Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 131881 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Makagiansar, Irinawati N.
"Objective : To measure sensitivity and specificity diagnostic finding of convensional radiography in midfacial fractur performed at the Emergency room of Cipto Hospital and to evaluate its quality.
Design and Main Outcome Measures: In this diagnostic testing 35 patients with clinical signs of midfacial fracture were investigated. All patient underwent radiography examination at the Emergency room (Anteroposterior, Lateral and reverse Waters view). X ray photo were expertised by a plastic surgeon and a radiologist, both of them without knowing the clinical conditions, and by the residen who received the patient at the ER. Then we compare radiographic and intraoperative findings as goal standard, The results were analyzed by statistical testing (for sensitivity, specificity, positive, negative predictive value).
Results: The result showed that sensitivity and specificity varied between plastic surgeon, radiologist and residen but still high, and we noted that clinical examinations revealed to be very helpful in the assessment of an inadequate imaging fracture.
Conclusion: Conventional radiography performe at the Emergency Room of Cipto hospital has high specificity although the quality is considered substandard. Clinical findings is still very important to distinguished uncertain fracture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risa Crisanti
"Pendahuluan : Fraktur Midface merupakan fraktur yang sering terjadi dapat dapat memberikan efek baik dari segi estetik dan fungsi. Fraktur Midface yang tidak ditangani dengan baik akan merubah bentuk wajah menjadi tidak proporsional, salah satunya wajah yang menjadi lebih lebar dan panjang, terdapat depresi malar. Tata laksana dengan reposisi segmen fraktur dan fiksasi interna merupakan pilihan utama.
Metode : Data yang diambil dari status estetik dengan menggunakan studi cross sectional pada pasien dengan fraktur midface sebelum operasi ORIF didapatkan di rekam medis, dan data setelah opeasi ORIF didapatkan dari follow up (4 years), kemudian dilakukan pengukuran dari proyeksi vertical, horizontal dan warm?s view.
Hasil : Berdasarkan analisis fotografi dari proyeksi vertikal didapatkan 3 pasien memiliki proporsi muka yang baik, 3 pasien memiliki proporsi wajah yang baik dikarenakan perbedaan rata-rata. Berdasarkan analisis fotografi dari proyeksi horizontal didapatkan 3 pasien memiliki panjang muka yang berbeda, 2 pasien memiliki dystopia, 1 pasien memiliki enophtalmus. Berdasarkan analisi fotografi dari proyeksi worm?s eye didapatkan 4 pasien memiliki depresi malar eminensMengenai hasil estetika, didapatkan 4 pasien (66,6 %) puas dengan simetrisitas wajah setelah operasi. 2 pasien (33,3 %) mengeluhkan tidak puas dengan penampilan akhir setelah operasi.
Kesimpulan : Untuk dapat mengevaluasi hasil operasi ORIF di Divisi Bedah Plastik Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Tidak hanya dibutuhkan registrasi data awal yang baik, tetapi juga dibutuhkan sarana dan fasilitas untuk mendapatkan evaluasi jangka panjang pada pasien terutama lokasi pasien yang jaraknya jauh dari lokasi rumah sakit.

Background : Midface fracture is a fracture that often occurs may be able to give a good effect in terms of aesthetics and functionality. Midface fracture that is not handled properly will change the shape of the face become disproportionate, one of which face becomes wider and longer, there is a malar depression. The management of the segment repositioning fracture and internal fixation is the main option.
Methods : Data taken from the status aesthetic using cross sectional study in patients with fractures midface before surgery ORIF obtained in medical records, and the data after opeasi ORIF obtained from follow-up (4 years), then the measurement of the projected vertical, horizontal and warm's view.
Result : Based on the photographic analysis of the vertical projection obtained 3 patients have a good proportion of the face, 3 patients had good facial proportions due to differences in average. Based on the photographic analysis of horizontal projection obtained 3 patients had a different face long, 2 patients had a dystopia, 1 patient had enophtalmus. Based on the photographic analysis of the worm's eye projection obtained 4 patients had a malar depression eminens. Regarding the aesthetic results, obtained four patients (66.6%) are satisfied with simetrisitas face after surgery. 2 patients (33.3%) complained of is not satisfied with the final appearance after surgery.
Conclusions : To be able to evaluate the results of ORIF surgery in the Division of Plastic Surgery Hospital Ciptomangunkusumo. Not only the data registration needed a good start, but also the infrastructure and facilities needed to obtain a long-term evaluation of the patients, especially the location of patients that were located far from the location of the hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Tumatar Ngantung
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umu Istikharoh
"Latar belakang: Diced cartilage banyak digunakan dalam praktek bedah plastik. Keuntungannya sangat beragam, dari rekonstruksi hingga estetik. Tetapi data mengenai viabilitas antara bentuk kasar dan halus belum ada, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar tersebut.
Metode: Penelitian menggunakan kelinci New Zealand dewasa. Menggunakan tujuh ekor kelinci yang dibagi menjadi tiga grup yaitu grup block cartilage, coarsely diced cartilage dan finely diced cartilage. Pengabilan cartilage dilakukan dari satu sisi bagian telinga kelinci, dibagi dengan ukuran yang sama dan ditanam di bawah kulit scapula. Setelah 12 minggu dilakukan pemeriksaan makroskopik untuk menilai warna, dan kontur dari kartilago yang sudah diimplantasikan lalu juga dilakukan pemeriksaan histologis dengan pewarnaan : Haematoxylin Eosin dan Mason Tricrhome untuk menilai viabilitas masing ndash; masing grup.
Hasil: Secara makroskopik didapatkan perbedaan berat cartilage dari masing ndash; masing grup. Masing ndash; masing menunjukkan peningkatan berat cartilage antara sebelum dan sesudah 12 minggu. Tidak didapatkan perbedaan viabilitas antara masing ndash; masing grup, dengan nilai p > 0.312.
Kesimpulan: Penggunaan coarsely diced cartilage memiliki keuntungan untuk pengisian volume organ yang besar. Hal ini dikarenakan tidak adanya perbedaan secara makroskopik maupun mikroskopik antra finely dan coarsely diced cartilage.

Background: The use of diced cartilage grafts is common in plastic surgery, it is very useful for reconstruction after secondary accident and malignancies in the facial region. In recent years it is very useful for aesthetic surgery. The study to compare between coarsely and finely diced cartilage is not provide.
Methods: We use New Zealand white rabbits for this study. We used seven samples with three group, one group of block cartilage, one group of coarsely diced cartilage and the last group of finely diced cartilage. Three equal sized auricular cartilage grafts were harvested from each rabbit and implanted on the scapulae of the same rabbits. Twelve weeks after implantation, all cartilage grafts were examined macroscopically and microscopy. Post implanted cartilage grafts were stained by Haematoxylin Eosin and Thricrhome to know the viability of each group.
Result: Macroscopically there is different weight before and after implantation, every group was gain the weight. The viability between the each group is not different significant, p 0.312. The advantages for the coarsely diced cartilage than fined diced cartilage was same in contour, color, viability and absorpsion weight was gained.
Conslusion: We can used the coarsely diced cartilage for the bigger defect that need more volume. The result is same between finely and coarsely in clinical and histologic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Sadwika P.J.
"Latar Belakang: Tujuan dari manajemen luka bakar adalah untuk menginiasi penutupan luka dini atau epitelisasi, dan untuk mencegah komplikasi akibat sepsis. Namun, dari praktik harian kami, diagnosis dini, terutama dalam menentukan kedalaman luka bakar pada fase akut, cukup sulit karena proses luka bakar terus berlangsung. Pengukuran objektif merupakan metode tambahan yang baik untuk membantu dokter mengevaluasi kedalaman luka bakar, misalnya pencitraan termal FLIR ONE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas FLIR ONE termografi sebagai alat untuk menilai kedalaman luka bakar, dan keandalan evaluasi klinis dan FLIR ONE yang dilakukan oleh ahli konsultan ahli luka bakar bedah plastik dan senior residen bedah plastik. Metode: Studi diagnostik yang dilakukan dari November 2019 - April 2020 di pusat kami. Dengan kriteria inklusi disebutkan kami melakukan pengamatan dua kali berdasarkan evaluasi klinis dan juga alat bantu FLIR ONE termografi pada luka bakar superfisial dan mid-dermal dalam waktu 48 jam pascalukabakar, dan hari 3-5 pascalukabakar, dengan outcome yaitu evaluasi klinis yang dilakukan oleh ahli bedah plastik konsultan luka bakar berpengalaman di hari ke 7. Data dikumpulkan dan menganalisis validitas dan realibilitas. Hasil: 43 sampel yang diambil dari laki-laki 15 (53,6%) dan perempuan 13 (46,4%), usia rata-rata 41,82 ± 13,52 tahun. Sebagian besar sampel adalah dari wajah 14 (32,6%), dan ekstremitas atas 11 (25,6%). Realibitas: ICC adalah T1 0,95 dan T3 0,98, menunjukkan angka baik hingga hari ke 7 hari pascalukabar. Kesenjangan evaluasi klinis antara kedua pengamat (konsultan luka bakar bedah plastic berpengalaman dan residen bedah plastik senior) di T1 adalah 6,9% dan di T3 adalah 9,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian klinis baik di T1 (p = 0,82) dan T3 (p = 0,51) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran menggunakan alat FLIR ONE antara dua pengamat baik di T1 (p = 0,25) dan T3 (p = 0,91 ). Validitas: AUC dihitung pada T1 adalah 0,72 (95% CI: 0,563 - 0,880) p = 0,014 dengan titik batas T1 pada -0,8 ° C, menunjukkan diskriminasi moderat antara kategori penyembuhan yang re-epitelisasi <= 7 hari dan > 7 hari (sensitivitas 62,5%; spesifisitas 78,9%). Kami menggabungkan evaluasi klinis dan T1 dalam waktu 48 jam setelah luka bakar, penggunaan Flir ONE sebagai alat tambahan meningkatkan sensitivitas menjadi 58,33%, spesifisitas 98% dari evaluasi klinis saja. Probabilitas re-epitelisasi temuan klinis kedalaman luka superfisial dengan nilai T1 > -0,8 C memiliki probabilitas tertinggi (90,94%) untuk re-epitelisasi dalam waktu kurang dari sama dengan 7 hari. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik dari evaluasi klinis saja dan evaluasi klinis dengan FLIR ONE termografi dalam menilai kedalaman luka bakar. Titik potong kami dalam menentukan kedalaman luka bakar adalah -0,8 ° C, dengan hasil probabilitas yang baik untuk membedakan hasil epitelisasi berulang. Penelitian ini juga memberi tahu kami bahwa program residensi bedah plastik di rumah sakit pendidikan kami telah berhasil membangun kompetensi modul yang baik, dan reisden memiliki paparan yang cukup terhadap kasus luka bakar.

Background: The aim of the management of burn wound is to initiate early wound closure or epithelization, and to prevent sepsis complication. However, from our daily practice, early diagnosis especially in determining the depth of burn wound in acute phase, is quiet difficult as burn wound process is running. Objective measurement may be great adjunct methods to to help clinician evaluating burn wound depth, as an example of FLIR ONE thermal imaging. The objective was to evaluate the validity of FLIR ONE thermal imager as an adjunct tool to assess burn wound depth, and reliability of clinical evaluation and FLIR ONE performed by senior resident of plastic surgery and experienced burn consultant plastic surgeon. Methods: This is a diagnostic study conducted from November 2019 – April 2020 in our center. With inclusion criteria mentioned we did observation twice based on clinical visual and also FLIR ONE thermal imaging on superficial and mid dermal burn within 48 hours post burn, and post burn day 3-5, outcome by clinical evalution done by experienced burn consultant plastic surgeon on day 7. Data were collected and analyze validity and realibility. Result: We had 43 samples taken from male 15 (53,6%) and female 13 (46.4%), average age 41.82 ± 13.52 years. As facial 14(32.6%), and upper extremities 11 (25.6%) as most samples use. Reliability: ICCs were T1 0.95 and T3 0.98, indicating excellent reliability up to 7 days after burn. The gap of clinical evaluation between both observers (experienced burn consultant and senior plastic surgery resident) at T1 is 6.9 percent and at T3 is 9.3 percent. There were no significant difference in clinical assessment both in T1 (p=0.82) and T3 (p=0.51) and no significant difference in measurements using FLIR ONE between two observers both in T1 (p=0.25) and T3 (p=0.91). Validity: the area under the curve was calculated at T1 was 0.72 (95% CI: 0.563 – 0.880) p = 0.014 with a cut-off point of T1 at -0.8°C, shows a moderate discrimination between healing categories re-epithelialization <= 7 days and > 7 days (62.5% sensitivity; 78.9% specificity). We combined clinical evaluation and T1 within 48 hours post burn, the use of Flir One as an adjunct tool increased the sensitivity to 58.33%, specificity 98% of clinical evaluation solely. the probability of re-epithelialization of clinical finding of superficial wound depth with T1 value of >-0.8oC had the highest probability (90.94%) to re-epithelialized in less equal to 7 days. Conclusion: This research showed good validity and reliability of clinical evaluation alone and clinical evaluation adjunct with FLIR ONE thermal imaging in assessment of burn wound depth. Our cut off point in determining the burn wound depth was -0.8° C, with good probability result to differentiate re-epithelialization outcome. This research told us that plastic surgery residency program of our teaching hospital had successfully established a good module competency, and resident had enough exposure to the burn cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Tri Hartono
"Latar Belakang: Rekonstruksi pada defek tulang kritikal masih merupakan tantangan yang besar untuk seorang ahli bedah plastik rekonstruksi. Selama ini, baku emas untuk menangani kasus defek tulang tersebut adalah menggunakan autologous bone graft, namun terdapat beberapa kekurangannya seperti morbiditas pada lokasi donor, pemanjangan waktu operasi, donor yang terbatas, dan pemajangan waktu rawat. Mencoba mengatasi kekurangan tadi, muncullah rekayasa jaringan tulang yang memberikan hasil yang menjanjikan dalam regenerasi jaringan tulang biologis yang baru. Beberapa penelitian hewan sebelum, menunjukkan bahwa implantasi secara ortotopik dan ektopik dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam regenerasi tulang
Metode: Telaah sistematis dilakukan pada Pubmed/MEDLINE, Cochrane Library, dan WHO ICTRP, termasuk semua studi dengan data primer untuk rekayasa jaringan tulang menggunakan kalsium fosfat sebagai bahan rangka, studi pada defek tulang kritikal, baik uji klinis acak terkontrol maupun tidak pada manusia dan hewan. Luaran yang dinilai adalah pembentukan tulang baru yang membandingkan implantasi secara ortotopik (intraperiosteum) dan ektopik (intramuskular). Studi ini menggunakan SYRCLE’s tools untuk menilai risiko bias studi pada hewan.
Hasil: Didapatkan lima studi hewan yang memenuhi kriteria eligibilitas dari total 80 studi yang diinklusi pada telaah ini. Dicantumkan karakteristik demografis dari masing-masing studi. Studi yang memiliki luaran klinis yang sama (% area tulang dan % kontak) dibandingan antara implantasi ortotopik dan ektopik. 2 studi menunjukkan bahwa implantasi secara intramuskular menggunakan kerangka yang sudah ditambahkan BMSC memberikan hasil yang baik pada pembentukan jaringan tulang baru. Kerangka kosong tidak menunjukkan adanya pembentukan tulang. Penambahan BMP-2 sebagai factor pertumbuhan dapat meningkatkan osteogenisitas baik pada implantasi ortotopik maupun ektopik.
Kesimpulan: Implantasi ortotopik dapat menginduksi pembentukan tulang baru lebih baik daripada implantasi ektopik. Menggunakan kerangka yang ditambahkan BMSC serta BMP-2 pada implantasi intramuskular memberikan hasil yang baik untuk pembentukan tulang baru. Rekayasa jaringan tulang memungkinkan untuk dilakukan dengan implantasi secara ortotopik maupun ektopik

Background: Critical bone defect reconstruction remains a major challenge in plastic reconstructive surgery. While autologous bone graft is still considered as the gold standard for treating critical bone defects, there are disadvantages like donor site morbidity long operative time, donor limitation, and extended hospital stay. In order to resolve them, bone tissue engineering has emerged in reconstruction medical studies, for they give promising result in regenerating new biological bone tissue. Previous animal studies have shown that implantating orthotopically and ectopically gave promising result in bone regeneration.
Methods: A systematic search was done on PubMed/MEDLINE, Cochrane Library, and WHO ICTRP, including all studies with primary data for bone tissue engineering using calcium phosphate as scaffold materials, studies in critical bone defects, RCT or non RCT in human studies or animal studies. Studies with outcome of new bone formation comparing orthotopic (intraperiosteum) implantation and ectopic (intramusculuar) implantation. We used SYRCLE’s tools for assessing risk of bias of animal studies.
Results: Five animal studies meet the eligibility criteria from a total of 80 studies are included for this review. Characteristics demography of each study are stated. Studies with the same outcome (bone area% and contact%) are compared in orthotopic and ectopic implantation. Two studies showed that intramuscular implantation using BMSC-seeded scaffold give promising result of new bone formation. However empty scaffold did not show any bone formation. Adding BMP-2 for growth factor can improved osteogenecity both in orthotopic implantation and ectopic implantation
Conclusion: Orthotopic implantation can induced new bone formation better than ectopic implantations. Using BMSC-seeded and addition of BMP-2 for intramuscular implantation give good result of new bone formation. Both orthotopic and ectopic (intramuscular) implantation are possible for bone tissue engineering
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Trimartani
"ABSTRAK
Pendahuluan. Perkembangan analisis wajah pada bedah rekonstruksi wajah sangatlah pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi pencitraan dan komputerisasi. Program perangkat lunak yang tersedia pada saat ini, seperti Rhinobase, hanya dapat mengukur daerah hidung, tidak seluruh wajah. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu program perangkat lunak yang lebih lengkap, dapat menyimpan data medis, mengukur dan menganalisis foto (fotogrametri dan analisis fotografi) guna merencanakan tindakan operasi rekonstruksi wajah secara keseluruhan. Pengakat lunak ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat ukur dan menjadi panduan untuk melakukan tindakan bedah rekonstruksi wajah (reaksilofasial)."
2008
D1753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hartstein, Morris E.
"Midfacial rejuvenation is a comprehensive review of the majority of procedures and options for midfacial aesthetic and corrective surgery. Each contributor offers a unique approach to the midfacial area, with detailed specifics for every technique. Chapters on midfacial anatomy, complications and their management complete the comprehensive coverage of the subject matter, resulting in a reference text that will benefit every practitioner dealing with the midfacial region.
Features, one of the first books to focus exclusively on the midfacial area, highly illustrated and with clear, step-by-step instructions on performing a variety of midface lifts, implants, sutures, grafts, and fillers, over 300 full color images, includes in-depth chapters on midfacial anatomy and the anatomic basis of aging, multiple approaches to midfacial rejuvenation by well-known surgeons in fields such as oculoplastics, facial plastics, general plastics, and dermatologists."
New York: Springer, 2012
e20426189
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Dipo Putra A.
"Rinoplasti adalah prosedur estetik yang banyak diminati di seluruh dunia dan merupakan prosedur menantang bagi seorang ahli bedah estetik karena memiliki satu tujuan yaitu kepuasan. Kepuasan ini tidak hanya untuk pasien, tapi juga bagi ahli bedah yang terlibat. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi suatu kepuasan. Kepuasan yang ingin dicapai dapat dilihat dari segi estetik tanpa melupakan fungsinya. Penelitian ini menggunakan kuesioner rhinoplasty outcomes evaluation untuk menilai tingkat kepuasan pasien setelah menjalani prosedur rinoplasti. Segala jenis prosedur operasi, kususnya dibidang estetik, kunci keberhasilan adalah ketepatan pemilihan pasien, sehingga mengetahui psikologi pasien dapat menjadi garis depan dalam pengambilan keputusan pemilihan pasien. Prosedur ini memiliki risiko potensial tinggi terutama pada pasien dengan gangguan psikopatologi, sehingga penilaian psikologi pasien perlu dilakukan, dimana digunakan penilaian dengan skala kecemasan pada penelitian ini untuk mengetahui hal tersebut. Hal lain yang dapat mengurangi tingkat kepuasan pasien adalah keluhan sumbatan hidung setelah operasi, oleh karena itu penilaian aliran udara hidung sebelum dan sesudah operasi perlu dilakukan untuk memaksimalkan target kepuasan yang ingin dicapai. Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan kuesioner NOSE dan ESS, serta pemeriksaan PNIF untuk menilai aliran udara hidung sebelum dan sesudah operasi.

Rhinoplasty is an aesthetic procedure that is in great demand throughout the world and is a challenging procedure for an aesthetic surgeon because it has one goal, satisfaction. This satisfaction is not only for patients, but also for the surgeons involved. Many factors can influence satisfaction. Satisfaction to be achieved can be seen in terms of aesthetics without forgetting its function. This study used a rhinoplasty outcomes evaluation questionnaire to assess the level of patient satisfaction after undergoing a rhinoplasty procedure. All types of surgical procedures, especially in the aesthetic field, the key to success is the accuracy of patient selection, so knowing the psychology of patients can be the front line in making patient selection decisions. This procedure has a high potential risk especially in patients with psychopathological disorders, so assessment of patient psychology needs to be done, which is used to assess the neurotic scale in this study to find out this. Another thing that can reduce the level of patient satisfaction is a complaint of nasal obstruction after surgery, therefore an assessment of nasal air flow before and after surgery needs to be done to maximize the target of satisfaction to be achieved. Therefore in this study using the NOSE and ESS questionnaire, and PNIF examination to assess nasal air flow before and after surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Aretnaningtyas Septiani
"Background: Pada program pelatihan residensi bedah Plastik, pengukiran framework untuk telinga luar pada prosedur mikrotia masih terbatas pada sistem magang. Menurut model berbasis simulasi, residen dapat dilatih sebelum menghadapi pasien sebenarnya. Penelitian ini akan menilai efisiensi dari program pelatihan pengukiran framework telinga luar untuk residen Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik.
Materials and Methods: 14 residen bedah plastik masuk dalam penelitian ini, terbagi menjadi dua grup. Grup I, terdiri dari residen yang pernah mengikuti prosedur mikrotia lebih dari 1 kali sebagai asisten atau pengukir sementara grup II beum pernah. Grup II akan mendapat program pelatihan yang terdiri dari kuliah dan video, dilanjutkan dengan pengukiran dengan subtitusi kartilago dalam bimbingan. Hasil akhir akan dinilai oleh 2 orang konsultan ahli bedah Mikrotia dalam hal presisi anatomi dan ukuran serta kecepatan pengukiran.
Result: Penelitian menunjukkan terdapat peningkatan bermakna dalam hal kecepatan pengukiran dengan p=0.003 (p<0.005) antara 2 grup. Sementara dalam presisi anatomi, terdapat peningkatan bermakna pada tinggi tragus dengan p=0.003 (p<0.005) serta penurunann tinggi antitragus dengan p=0.000 (p<0.0005), dan pada nilai lain tidak terdapat perbedaaan yang signifikan diantara 2 grup.
Conclusion: Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa kecuali tinggi anti tragus, hasil ini menunjukkan efektivitas program pelatihan antara mereka yang belum pernah mengikuti operasi mikrotia dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Background: In Plastic Surgery residency training program, cartilage carving of external ear reconstruction for Microtia's procedure was limited to traditional apprenticeship model. Under simulation based training, resident could be groomed before facing the real patient. This study will be evaluate the efficacy training program for cartilage carving of external ear framework for resident of Aesthetic Reconstructive Plastic Surgery.
Materials and Methods: 14 plastic surgery resident will be enrolled in this study, separated into two group. Group I, consisted of resident had experience in Microtia's procedure more than once asisstant or carver meanwhile group II hadn't. Group II will had training program comprised of lecture and video then carving of cartilage substitute under guidance. A week later, both group would carve external ear cartilage framework without guidance. The final result will be assesed by two consultant of Microtia's surgeon in term of anatomical, size appearance of external ear and speed of carving.
Result: Study showed that there was improvement in term of speed of carving with p = 0.003 (p<0.005) between both group. Meanwhile, in term of anatomical precision, there was improvement in tragal height with p=0.003 (p<0.005) and decline antitragal height with p=0.000 (p<0.0005), though in other points there was no significant differences between both team.
Conclusion: From study, we concluded that except for antitragal height point, this result successfully demonstrated the effectiveness of the training program between those who had never experienced microtia's procedure before than those who had."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>