapat perbedaan profil blok sensorik dan motorik pada kedua kelompok. Satu pasien di kelompok II memerlukan tambahan fentanil intravena 100 mcg pada menit ke-70.
SIMPULAN : Angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian tidak berbeda bermakna.

BACKGROUND: Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) is a minimally-invasive therapy for treatment of upper ureteral and renal stones. In Cipto Mangunkusumo Hospital, spinal anesthesia is the major option of anesthesia for PCNL, but spinal anesthesia regimens used are still varied, and the incidence of hypotension is still quite large. This study compared the incidence of hypotension in the PCNL with spinal anesthesia between the two regimens, 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg versus 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg.
METHODOLOGY: Twenty-two adult PCNL patients, ASA I-III, without cardiovascular abnormalities, were randomized into group I, which received 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II received 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg. Spinal anesthesia performed in sitting position, puncture in L3-4/L4-5, then the patient were positioned supine and the degree of sensory and motor block were assessed. Before the patient were positioned prone, the degree of sensory and motor block were assessed again. Blood pressure checked at minute 3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, and 60 after injection of spinal regiments.
RESULTS: The incidence of hypotension in group I was 33% and in group II was 60% (p = 0.391). There were no differences in sensory and motor block profiles in both groups. One patient in group II requires additional intravenous fentanyl 100 mcg in the 70th minute.
CONCLUSION: The incidence of hypotension in both groups of study subjects did not differ significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Aditianingsih
"Latar belakang dan tujuan: Anastasia subarahnoid adalah salah satu tindakan anestesia regional yang sexing dilakukan untuk bedah sesar. Bupivakain hiperbarik 0,5% adalah obat anestetik lokal yang lazim dipakai untuk tehnik pembiusan tersebut. Posisi tubuh dan gaya gravitasi memiliki efek dan mempengaruhi penyebaran dari obat yang bersifat hiperbarik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh posisi tubuh saat penyuntikan obat bupivakain hiperbarik 0,5% terhadap efek hipotensi yang ditimbulkan.
Metode : Penelitian dilakukan terhadap 90 wanita hamil berstatus ASA I-II usia 17-50 tahun yang menjalani bedah sesar, dibagi secara arak menjadi 2 kelompok duduk dan lateral dekubitus kiri. Setelah dilakukan penyuntikan obat, setelah 2 menit pasien dikembalikan ke posisi terlentang miring kiri 15 derajat, dan dilakukan co loading kristaloid 10 mllkgBB selama 10 menit Dilakukan pencatatan tekanan darah selama operasi setiap 2 menit selama 20 menit pertama clan selanjutnya tiap 5 menit. Ketinggian hambatan sensorik clan ketinggian maksimal hambatan, jumlah total efedrin dan cairan kristaloid yang diberikan selama operasi juga dicatat. Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan uji t, uji Mann Whitneydan uji Chi kuadrat.
Hasil : Kekerapan hipotensi antara kelompok posisi duduk dan lateral dekubitus kiri tidak berbeda secara statistik meskipun lebih banyak terjadi pada kelompok lateral dekubitus kiri (67%) dibandingkan posisi duduk (51%). Posisi duduk mengalami hipotensi lebih lambat, derajat hipotensinya lebih rendah dan pemakaian efedrin yang lebih sedikit.
Kesimpulan: Posisi tubuh saat penyuntikan that bupivakain hiperbarik 0,5% pada anestesia subarahnoid mempengaruhi derajat hipotensi yang terjadi pada kasus bedah sesar.

Backgrounds and objectives . Spinal anesthesia is one of the regional anesthesia technique frequently performed for cesarean section. Hyperbaric bupivacaine 0.5% is the most frequent local anesthetic used for this technique. Spread of the hyperbaric local anesthetics is affected by the position of the patient and gravity. In the present study we evaluated the effect of maternal posture whether sitting position during the induction of spinal anesthesia using 05% hyperbaric bupivacaine would induce less hypotension as compared with the left lateral position.
Methods. Ninety pregnant women underwent cesarean delivery were randomly assigned to receive a spinal injection consisting of 12.5 mg 0.5% hyperbaric bupivacaine in either sitting or left lateral position. After 2 minutes, patients were turned to a 15 degrees left lateral position and intravenous infusion of 10 mllkgbodyweigh t of crystalloids was started for 10 minutes along with the induction of spinal anesthesia. Intraoperative blood pressure were recorded , in this study hypotension is defined as a decrease in systolic blood pressure less than 100 mmHg or 20% below baseline values. The height of sensory block was measured, time to T6 spread of the sensory block and the highest level of sensory blockade were noted. Total given of ephedrine and crystalloids rntraopertive were also noted. Statistical evaluation was performed using t?test, Mann Whitney test and Chi square as appropriate.
Result : The incidence of hypotension was not significantly different between sitting and left lateral position but more often in lateral position (51% vs 67%). Sitting position group has longer interval of the first hypotension (p=0.008),less severe of hypotension (p=0.042), less ephedrine supplementation (p=0.014), and longer interval for reaching the T6 dermatome blockade (p <0,0001).
Conclusion: Maternal posture during induction of spinal anesthesia using 0.5% hyperbaric bupivacaine has influence to severity of hypotension for cesarean section.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caesariyo Suwardi
"Latar Belakang : Hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pads analgesia spinal, khususnya pada pasien obstetrik. Hipotensi terjadi karena blok simpatis. Salah satu cara untuk menurunkan insiden hipotensi adalah dengan menurunkan dosis obat analgetika lokal dan kombinasi dengan opioid untuk analgesia intra dan postoperatif. Fentanil intratekal memiliki mule kerja yang lebih cepat dibanding morfin dan memberikan analgesia postoperatif yang cukup singkat. Intratekal fentanii menurunkan ketidaknyamanan ibu intraoperatif saat penarikan peritonium atau manipulasi uterus.
Metode : 86 ibu hamil yang akan menjalani operasi bedah sesar elektif maupun darurat dibagi secara random dalam 2 kelompok. Kelompok I diberikan 10 mg bupivakain 0,5% hiperbarik plus 12,5 µg fentanil dan Kelompok II diberikan 12,5 mg bupivakain 0,5% hiperbarik. Tinggi hambatan maksimal, masa kerja dan masa pulih sensori diuji menggunakan uji pin-prick. Mula kerja, masa kera dan masa pulih motorik dinilai dengan skala Modifikasi Bromage. Tekanan darah, frekuensi denyut nadi dan frekuensi nafas dicatat setiap 2 menit dalam 20 menit pertama. Insiden hipotensi, mual muntah, pruritus dan depresi nafas dicatat.
Hasil : Data demografik dan data dasar tidak berbeda bermakna. Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kelompok fentanil dan kontrol (39,5% banding 48,8%;p0,05). Median tinggi maksimal blok sensori tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (T5 ; pp0,05). Masa kerja dan mesa pulih hambatan sensori lebih lama pada kelompok fentanil dibanding kontrol (104,21129,199 vs 72,60+19,538 merit ; 153,21+30,671 vs 124,88+21,001 menit ; p<0,05). Mula kerja, masa kerja dan masa pulih lebih singkat pada kelompok fentanil dibanding kontrol (99,44+20,466 vs 65,95+17,845 minute ; 49,60+18,611 vs 114,14+11,823 minute ; p<0,05). Insiden mual muntah tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Tidak ada pasien pada kedua kelompok mengalami insiden depresi nafas. Insiden pruritus berbeda bermakna (p0,05).
Kesimpulan : Insiden hipotensi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Dosis bupivakain yang lebih rendah akan menyebabkan masa kerja blok motorik lebih singkat tanpa berpengaruh pada blok sensori. Penambahan fentanil intratekal akan memperpanjang masa kerja hambatan sensori. Insiden pruritus berbeda bermakna pada kelompok fentanil jika dibandingkan dengan kelompok bupivakain.

Backgrounds : Hypotension was the most common complication from spinal analgesia, especially in obstetric patients. Hypotension developed because of sympathetic blockade. One method to reduced hypotension incidence in caesarean section was to reduced the doses of local analgesic drugs and combined with opioid for intro and post operative analgesia. Intrathecal Iipophilic opioid had faster onset of sensory blockade than morfine and produced a brief post operative analgesia. Intrathecal fentanyl decreased maternal discomfort intraoperatively when peritoneum pulled or uterus exteriozation.
Methods : 86 parturients undergoing elective or emergency cesarean section were randomized into one of 2 groups. In Group I, spinal analgesia was performed with 10 mg 0,5% hyperbaric bupivacaine plus 12,5 pg fentanyl and in Group II with 12,5 mg 0,5% hyperbaric bupivacain. The maximum sensory blockade, duration of analgesia and recovery time were test using pin prick test. Onset, duration and recovery of motor block were assessed using modified Bromage scale. Blood pressure, heart rate and respiration rate were recorded every 2 minute in first 20 minutes. The incidence of hypotension, nausea vomitting, pruritus and respiratory depresion were recorded
Results : There were no significant differences in demographic and baseline value. Incidence of hypotension did not significantly different between fentanyl group and control (39,5% versus 48,8%;p>0,05). The median maximum block height did not significantly different between two groups (5 ; p>0,05). Duration of analgesia and sensory recovery time was significantly longer in fentanyl group compared to control (104,211_29,199 vs 72,60119,538 minute ; 153,21130,671 vs 124,88±21,001 minute , p<0,05). Onset of motor blockade did not significantly different between two groups. Duration and recovery time of motor blockade was more shorter in fentanyl group compared to control (99,44+_20,466 vs 65,95±17,845 minute ; 49,60±18,611 vs 114,14111, 1,823 minute ; p<0,05). Incidence of nausea and vomitting did not significantly different between two groups. None of the patient in both groups had respiratory depresion episode. Pruritus was significantly different (p<0, 05).
Conclusion : Incidence of hypotension did not significantly derent between two groups. Smaller doses of bupivacaine results more shorter time of motor blockade with no effect on sensory block Adding fentanyl intrathecally will prolong the duration of analgesia. Pruritus incidence significantly derent with intrathecal fentanyl when compared with bupivacaine alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>