Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120314 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hariindra Pandji Soediro
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian natrium diklofenak 0.1% topikal sebelum pembedahan dapat mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) dalam pembiusan lokal.
Subjek dan metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda. 32 subjek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani pembedahan katarak dengan implantasi lensa intraokular, mendapatkan natrium diklofenak 0.1% tetes mata atau plasebo, yang diberikan 2 jam sebelum operasi setiap 15 menit sebanyak 4 kali setetes. Semua subjek mendapatkan tiga tetes tropikamid 1%, dan setetes fenilefrine liidroklorida 10%. Lebar pupil horisontal diukur sehari sebelum operasi, segera setelah blefarostat terpasang, segera setelah selesai melakukan irigasi aspirasi sisa lensa, dan sehari setelah operasi.
Hasil: Lebar pupil sebelum operasi dan segera setelah blefarostat terpasang tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Lebar pupil setelah irigasi aspirasi sisa lensa pada kelompok diklofenak lebih lebar dari kelompok plasebo, dan secara statistik bermakna (p<00.1). Perubahan lebar pupil pada kedua kelompok berbeda bermakna (p<00.1) dimana perubahan lebar pupil kelompok diklofenak lebih sedikit dibandingkan kelompok plasebo. Lebar pupil sehari pasta pembedahan berbeda bermakna (p<0.05), dimana kelompok diklofenak mempunyai lebar pupil sedikit lebih lebar dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Kesimpulan: Pemberian natrium diklofenak 0.1% tetes mata sebelum pembedahan efektif dalam mempertahankan dilatasi pupil selama pembedahan katarak dengan tehnik standar katarak ekstra kapsular dalam pembiusan lokal.
Kata kunci: Natrium diklofenak topikal - ekstraksi katarak ekstra kapsular - dilatasi - lebar pupil

Purpose: To determine whether pre-operative topical 0,1% Natrium diclofenac therapy could maintained pupillary dilation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique (ECCE) under local anesthetic.
Subject and methods: This study is a randomized, double-blinded clinical trial. Thirty two patients who met inclusion criteria and underwent cataract surgery with lens implantation were received either topical 0.1% natrium diclofenac or placebo, were given two hours pre-operatively every 15 minutes for four doses. All patients also received three doses of 1% tropicamide and single dose of 10% fenilefrine hidrochloride. Pupillary diameters horizontally was measured the day before surgery, immediately after blefarostat was attached, immediately after irrigation aspiration of lens material, and one day after surgery.
Results: Pupil size on the day before surgery and immediately after blefarostat was attached have no statistically different in both group. Pupil size immediately after irrigation aspiration in diclofenac group was larger compare to placebo, and statistically significant (p<0.O01). The change in pupil size was significantly different in both group (p<0.001), there being smaller decrease in diclofenac group compare with placebo group. Pupil size on one day after surgery was significantly different ( po0.05), where the diclofenac groups has slightly larger pupil.
Conclusions: Pre-operative 0.1% natrium diclofenac drops is effective in maintaining pupillary dilatation during cataract surgery using standard extracapsular cataract technique under local anesthetic.
Key words: topical sodium diclofenac- standard extracapsular cataract surgery-dilatationpupil size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58769
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joyce Setyawati
"ABSTRAK
Pengamatan kualitas indra penglihatan telah dapat kita ikuti sejak tahun 1987 dengan keluarnya surat keputusan Menteri Kesehatan yang mengatakan kebutaan merupakan bencana nasional. Kemudian survai morbiditas mata dan kebutaan yang diselenggarakan Departemen Kesehatan pada tahun 1982 menunjukkan kebutaan dua mata 1,2% dari jumlah penduduk (1,2). Katarak merupakan penyebab kebutaan utama, pembedahan merupakan suatu penanggulangan kebutaan karena katarak. Pembedahan katarak pada prinsipnya dibedakan menjadi 2 cara yaitu pengambilan lensa secara utuh dan pengambilan lensa dengan meninggalkan kapsul posterior. Prinsip bedah katarak yang terakhir ini disebut sebagai bedah katarak ekstra kapsular. Cara pembedahan katarak terakhir ini kini lebih disukai dengan makin dikenalnya pemakaian lensa intraokular (3).
Kejadian penyulit selama atau pasta bedah katarak dapat selalu terjadi. Kesulitan membedah katarak ekstra kapsular antara lain, pupil yang kecil dan tekanan bola mata yang tinggi. Kedua hal tersebut akan menyulitkan pengeluaran dan pembersihan sisa-sisa lensa disamping penyulit--penyulit karena tingginya tekanan bola mata.
Kesulitan mengeluarkan massa lensa menyebabkan manipulasi yang lebih banyak pada iris dan endotel kornea. Hal ini merangsang terjadinya iritis dan oedema kornea. Sisa korteks lensa yang tertinggal dapat menimbulkan uveitis. Disamping itu pupil yang kecil pada bedah katarak akan lebih menyulitkan peradangan lensa intraokular.
Setiap tindakan berupa pengirisan konjungtiva, kornea, sklera maupun manipulasi iris pada bedah katarak ektra kapsular akan menimbulkan reaksi radang dimana akan terbentuk mediator peradangan yaitu prostaglandin, khususnya PGE2 ( 4 ). PGE2 selain menimbulkan reaksi radang pasca bedah dapat juga menimbulkan penciutan pupil. Di mata penghambatan sintesa prostaglandin akan mencegah terjadinya penciutan pupil.
Untuk mendapatkan midriasis yang cukup telah dipergunakan bermacam--macam obat terutama yang bekerja melalui saraf autonom yakni golongan obat simpatomimetik dan antikolenergik ( 4,5 ).
Di Bagian Ilmu Penyakit Mata RSCM 1 jam pra bedah katarak ekstra kapsular midriasis diperoleh dengan tropikamid 1% dan fenilefrin 10% ( 6 ). Meskipun demikian penciutan pupil masih dapat terjadi juga. Manipulasi pada bedah intraokular agaknya menimbulkan keluarnya mediator peradangan prostaglandin yang menyebabkan penciutan pupil selain menyebabkan peradangan pasca bedah intraokular ( 7 ).
"
1990
T58490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felyzia Estaliza Irzan
"ABSTRAK
Ekstraksi katarak ekstrakapsular akhir-akhir ini semakin
digemari terutama setelah populernya teknik penanaman lensa
intraokular bilik belakang.1,2 Mengecilnya pupil merupakan
satu-satunya faktor resiko tinggi untuk terjadinya prolaps
badan kaca selama pembedahan, maka mempertahankan keadaan
midriasis merupakan hal yang sangat penting.
Flurbiprofen, merupakan salah satu obat yang dapat
digunakan secara topikal untuk mempertahankan keadaan
midriasis ini.15,18
Selama ini belum pernah dilaporkan penelitian mengenai efek
Flurbiprofen pada mata penderita katarak di Indonesia dan
perlu dicari cara pemberian yang lebih praktis dan sesuai
dengan keadaan. Hal ini menimbulkan keinginan pada diri
penulis untuk meneliti, apakah pemberian Flurbiprofen 0,03%
sebanyak 3 tetes dalam 45 menit sebelum pembedahan dapat
memberi manfaat untuk mempertahankan keadaan midriasis
selama pembedahan ekstraksi katarak ekstrakapsular.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
Flurbiprofen 0,03% yang diteteskan secara topikal sebanyak
3 tetes dalam ± 45 menit sebelum pembedahan ekstraksi
katarak ekstrakapsular dalam mempertahankan keadaan
midriasis.
Bila kelak ternyata cara ini cukup bermanfaat, maka mungkin
cara ini dapat membantu mengatasi permasalahan-permasalahan
di atas.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naila Karima R. Anwar
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Indometasin topikal dalam mencegah miosis pupil pada pembedahan katarak ekstrakapsular. Bila ternyata Indometasin topikal ini efektif untuk mencegah miosis pupil, maka pemakaiannya tentu sangat berguna pada ekstraksi katarak ekstrakapsular, apabila yang disertai penamaan lensa intraokular.
Dari hasil penelitian didapat hasil bahwa, pemberian Indometasin tetes mata 0,5%, 2 jam sebelum pembedahan, dengan selanga waktu masing-masing setiap setengah jam, berbeda bermakna dengan pemberian tetes mata plasebo, di mana tetes mata Indometasin dapat mempertahankan lebarnya pupil selama pembedahan katarak ekstrakapsular."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T58497
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Ratnasari
"ABSTRAK
Tujuan: Membandingkan ukuran, perubahan dilatasi, dan laju dilatasi pupil serta perubahan tekanan darah sistolik, diastolik, mean arterial pressure (MAP), dan frekuensi nadi pada neonatus yang diberikan tetes mata tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% dengan maupun tanpa penambahan tetrakain 0,5%.
Metode: Uji eksperimental acak tersamar ganda ini membandingkan dua kelompok, yaitu yang mendapat tetes mata tetrakain 0,5% 5 menit sebelum penetesan prosedur standar midriatikum (tropikamid 0,5% + fenilefrin 2,5% - 3x penetesan tiap 15 menit) atau artificial tears + prosedur standar midriatikum. Seratus mata neonatus aterm sehat dirandomisasi ke dalam masing-masing kelompok. Pemeriksaan diameter pupil, tekanan sistolik, diastolik, MAP, dan frekuensi nadi dilakukan pada baseline, menit ke-15, 30, 45, dan 60 pasca penetesan obat.
Hasil: Penambahan tetrakain 0,5% setelah 60 menit menghasilkan diameter pupil dan selisih perubahan dilatasi lebih besar, serta laju dilatasi pupil lebih cepat yang secara statistik bermakna (p<0,05). Terjadi peningkatan tekanan sistolik dan MAP serta penurunan frekuensi nadi yang lebih rendah dengan penambahan tetrakain 0,5%, tetapi tidak berefek serupa terhadap peningkatan tekanan diastolik. Perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penambahan tetrakain 0,5% terhadap tropikamid 0,5% dan fenilefrin 2,5% menghasilkan efek dilatasi pupil yang lebih besar dan lebih cepat. Prosedur ini aman dilakukan pada neonatus.

ABSTRACT
Objective: To evaluate the efficacy and safety in pre-instilling tetracaine 0.5% over mydriatic agents in dilating the pupil of newborn eyes.
Design: Double-blind randomized-controlled experimental study.
Methods: The study was performed in 100 eyes of full-term healthy newborns. Each eye was randomized to receive either 0.5% tetracaine (intervention group) or artificial tears (placebo group) five minutes prior to 0.5% tropicamide + 2.5% phenyleprine - 15 minutes apart for 3 times. Pupil diameter, size changes and dilatation rate, as well as systolic, diastolic, mean arterial blood pressure and pulse rate were measured at baseline, 15, 30, 45 and 60 minutes after eye drops instillation.
Results: Pupil diameter and size changes were significantly larger, and the rate of pupillary dilatation significantly faster in the intervention group compare to the placebo group after 60 minutes (p<0.05). Increasing systolic and mean arterial pressure, along with decreasing pulse rate in the intervention group were lower than the placebo group. Higher increase of diastolic blood pressure was observed in the intervention group, although the value was not statistically significant.
Conclusions: Pre-instillation of 0.5% tetracaine over 0.5% tropicamide and 2.5% phenylephrine effected in larger and faster pupillary dilatation; and it appears safe to administer in newborn eyes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
"Latar Belakang: Fibrosis dalam bentuk adhesi jaringan maupun jaringan parut teregang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi luaran hasil operasi strabismus. Obat golongan anti-inflamasi non-steroid, salah satunya natrium diklofenak, merupakan obat yang mampu menekan proses inflamasi sehingga dipikirkan dapat memodulasi penyembuhan luka, termasuk fibrosis pada otot ekstraokular pasca operasi strabismus.
Tujuan: Membandingkan efek pemberian diklofenak sediaan oral atau tetes mata 0,1% terhadap pembentukan fibrosis pasca operasi strabismus pada hewan coba kelinci model.
Metodologi: Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci model yang dilakukan operasi reses otot rekrus superior. Dilakukan randomisasi acak terkontrol tiga kelompok dengan membagi kelinci menjadi: kelompok dengan terapi diklofenak oral 2 x 5 mg/kg selama 3 hari (kelompok A), tetes mata natrium diklofenak 0,1% 3x sehari selama 3 hari (kelompok B), dan kontrol (kelompok C). Setelah hari ke-14 pasca operasi, dilakukan enukleasi lalu dinilai skor adhesi makroskopik, histopatologi inflamasi (haematoxylin & eosin), skor adhesi mikroskopik dan persentase area fibrosis (Masson’s trichrome), serta ekspresi α-smooth muscle actin (α-SMA, imunohistokimia) oleh ahli patologi anatomik menggunakan penilaian semi-kuantitatif dan kuantitatif (ImageJ) dengan nilai reciprocal staining intensity (RSI).
Hasil: Enam kelinci (12 mata) terbagi dalam tiga kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik (p=0,13), adhesi mikroskopik (p=0,28), dan histopatologi inflamasi (p=0,26). Persentase area fibrosis kelompok diklofenak tetes mata (12,44 % (8,63 - 18,29)) lebih sedikit dibandingkan kelompok diklofenak oral (26,76 % (21,38-37,56)) maupun kontrol (27,80 % (16,42 - 36,28); uji Kruskal-Wallis p = 0,04, post-hoc kelompok oral vs tetes mata p = 0,03 dan kelompok tetes mata vs kontrol p=0,04). Penilaian ekspresi α-SMA semi-kuantitatif tidak dijumpai perbedaan antar ketiga kelompok. Analisis RSI mendapatkan bahwa kelompok diklofenak tetes mata memiliki ekspresi α-SMA yang lebih rendah (diklofenak tetes mata = 174,08 ± 21,78 vs diklofenak oral = 206,50 ± 18,93 vs kontrol = 212,58 ± 12,06; one-way ANOVA p = 0.03; post-hoc bonferroni diklofenak tetes mata vs kontrol p= 0,04).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik, mikroskopik, serta histopatologi inflamasi antara kelompok perlakuan diklofenak oral, diklofenak tetes mata, maupun kontrol. Pemberian diklofenak tetes mata 0,1% menunjukkan penurunan area fibrosis dibandingkan kelompok diklofenak oral maupun kontrol. Melalui penilaian RSI, terdapat penurunan ekspresi α-SMA dengan pemberian diklofenak tetes mata 0,1%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
"ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru
dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi
katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih
baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular (EKEK).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua
metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati
di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga
digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192
pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara
acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang
menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga
indikator keberhasilan operasi.
Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari
setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP
Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal
(indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah
biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya
pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi,
biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas
diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu
ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak
adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas
operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako
sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp.
3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya
terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan
ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak
adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik
daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi
intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05).
Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness
Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan
dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode
EKEK.
Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang
dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel
yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik
operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas

Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new
alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract
operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared
to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE).
This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of
cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in
Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical
approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192
cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly
selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients?
medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore
three success indicators of the surgeries.
Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each
method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati
General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single
value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery.
The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs
of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees,
pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were
obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e.
post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the
absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of
effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method.
The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco
surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp.
3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost
components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study
showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better
than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of
post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE
group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference
between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative
complications (p>0.05).
The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio
(ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp.
1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was
more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract
surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more
comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be
obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider
population."
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Sasanti Wulandari
"Tujuan: Membandingkan efek terapi kombinasi Natamisin 5% dan Natrium diklofenak 0,1% dengan Natamisin 5% tunggal pada pengobatan keratomikosis A. fumigates dalam hal daya bunuh obat terhadap jamur serta respons inflamasi.
Subyek dan metode: Penelitian ini bersifat eksperimental, dilakukan secara acak dengan metode tersamar dan menggunakan kelinci sebagai hewan percobaan. Kelompok I adalah kelompok yang diobati dengan tetes mata natamisin 5% dan mulai hari ke-9 diberi tetes mata Natrium diklofenak 0,1% (Nata-NaD). Kelompok II adalah kelompok yang diobati dengan tetes mata natamisin 5% dan mulai hari ke-9 diberi tetes mata BSS (Na-BSS). Parameter yang dinilai adalah daya bunuh obat terhadap jamur yang dinilai secara klinis melalui luas ulkus dan secara mikologi melalui hasil kultur Agar Sabouraud Dekstrosa. Parameter respon inflamasi dinilai secara klinis melalui panjang infiltrat dan hipopion, secara histopatologi melalui sebukan sel radang.
Hasil: Penilaian klinis serta histopatologi menunjukkan peran Na-diklofenak 0,1% dalam meningkatkan daya bunuh Natamisin 5% terhadap A. fumigates (p=0,206). Hasil pemeriksaan kultur kornea bagian dalam menunjukkan perbedaan bermakna antar kelompok (p=0,05). Penilaian respon inflamasi menunjukkan suatu kecenderungan hasil lebih baik pada kelompok kombinasi Natamisin 5% dengan Nadiklofenak 0,1% (p=1,000).
Kesimpulan: Na-diklofenak 0,1% bermanfaat meningkatkan daya bunuh Natamisin 5% terhadap jamur A. fumigates dan menekan respons inflamasi pada keratomikosis.

OBJECTIVES
To determine the efficacy of topical 0,1% Na-diclofenac as a combination with 5% Natamycin in reducing inflammation and improving killing action against A. fumigatus.
SUBJECT AND METHODS
The study is randomized, single-blinded experimental trial. Twenty rabbits were included and divided into two groups and both assigned to topical 5% Natamycin. On the 9`, day, the 1S` group received 0,1% Na-diclofenac additionally (subject group) and the other received topical Basal Saline Solution ( placebo group). Outcome measure including ulcer size, mycology test using Dextrose Sabouraud Agar (DSA), infiltrate width, hypopion, and histopathology examination.
RESULTS
There is an improvement of Natamycin killing action against A. fumigatus in subject group (p=0,206). Culture test demonstrated statistically significant difference (1=0,05). Inflammation is more reduced in subject group but not statistically significant (p=1,000).
CONCLUSION
Topical 0,1% Na-diclofenac tend to improve Natamycin killing action against A. fumigatus and reducing inflammation responses, however, not statistically significant."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincent Wang Tahija
"Latar Belakang : Pasien Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR), Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) dengan neuropati kornea akan mengalami terganggunya stabilitas air mata. Penurunan sekresi dan konsituen air mata akan menyebabkan gangguan berupa mata kering. Pada pasien Diabetes dengan retinopati diabetik, gangguan kornea ini berpotensi lebih memperburuk gangguan penglihatan yang terjadi.
Tujuan : Menilai stabilitas air mata pada pasien NPDR, PDR dengan neuropati kornea sebelum, sesudah diberikan tetes mata Sodium hyaluronat+Vitamin A,E (HA+Vit A,E) atau Sodium Hyaluronat saja (HA).
Metodologi : Penelitian ini merupakan uji eksperimental randomisasi acak terkontrol, dengan dua kelompok utama (NPDR, PDR), kedua kelompok mendapatkan tetes mata HA+Vit A,E atau HA selama 28 hari. Sensitivitas kornea, Skoring Ocular Surface Disease Index (OSDI), Non-Invasive Break Up Time (NIBUT), Schirmer I, jumlah sel goblet konjungtiva dinilai pada 0, 2, 4 minggu.
Hasil : 96 subyek berpartisipasi, 65.6% wanita, 34.4% laki-laki (rerata usia 54.4 tahun). Skor OSDI memperlihatkan perbaikan signifikan, nilai terbesar pada kelompok PDR HA+Vit A,E dengan -4.86±5.76 (P= 0.000), NIBUT memperlihatkan perbaikan signifikan, nilai terbesar pada kelompok NPDR HA dengan 4.79±2.63 (P= 0.000), Schirmer I memperlihatkan perbaikan signifikan, hasil terbesar pada kelompok NPDR HA dengan 2.41±2.35 (P= 0.000). Sitologi impressi konjungtiva memperlihatkan perbaikan signifikan, terutama pada kelompok NPDR HA+Vit A,E (66% perbaikan). Seluruh kelompok memperlihatkan perbaikan signifikan, tetapi perbaikan antar kelompok tidak bermakna.
Kesimpulan : Parameter seluruh kelompok memperlihatkan perbaikan yang signifikan setelah diberikan tetes mata HA+Vit A,E maupun HA saja, Tetapi jika dibandingkan antar kelompok, tidak terdapat perbedaan perbaikan yang signifikan.

Background : Patient with Non-Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR), Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR) with corneal neuropathy will experiencing disruption in tear film stability. Decrease in tear film secretion and constituent will cause dry eyes. In Diabetic patients with diabetic retinopathy, this corneal disorder has the potential to further worsen visual impairment.
Purpose : To Assess tear film stability in NPDR, PDR patients with corneal neuropathy before, after treatment with topical Sodium hyaluronat+Vitamin A,E (HA+Vit A,E) or Sodium Hyaluronat only (HA).
Method : This study was a double blind experimental randomized control trial with two parallel groups (NPDR, PDR), both group receives HA+Vit A,E or HA for 28 days. Corneal sensitivity, Ocular Surface Disease Index (OSDI), Non-Invasive Break Up Time (NIBUT), Schirmer I, conjungtival goblet cells will be assessed on 0, 2, 4 weeks.
Result : 96 subjects participated, 65.6% female, 34.4% male, mean age 54.4 years old. OSDI score shows significant improvement, highest improvement seen on PDR HA+Vit A,E with -4.86±5.76 (P= 0.000), NIBUT hows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA with 4.79±2.63 (P= 0.000), Schirmer I shows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA with 2.41±2.35 (P= 0.000). Conjungtival goblet cells shows significant improvement, highest improvement seen on NPDR HA+Vit A,E (66% improved). All groups shows shows significant improvement, but between groups the improvement was not statistically significant.
Conclusion : Parameters on all groups shows statistically significant improvement after topical HA+Vit A,E or HA. But, if compared between groups, the improvement was not significantly differed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>