Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156193 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pirade, Adolfina
"Salah satu kesepakatan Internasional dalam meningkatkan angka kesembuhan penyakit tuberkulosis paru adalah memberikan pengobatan dengan sistem DOTS. Indonesia telah memulai program DOTS ini sejak tahun 1995 yang dilaksanakan secara bertahap di provinsi, khususnya di DKI Jakarta telah dimulai sejak Juli 1997.
Sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan Program P2TB Paru bahwa seorang penderita dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada akhir bulan ke-516 dan akhir pengobatan. Berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan di Jakarta Pusat ternyata bahwa 38,4% penderita TB paru yang selesai berobat tidak memeriksakan ulang dahaknya, sampai saat ini belum ada penelitian di DKI Jakarta mengenai faktor yang berhubungan dengan pemeriksaan ulang dahak.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak di puskesmas Jakarta Pusat. Disain penelitian digunakan yaitu kasus kontrol dengan sampel penelitian adalah penderita TB paru baru BTA positif telah selesai pengobatan kategori 1 berumur 15 tahun keatas yang berobat di puskesmas Jakarta Pusat. Besar sampel 150 orang yaitu sampel kasus sebanyak 75 orang dan sampel kontrol 75 orang.
Hasil penelitian dilakukan analisis multivariat dengan logistic regression dengan maksud untuk mengetahui hubungan variabel dependen dengan variabel independen. Berdasarkan hasil analisis bivariat dari 15 variabel maka didapatkan variabel yang nilai p<0,25 ada 9 variabel, ternyata pada analisis multivariat didapatkan hanya 3 variabel yang berhubungan bermakna (p<0,05) yaitu pengetahuan (OR=28,44 95% CI 4,66-173,62), persepsi (DR 13,90 95% CI 3,54-54,57), kemudahan mengeluarkan dahak (OR=7,54 95% CI 3,31-17,18), serta interaksi antara pengetahuan dengan persepsi (0R=0,11 95%CI 0,14-0,81) dan nilai p=0,031.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pengetahuan rendah, persepsi buruk, sukar mengeluarkan dahak dan interaksi antara pengetahuan kurang dan persepsi buruk secara bersama-sama mempunyai hubungan yang bermakna (p<0,05) dengan tidak dilaksanakannya pemeriksaan ulang dahak penderita TB paru baru BTA positif di puskesmas Jakarta Pusat tahun 2000. Sesuai dengan hasil demikian maka disarankan agar dilakukan penyuluhan kepada penderita sebelum pengobatan dan setiap penderita melaksanakan pengambilan obat oleh petugas program P2TB di puskesmas, sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan petugas kesehatan yang mampu dan mau benar-benar melaksakanan pekerjaan ini tentunya dengan pelatihan, supervisi dan pertemuan yang membahas masalah pelaksanaan Program TB Paru di puskesmas.

Study of Factors Associated With Not to Re-Examine Their Sputum among New Cases with Positive Fast Acid Bacilli Pulmonary Tuberculosis in Health Centers in Central JakartaOne of the International commitments in increasing the cure rate of pulmonary tuberculosis is to give therapy with DOTS system. Indonesia has started the DOTS program since 1995 beginning in some provinces and gradually expanded to the others. Jakarta began the program in 1997.
According to the criteria set by the Pulmonary TB Eradication Program, a patient is cured if laboratory examination of the sputum shows negative result by the end of the 5th or 6th month of therapy and by the end of the therapy. Secondary data collected in Central Jakarta showed that 38.4% of TB patients which have completed their therapy did not re-examine their sputum. So far there was no study in Jakarta which tried to find out factors related to this re-examination rate.
This research was conducted to know what factors that influence TB patients not to re-examine their sputum in Health Centers in Central Jakarta. The research design used is a case control study where samples were taken from new pulmonary TB patients with positive Fast Acid Bacilli having completed their Category I therapy, aged more than 15 years who came to health centers in Central Jakarta. The sample size was 150, consists of 75 cases and 75 controls.
The data were analyzed by multivariate analysis using logistic regression to know the relation between dependent variables with independent variables. Bivariate analysis from 15 variables showed that 9 variables had p value < 0.25, while multivariate analysis showed that only 3 variables had significant relation (p <0.05), knowledge (OR = 28.44 95% CI 4.66-173.63) p = 0.000, perception (OR = 13.90 95% CI 3.54- 54.57) p = 0.000, the ease to produce sputum (OR = 7.54 95% CI 3.31-17.18) p= 0.000 and interaction between knowledge and perception (OR = 0.11 95% CI 0.14- 0.8I) p = 0.031.
The conclusion of this research is that low knowledge, bad perception, difficulties in producing sputum and interaction between lack of knowledge and bad perception have significant relation (p < 0.05) with the unwillingness to re-examine the sputum among new pulmonary TB patients with positive AFB who came to health centers in Central Jakarta in 2000. Therefore it is suggested that TB program officers in health centers give proper information/education to the patients before starting the TB therapy and every time the patients come to get the TB drugs and hence we need to have officers who are capable and willing to do their work and this certainly can be created by training, supervisions and series of meeting which discuss about pulmonary TB program in health centers."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T5783
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Yuliharti
"Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama di negara-negara berkembang. Indonesia sendiri merupakan negara ke 3 terbanyak penderita tuberkulosisnya setelah India dan China, diperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis paru dengan kematian 140.000 penderita.
Dalam program penanggulangan tuberkulosis paru ini, tujuan dari pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan diagnosis, menilai kemajuan pengobatan dan menentukan tingkat penularan. Melihat kompleksnya permasalahan pada keteraturan pemeriksaan dahak tersebut mendorong penulis untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan ketidakpatuhan pemeriksaan dahak.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan beberapa faktor terhadap ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada fase intensif pengobatan tuberkulosis paru di Kota Sukabumi tahun 2002.
Desain penelitian ini adalah kasus kontrol, populasi penelitian adalah penderita tuberkulosis paru berumur ≥ 15 tahun yang berobat di seluruh puskesmas di Kota Sukabumi. Kasus adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang tidak memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2 dan kontrol adalah penderita tuberkulosis paru berumur 15 tahun atau lebih yang memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru yaitu pada hari ke 53-60 pada kategori-1 dan kategori-3 atau hari ke 83-90 pada kategori-2. Alat pengumpul data berupa Kartu Pengobatan TB 01 dan kuesioner dengan sampel sebanyak 144 orang yaitu 72 kasus dan 72 kontrol.
Hasil analisis bivariat terhadap 12 variabel independen dengan variabel dependen, menghasilkan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna (p < 0,05). Variabel yang berhubungan dengan ketidakpatuhan memeriksakan dahak pada akhir fase intensif pengobatan tuberkulosis paru adalah pengetahuan yang rendah (OR = 5,58; p = 0,000), sikap yang buruk (OR = 2,25; p = 0,018), status belum/tidak kawin (OR = 2,31; p = 0,020), dan tipe puskesmas (Puskesmas Rujukan Mikroskopis OR = 2,50 dan Puskesmas Pelaksana Mandiri OR= 3,99 dengan nilai p = 0,008).
Hasil analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik metode enter dari 6 variabel independen yang menjadi kandidat untuk masuk dalam model (p < 0,25), ternyata hanya 3 variabel yang masuk dalam model akhir yakni; pengetahuan (OR = 8,46 ; p = 0,000), status perkawinan (OR = 4,82 ; p = 0,001) dan tipe puskesmas (Puskemas Rujukan Mikroskopis OR = 2,87, p = 0,014; Puskesmas Pelaksana Mandiri OR = 6,09, p = 0,008 ; Puskesmas Satelit OR = 1,00, p = 0,006).
Kemudian disarankan agar lebih mengintensifkan program penyuluhan kesehatan dengan menggunakan leaflet atau poster. Perlunya ditunjuk tenaga PMO yang dibekali dengan buku pintar (buku saku) berisi tentang penyakit tuberkulosis dan cara penanggulangannya secara singkat dan jelas. Petugas laboratorium hendaknya memberikan pengertian kepada setiap penderita tuberkulosis tentang pentingnya pemeriksaan dahak yang teratur dan tepat waktu. Kemudian adanya upaya kemitraan dengan kalangan swasta, organisasi profesi atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

The Factors Related to in-Obedience for Having Sputum Examination at the End of Intensive Phase of Pulmonary Tuberculosis Treatment at Sukabumi, 2002Pulmonary tuberculosis disease up to present remains a serious public health problem, especially in developing countries. Indonesia is the third biggest country having tuberculosis after India and China, it was estimated that each year occur 583,000 new cases of lung tuberculosis with the death 140,000 sufferers.
The National tuberculosis program, smear sputum examination is an important part of the entire processes of pulmonary 'tuberculosis treatment. The objective of the sputum examination for follow up is to make the appropriateness of diagnoses, to measure the progress of the treatment and to determine the level of communication. Considering the problems were complex on the regularity of sputum examination for follow up, it is encourage the writer to determine what factors related to in-obedience of the sputum examination for follow up.
The objective of this study is to determine the relationship of some factors of in-obedience of check the sputum at the end of intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment in Sukabumi, in 2002. The study design was control cases, with the population are the pulmonary tuberculosis patient?s age ≥ 15 years who have had their treatment at the entire of the Health Centers of Sukabumi City. The tools of data collection were TB 01 treatment card and questionnaires. The total samples was 144 patients, covering of 72-cases group and 72-control' group. Cases are those of 15 years old or over who have not examined their sputum for follow up. Controls are those of 15 years old or over who have their sputum examined for follow up.
The result of bivariate analysis of 12 independent variables with dependent variables, shown that four variables having significant relationship (p < 0.05). The variable that related to in-obedience of checking the sputum at the end of the intensive phase of pulmonary tuberculosis treatment were education (OR = 5, 58; p = 0,000), attitude (OR = 2, 25; p = 0,018), marital status (OR = 2, 31; p = 0,020), and type of the Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2, 50 and Self-implemented Health Center OR = 3, 99 with value p = 0,008).
The result of multivariate analysis using logistic regression enter method, out of 6 independent variables who became the candidate to be a model (p < 0,25), the fact that only three variables whom enter at the end of model, i.e. knowledge (OR = 8.46; p = 0,000), marital status (OR = 4.82; p = 0,001) and the type of Health Center (Microscopic Referral Health Center OR = 2.87, p = 0.014; Self-implemented Health Center OR = 6,09, p = 0,008; Satellite Health Center OR = 1.00, p = 0,006).
Based on this study, it is recommended to provide more intensive health education in order to improve the attitude and knowledge of the TB patients. Selection of PMO (treatment observer) is crucial. The PMO has to be supplied the pocket book on tuberculosis treatment. The book has to be simple but easy to understand. Besides that, the laboratory technician should give information to every TB patient that they should come to check the sputum for follow up the important of having sputum examination for follow up on routine base and on time has to be explained to the patients. Efforts to increase collaboration to the private sectors, the professionals and non government organization are encouraged."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10356
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrial
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah terhadap kejadian TB Paru BTA Positif di Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau tahun 2005. Janis penelitian bersifat kasus kontrol. Kasus adalah orang yang menderita TB Paru dengan BTA positif yang berumur > 15 tahun, sedangkan kontrol adalah tersangka penderita TB Paru (suspek) dengan hasil pemeriksaan sputum BTA negatif yang berumur > 15 tahun yang bertempat tinggal di wilayah Kota Batam. Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : 1 dengan jumlah sampel untuk kasus sebanyak 100 orang dan kontrol sebanyak 100 orang. Pada kasus dan kontrol dilakukan wawancara, observasi dan pengukuran kualitas lingkungan fisik rumah, karakteristik individu dan keadaan penghuni di rumah.
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara peneahayaan (OR=4,4), kelembaban udara (OR=3,6), luas ventilasi (OR=4,9), kepadatan hunian (OR=2,1) dan lama tinggal (OR=4,7) terhadap kejadian TBC Paru BTA positif di Kota Batam tahun 2005.
Simpulan menyatakan faktor dominan terhadap kejadian TB Paru BTA positif di Kota Batam tahun 2005 adalah pencahayaan, kelembaban udara, luas ventilasi, kepadatan hunian dan lama tinggal.

This research to know relation of house physical environmental factor toward fast acid positive tuberculosis case at Batam City Riau Archipelago Province 2005. Type of research is case control. Case is people who suffering fast acid positive tuberculosis case more than? 15 years old, while control were patients who suffering tuberculosis (suspect) with inspection result of sputum with fast acid negative tuberculosis case more than > 15 years old who residence at Batam. Comparison of case and control 1 : 1 with 100 cases and control each. The interview was held on both case and control, observation and measurement of house physical environmental quality, individual characteristic and situation of dweller at home.
Research result shows the existence of significant relation between illumination (OR=4,4), dampness of air (OR=3,6), wide of ventilation (OR=4,9), density of dwelling (OR=2,1) and long time of residence (OR=4,7) to fast acid positive tuberculosis case at Batam City Riau Archipelago Province 2005.
Dominant factors to fast acid positive tuberculosis case at Batam City Riau Archipelago Province.2005 are illumination, dampness of air, wide of ventilation, density of dwelling and long time of residence.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T19013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helda Suarni
"Penyakit tuberkulosis merupakan masalah global dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Bakteri Mycobacterium tuberculosis . WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini. Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Depok khususnya Kecamatan Pancoran Mas masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun 2009 di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan Pancoran Mas yaitu Puskesmas Pancoran Mas, Puskesmas Cipayung, Puskesmas Rangkapan Jaya dan Puskesmas Depok Jaya. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >= 15 tahun dan tercatat di buku register TB Paru. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor risiko lingkungan dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA Positif di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok bulan Oktober tahun 2008- April tahun 2009.
Faktor risiko lingkungan yang di teliti adalah kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah dengan memperhatikan karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, prilaku batuk dan kebiasaan merokok dari responden Metode yang digunakan adalah desain kasus kontrol dengan perbandingan 1:1 dengan 50 penderita TB Paru BTA positif sebagai kasus dan 50 penderita BTA negatif kontrol.
Hasil penelitian ini menunjukkan faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah ventilasi rumah (OR=14,182 CI=5,412-37,160 %), pencahayaan (OR =9,117 CI= 3,668- 22,658) sedangkan faktor risiko lain adalah perilaku tidak menutup mulut saat batuk (OR =12,310 CI=3,375-44,890). Sedangkan untuk suhu dan kelembaban walaupun secara statistik tidak menunjukkan hubungan tetapi rata-rata tidak memenuhi persyaratan rumah sehat ( suhu rata-rata 30,84ºC dan kelembaban rata-rata 70,38 %).
Untuk itu disarankan kepada masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan rumah, berperilaku hidup bersih dan sehat dan melakukan penghijaun di rumah. Untuk petugas puskesmas sebaiknya lebih meningkatkan lagi kegiatan di klinik sanitasi, melakukan kunjungan langsung kerumah penderita TB Paru dan tidak henti-hentinya memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Untuk Dinas Kesehatan Depok sebaiknya tidak hanya menekankan kepada pengobatan penderita tetapi juga lebih kepada pencegahan penyakit ini dan kepada Pemerintah Kota Depok sebaiknya lebih meningkatkan perencanaan program rumah sehat seperti perencanaan perbaikan rumah masyarakat yang tidak mampu khususnya bagi penderita TB Paru BTA (+) dan meningkatkan program pemberantasan penyakit menular."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sugiarto
"Tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit yang muncul sebagai pembunuh yang disebabkan oleh salah satu jenis kuman yaitu Mycrobucterium tuberculosis. Delapan juta penduduk dunia diperkirakan mengidap penyakit TB Paru dengan tingkat kematian penderita sekitar tiga juta orang (33,3 %). Penyakit ini 75 % menyerang kelompok usia produktif (15-50 tahun) dan kematian yang diakibatkannya merupakan 25 % dan seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah.
Indonesia pada tahun 1999 menempati peringkat ketiga sebagai negara yang jumlah penderita TB Paru terbanyak setelah India dan Cina. Peningkatan kasus tuberkuliosis, dari hasil beberapa penelitian yang teiah dilakukan selama ini, dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan fisik, karakteristik ,individu dan lingkungan sosial yang ada disekilar pemukinnan atau perumahan penduduk.
Di Kabupaten Bengkulu Utara telah dilaksanakan upaya penemuan kasus secara terus-menerus, upaya ini mampu menemukan suspek TB Paru. Tahun 2001 dari 1307 suspek, diperiksa 5,121 specimen dan ditemukan penderita BTA (+) sebanyak 220 orang. Periode bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2002, jumlah specimen diperiksa sebanyak 5.343 specimen dari 1.781 orang dan ditemukan BTA (+) sebanyak 261 orang, sedangkan periode tahun 2003 dari 1687 suspek dan 5.061 specimen yang diperiksa ditemukan 258 orang dengan BTA (+).
Penelitian ini menggunakan desain case control dengan menggunakan data primer dan sekunder, penelitian dilakukan di 16 (enam helas) Puskesmas wilayah Kabupeten Bengkulu yaitu Puskesmas Penimnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nearing, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa] Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, Karang Tinggi, Taba Penanjung dan Puskesmas Kembang Seri, Pengambilan sampel dilakukan dengan Cara random sederhana sebanyak 182 sampel yang terdiri dari 91 sampel kasus dan 9I sampel bukan kasus.
Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan tahapan analisis univariat, bivariat dan multivariate. Variabel independen dalam penelitian adalah karakteristik individu (usia, jenis'kelamin, kontak penderita, riwayat imunisasi, perilaku, status gizi), lingkungan fisik (ventilasi, suhu, pencahayaan, kclembaban), lingkungan social (kepadatan penghuni, pendidikan, pengetahuan, penghasi]an).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghuni rumah kebun yang pcrnah kontak dengan penderita TB paru BTA (+) mcmpunyai risiko 5,09 kali, status gizi yang kurang mempunyai risiko 2,26 kali, kelembaban tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3,56 kali, kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 2,716 kali, tingkat pengetahuan tentang penyakit TBC yang kurang mempunyai risiko 2,37 kali untuk terkena TB paru BTA (+).
Saran yang dapat disampaikan, agar kegiatan program terkait di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara dapat melakukan penanganan masalah TB paru di rumah kebun ini melalui kegiatan pendataan dan pemetaan rumah kebun yang ada di tiap wilayah Puskesmas sehingga diperoleh gambaran populasi yang berisiko, penempatan fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan rumah kebun,. melakukan koordinasi program gizi, P2M dan kesehatan Iingkungan serta promosi kesehatan.

Pulmonary tuberculosis (TB) is a severe disease caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis. Around 8 million people suffer from pulmonary TB with a death rate of 3 million people (3,3 %). Approximately 75 % of the pulmonary TB cases occur in the productive age group (15-50 year old) and 23 % of deaths are actually preventable.
Indonesia in 1999 occupy the third rank as a country that have the most cases of pulmonary TB after India and China. From previous studies, there are several environmental factors that influence the increase of pulmonary TB cases, such as physical environment, individual characteristics, and the social environment surrounding the residences.
In north Bengkulu, continuous efforts have yielded new cases suspected as being pulmonary TB sufferer. In 200], out of 1,707 people suspected, 5,121 specimens were examined and those with BTA (+) were 220 people. During January to December 2002, there were 5,343 specimens examined from 1,78I people, end there were 261 of of those with BTA (+). In 2003, of of 1687 suspected, 5,061 specimens were examined and those with BTA (+) were 258 people.
Design of this studying case control study using primary an d secondary data, and was undertaken in 16 public health centers in Bengkulu district, namely Perumnas, Kota Arga Makmur, Air Lais, Air Bintunan, Lubuk Durian, Pekik Nyaring, Lubuk Pinang, Sebelat, Napa! Putih, Ketahun, D6 Ketahun, Karang Pulau, Kerkap, KarangTinggi, Taba Penanjung and Kembang Seri. Samples were collected using a sample random method, and there are 91 case 91 case samples and 91 control sample.
Hypothesis testing was done through univariate, bivariate. and multivariate analysis. Independent variables of this study include individual characteristics (age, sex, Ievel of education, knowledge, contact with TB sufferer, history of immunization, behavior, and nutritional status), physical environment (ventilation, temperature, the amount of light entering the house, and humidity), and social environment (density of house occupants, and income).
The result of the study show that occupant of plantation house that have had contact with a pulmonary TB BTA (-i) sufferer are 5.09 times more likely to suffer from pulmonary TB BTA (t]. There are risks 2,26 times more for those with poor nutritional status, 3.56 times for poor humadity, 2.72 times for high density of occupants, and 237 times for a lack of knowledge about pulmonary TB.
Recommendations that can be derived from this study are the implementation of programs by the district health service of North Bengkulu that include data recording of plantation houses in the areas around various public health centers, thus enabling the District Health Service to determine the population at risk for pulmonary TB. as well as building several several health service facilities that can be easily accessed from the plantation houses, coordinating programs on nutrition, control of infectious diseases, environment health and health promotion.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T12916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eulis Wulantari
"Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan suatu pengobatan yang telah dicapai adalah dengan melihat angka konversi pemeriksaan dahak setelah 2 bulan pengobatan (fase awal). Tingginya angka konversi diharapkan akan diikuti oleh tingginya angka kesembuhan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol berpadanan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Population target dari penelitian ini adalah 46 puskesmas dari 101 puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor, dengan jumlah sampel penelitian terdiri dari 50 kasus dan 100 kontrol.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keteraturan berobat dengan kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal pada penderita TB Paru BTA positif. Variabel independen adalah keteraturan berobat sebagai variabel utama, dan variabel lain yaitu umur, jenis kelamin, beratnya penyakit (lama batuk darah), penyakit komorbid (diabetes melitus, asma rematik artritis) dan vaksinasi BCG. Variabel dependen adalah kegagalan konversi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB paru BTA positif yang teratur berobat pada kasus adalah sebesar 44% dan yang teratur berobat pada kontrol adalah sebesar 89%. Keteraturan berobat dari lama batuk darah juga mempunyai hubungan yang signifikan terhadap kejadian kegagalan konversi setelah pengobatan pada fase awal. Setelah dikontrol dengan variabel lain, terbebas dari interaksi dan faktor konfounding maka model akhir dari kegagalan konversi setelah pengobatan fase awal adalah keteraturan berobat yang membetikan risiko sebesar 1/8 kali dibandingkan dengan penderita yang tidak teratur berobat.
Berdasarkan hasil penelitian, dianjurkan pada pelaksana program puskesmas untuk melakukan pemantauan makan obat dengan memotivasi penderita maupun dengan mengoptimalkan fungi pengawas makan obat (PMO). Disamping itu anamnese yang mendalam terhadap penderita diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya batuk darah dan lamanya batuk darah sebelum mendapat pengobatan.
Pada peneliti lain di sarankan untuk melakukan penelitian disain kohor dengan pemeriksaan laboratorium maupun radiologi. Sehingga informasi yang diperoleh berguna dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pengambil kebijakan penyelenggaraan program TB Paru.

Regular Treatment and Failure Occurrence Risk after Initial Treatment Phase At Pulmonal Tuberculosis in Bogor Distric from 1999 to 2001Failure after initial phase treatment acts as an indicator in analyzing the improvement of the treatment in the initial phase. Conversion rate is expected to be followed by cure rate.
The research is designed as a matched case control study, and the data collected in this thesis are primary and secondary data. The target population of this research is those covered by 46 Health Centers of 101 Health Centers spread all over Bogor District. The number of the eases participate in this study is fifty while the control is one hundred.
The purpose of this thesis is to examine the relationship between treatment regularity patient and the occurrence of conversion failure after initial treatment phase. The independent variable of this research is treatment regularity as the main variable, while age, sex, severity of decease (prolonged bleeding cough), comorbid diseases (diabetes mellitus, rheumatic arthritis, asthma) and BCG vaccination as potential confounding variable. The dependent variable is conversion failure after initial treatment phase.
The result of this research showed that patients who follow their treatment schedule regularly in the control group (89%) is higher than those in the case group (44%). Treatment regularity and prolonged bleeding cough are significantly related to conversion failure after initial treatment phase in pulmonary tuberculosis.
Adjusted to the related factors by analyzing the confounding factors and interaction between them, the fixed model consisted of treatment regularity as risk protector for conversion failure after initial treatment phase lowering the risk to118 time than patient without regular treatment.
Based on the result of this study, it is suggested to the public health center programmers to observe the treatment regularity by motivating the patient and optimalizing the function of the drug-taking controller. Beside that, the in-depth anamnesis to the patient is needed to detect possibility of the existing and the length of the bleeding cough before getting the treatment.
It is also recommended to another researcher to investigate this issue using cohort design and comprehensive research through laboratory examination and radiology observation, it is expected that all information found in the research may help the stakeholders to implement the policies related to the advancement of TB program."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Silviana
"Latar belakang: Penyakit TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis. Lebih dari 90% kasus TB Paru ditemukan di negara berkembang. Di Indonesia penyakit TB Paru masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Di Kabupaten Muaro Jambi jumlah penderita TB Paru pada tahun 2003 adalah 61.84 per 100.000 meningkat menjadi 106.16 per 100.000 penduduk pada tahun 2004. Peranan faktor lingkungan fisik dalam rumah menentukan penyebaran penyakit TB Paru, sehingga dalam penanggulangan TB Paru yang komprehensif harus melibatkan faktor lingkungan fisik dalam rumah. Pada tahun 2004, cakupan rumah sehat di Kabupaten Muaro Jambi hanya 36.9%, hal ini di duga memperbesar timbulnya penularan TB Paru.
Tujuan: Penelitian ini untuk melihat hubungan lingkungan fisik dalam rumah dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kabupaten Muaro Jambi tahun 2005.
Metode: Desain studi kasus kontrol dengan 95 kasus yang diambil dari penderita TB Paru BTA (+) dari 18 Puskesmas di wilayah Kabupaten Muaro Jambi dan 95 kontrol yang diambil dari tetangga kasus dengan BTA (-).
Hasil: Analisis multivariat lingkungan fisik dalam rumah yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) adalah: kelembaban rumah <40% atau >70% (OR:4,87;95%CI:1,58-15,04),ventilasi kamar <10% (OR:3,83 ; 95%C1:1,23-11,93), pencahayaan rumah <60 Iuks (OR;2,47;95%CI:0,55-11,16), ventilasi dapur <10% (OR:2,21;95% CI:0,8-6,13), ventilasi rumah <10% (OR:2,2;95% CI:0,63-7,81), dan pencahayaan kamar <60 Iuks (OR:1,61;95% CI:0,37-7).
Saran: Kerjasama lintas sektaral dalam penataan desain dan konstruksi rumah sehat bila ada penataan ulang serta penyuluhan mengenai rumah sehat.

Background: Pulmonary TB, is an infective-contagious disease caused by Mycobacterium Tuberculosis. More than 90% of global pulmonary TB cases occur in the developing countries. TB remains an important public health problem in Indonesia. The occurrence of pulmonary TB in Muaro Jambi District in the year of 2003 is 61,84 per 100.000 population and increased to 106,16 per 100.000 population in 2004. Physical Environment condition of the house is one factor that playing important role in Pulmonary TB spreading, especially the coverage of healthy housing in Muaro Jambi District only 36,9% in 2004.
Objectives: to investigate the relation between physical environment of the house with occurrence of pulmonary TB in Muaro Jambi District.
Methods: This case-control study design used 95 cases and 95 controls. Those respondents had been taken from 18 Primary Health Centers in Muaro Jambi District.
Results: Based on multivariate analysis housing conditions that influenced the risk of pulmonary TB are : the level of humidity of the house less than 40% or more than 70% (OR:4,87;95%Cl: 1,58-15,04), bedroom ventilation less than 10% (OR;3,83;95% CI:1,23-11,93), house with low level of light exposure / less than 60 luks (OR:2,47;95%CI:0,55-11,16), kitchen ventilation less than 10% (OR:2,21;95%CI:0,8-6,13), house ventilation less than 10% (OR:2,2;95%C1:0,63-7,81), and bedroom with low level of light exposure/less than 60 luks (OR:1,61;95% CI: 0,37-7).
Suggestion: TB control program in Muaro Jambi District should coordinates with other departments to improve housing designs and give health promotion activities about healthy house.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2006
T19113
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifatun Nisa Ath Thoriqoh
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi salah satu masalah kesehatan dan menjadi 10 besar penyebab kematian di dunia. Kota Jakarta Timur menjadi wilayah dengan jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak di DKI Jakarta pada tahun 2017 sebanyak 4.100 kasus. Faktor iklim, yang meliputi suhu, kelembaban dan curah hujan diketahui dapat mempengaruhi keberadaan bakteri M.tb untuk dapat hidup dengan optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi dan korelasi faktor iklim dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan desain studi ekologi berdasarkan waktu (time-trend study) dengan pendekatan spasial. Analisis data dilakukan dengan uji korelasi spearman dan analisis autokorelasi spasial dengan Moran’s I. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur tahun 2009-2018 sebanyak 257,5 kasus. Ada korelasi antara rata-rata suhu udara (p=0,005, r=0,255) dan kelembaban (p=0,005, r= -0,255) dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Jakarta Timur tahun 2009-2018. Ada autokorelasi spasial distribusi kasus TB paru BTA positif di Kota Jakarta Timur dengan distribusi kasus yang terjadi secara random (Moran’s I= 0,014; p= 0,247). Hasil penelitian menyarankan bahwa implementasi program pencegahan dan pengendalian TB paru dapat dilakukan terutama pada bulan Februari dan Juli, sehingga dapat mengantisipasi peningkatan kasus TB paru BTA positif 3 bulan setelahnya serta diperlukan perluasan wilayah ruang terbuka hijau sehingga dapat menciptakan kenyamanan dan menurunkan suhu serta meningkatkan kelembaban relatif di sekitarnya.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that still a health problem and become the top 10 cause of death in the world. East Jakarta is the region with the highest number of smear positive pulmonary TB cases in DKI Jakarta in 2017, which was 4,100 cases. Climatic factors, including temperature, humidity and rainfall can be known to influence M.tb bacteria to live optimally. This study aims to determine the distribution and correlate climatic factors with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta. This study used a time-trend study design with a spatial approach. Data analysis was carried out by using the Spearman correlation test and spatial autocorrelation analysis with Moran's I. The results showed the average number of positive smear pulmonary TB cases in East Jakarta City 2009-2018 are 257.5 cases. There is a correlation between the average air temperature (p = 0.005, r = 0.255) and humidity (p = 0.005, r = -0.255) with the number of smear positive pulmonary TB cases in East Jakarta in 2009-2018. There was a spatial autocorrelation of the distribution of smear positive pulmonary TB cases in the City of East Jakarta with a random distribution of cases (Moran's I = 0.014; p = 0.247). The results suggest that implementation of TB prevention and control programs can be carried out, especially in the February and July to anticipate the increasing cases of smear positive pulmonary TB 3 months afterwards and an expansion of the green open space is needed so that it can create comfort and reduce temperature and increase humidity surrounding.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjetjep Yudiana
"Penyakit tuberculosis (TB) dewasa ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) yang merupakan komitmen internasional. Namun demikian dalam pelaksanaannya masih ditemukan hambatan, misalnya masih tingginya kegagalan pengobatan sebagaimana yang dihadapi Kabupaten Bandung. Penderita dinyatakan gagal pengobatan apabila hasil pemeriksaan ulang dahak pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan dahaknya tetap positif. Sebaliknya apabila hasilnya negatif, dapat dinyatakan sembuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perilaku kepatuhan mengambil obat pada penderita TB paru BTA(+) dengan pengobatan kategori I terhadap kegagalan pengobatan dan pengaruh kovariat lainnya (persediaan obat anti tuberculosis, persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, penilaian responden terhadap pelayanan petugas, peranan pengawas menelan obat dan persepsi responden terhadap efek samping obat) terhadap kegagalan pengobatan di Kabupaten Bandung tahun 1999-2000.
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku kepatuhan mengambil obat menggunakan kartu pengobatan (TB.01), untuk mengukur kovariat lainnya menggunakan kuesioner, sedangkan untuk mengukur status gagal dan sembuh menggunakan data sekunder (TB 03) berdasarkan laporan hasil pemeriksaan laboratorium dari PPM dan PRM.
Jenis disain penelitian ini adalah studi kasus kontrol, dengan besar sampel berjumlah 266 responden terdiri dan 133 kasus (penderita yang dinyatakan gagal dalam pengobatannya) dan 133 kontrol (penderita yang dinyatakan sembuh). Baik kelompok kasus maupun kontrol diidentifikasi melalui pemeriksaan mikroskopis di puskesmas. Berdasarkan analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku kepatuhan mengambil obat setelah dikontrol oleh kovariat persepsi responden terhadap jarak rumah dengan Puskesmas, peranan PMO dan persepsi responden terhadap efek samping obat berpengaruh signifikan terhadap kegagalan pengobatan OR=7,422 (95% CI;4,034-13,657).
Guna meningkatkan upaya penanggulangan TB, penelitian ini menyarankan bahwa perlu mengoptimalkan kemampuan petugas kesehatan dalam memberikan motivasi kepada penderita, melibatkan lembaga yang terdekat dengan masyarakat misalnya RT/RW, mengoptimalkan peranan PMO, dan upaya khusus lainnya guna menemukan OAT yang dapat menekan sekecil mungkin risiko efek samping yang ditimbulkan oleh OAT.

Behavioral Analysis of Compliance of Pulmonary Tuberculosis Diseases with Bacterial Resistance (+) Patients to Take Drug with Medication Category I to the Medication Failure in Public Health Center Bandung Regency 1999-2000
Tuberculosis diseases (TB) today still represents the problem of health of society specially in developing countries include in Indonesia. To overcome the problem, government has conducted DOTS strategy (Directly Observed Treatment Short Course) representing international commitment However in its execution still found hindrances, for example still the high failure of medication as faced by Bandung regency.
The patients stated to be failed in medication if result of phlegm reexamining in one month before the end of medication or by the end of medication of his phlegm remains to be positive. On the contrary if its result to be negative, can be expressed to recover. The target of this research is to know behavioral influence of compliance of pulmonary tuberculosis diseases with acid bacterial resistance (+) patients to take drug with medication category I to the failure medication and other covariant influences (supply of anti tuberculosis, respondents perception to the distance of home to public health center, the respondents judge toward officer service, the role of supervisor to take the drug and respondent's perception to the drug side effects) to failure of medication in Bandung regency in 1999-2000.
Measuring instrument used to measure the compliance behavior to take drug using medication card (TB.01), to measure other covariate using questioner, while to measure failure and recover status to use secondary data (TB.03) pursuant to report result of assessment of laboratory from PPM and PRM.
The type design of this research is control case study, with the sample amount to 266 respondents consist of 133 cases (expressed patients failed in their medication) and 133 control (expressed patient recovered). Whether case group and control identified through microscopic assessment in public health center.
Pursuant to multivariate analysis with logistic regression shows that compliance behavior to take drug after controlled by respondent's perception covariate to the house distance with public health center, PMO role and respondent's perception to drug side effects have an significant effect to failure of medication OR =7,422 (95% CI: 4,034-13,657).
In order to improve TB handling effort, this research suggests that require to maximize the ability of health officer in giving motivation to patient involves closest institutes with society for example RT/RW, to maximize PMO role, and other special efforts in order to find OAT that could depress as small as possible of side effects risk generated by OAT."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supriyadi
"Penyakit TB Paru merupakan penyakit menular yang bersifat kronis dan memiliki dampak sosial yang cukup besar. Program penanggulangan penyakit TB Paru di Kota Banjarmasin dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse ) mulai dilaksanakan pada tahun 1996/1997. Penemuan penderita TB Paru BTA (+) sejak tahun 1997 - 2001 sebanyak 55, 264, 242, 311 dan 252 penderita.
Penelitian ini bertujuan mengetahui apakah ada hubungan antara kontak serumah dan faktor lain terhadap kejadian TB Paru BTA (+). Penelitian ini menggunakan disain cross sectional dan dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2003 di Kota Banjarmasin. Populasi pada penelitian ini adalah individu berumur 15 yang tinggal di Kota Banjarmasin, dengan jumlah total sampel sebanyak 300 sampel. Pengolahan data dengan program komputer dan analisis data menggunakan menggunkan uji statistik univariat, bivariat dan penentuan model melalui uji multivariat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian TB Paru yaitu : kontak serumah ( OR = 3,4 & pv = 0,01 ), status gizi ( OR = 3,7 & pv = 0,01 ), pencahayaan kamar tidur ( OR = 8,8 & p v = 0,00 ), ventilasi (OR = 12,0 & 0,00 ), kelembaban rumah ( OR = 17,5 & pv = 0,00 ) dan kelembaban tempat tidur (OR = 49,3 & pv = 0,00 ) . Dari hasil analisa multivariat ternyata didapat hanya tiga variabel yang berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+), yaitu : kontak dengan sumber penular serumah, status gizi dan ventilasi, sehingga di dapat model dari ke tiga variabel tersebut dengan interaksi.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara variabel kontak serumah, status gizi serta ventilasi dengan kejadian TB Paru BTA (+). Pada penelitian ini disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota untuk lebih mengintegrasikan program pemberantasan TB melalui kerjasama lintas sektor. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota untuk diadakannya penelitian lebih lanjut dengan disain lain yang lebih menunjukkan hubungan kausalitas antara faktor tersebut.
Daftar bacaan : 50 ( 1979 - 2002 )

Pulmonary tuberculosis is an infectious disease, which tends to become chronic and causing big social impact. Pulmonary tuberculosis control program using DOTS ( Directly Observed Treatment Short Course ) in Banjarmasin has commenced in 199611997. The number of pulmonary tuberculosis case from 1997 to 2001 was respectively 55, 264, 242, 311 and 252.
The objective of this research was to confirm correlation between house-hold contact and other factors with positive acid - fast bacilli ( + AFB ) pulmonary tuberculosis incidence,
The research was done in Banjarmasin using cross sectional design. Population is individual age of ≥ 15 years. Sample in this research are 300 sample, during January to March 2003. Data were processed with computer program and by statistical analysis univariate, bivariate and for quantitative modeling of multivariat using logistic regression.
The result showed that variables that significant correlated to pulmonary tuberculosis (+ AFF) house-hold contacts ( OR = 3.4 & pv = 0.01 ), nutrition status ( OR = 3.7 & pv = 0.01 ), bedroom lighting ( OR = 8.8 & pv = 0.00 ), ventilation (OR = I2.0 & pv = 0.00 ), relative humidity of house ( OR = 17.5 & pv = 0.00 ) and relative humidity of bedroom (OR = 49.3 & pv = 0.00 ). The result of the multivariate analysis reveals that only three of them were the significantly correlated to pulmonary tuberculosis (+AFP) that are : house-hold contacts, nutrition status and ventilation. So that the model of those variables can be determined with interaction.
In conclusions there are three variables that have correlation to pulmonary tuberculosis (+AFP), namely : house-hold contacts, nutrition status and ventilation. The study suggests the City Health Service should improve the control program of pulmonary tuberculosis by developing/ collaboration ship with other sector to reduce the medicine of tuberculosis. In addition, similar studies with other designs should be encouraged to determine the causality correlation between TB and its determinants.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>