Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116216 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Senny Tussytha
"Dalam perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai diupayakan perbaikan dan pembaharuan dalam beberapa sisi peraturan perpajakan yang pada dasarnya mengarah kepada tercapainya target pengamanan penerimaan Negara dari sektor pajak guna pembiayaan pembangunan. Dalam prakteknya, ternyata masih terdapat beberapa hambatan yang salah satunya adalah hambatan tercapainya pengamanan penerimaan Negara dalam hal pemungutan pajak yang dilakukan oleh Pemungut.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana mekanisme pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN? Apa dasar pemikiran diberlakukannya pemungutan PPN oleh Pemungut serta latar belakang pencabutan status Badan Pemungut PPN? Kendala-kendala apa yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak dalam mengawasi pelaporan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Badan Pemungut PPN? Apakah ada pengaruh antara pencabutan ketentuan Pemungutan PPN oleh Badan Pemungut PPN terhadap penerimaan Kantor Pelayanan Pajak?
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis yang dilakukan pada Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua sedangkan hasil penelitian yang diperoleh adalah mengingat bahwa status penunjukan Pemungut tersebut hanya didasarkan pada Keputusan Presiden, maka dalam perubahan UU PPN di tahun 1994 diatur kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut tersebut. Penetapan kewajiban pemungutan PPN oleh Pemungut sebagaimana diatur dalam UU PPN 1984 pada dasarnya menyimpang dari prinsip dasar PPN.
Sesuai dengan sifat Tidak Langsung dan PPN maka yang berlaku sebagai pemikul beban Pajak secara nyata adalah pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Sedangkan penanggung jawab atas pembayaran Pajak ke Kas Negara adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang bertindak selaku penjual BKP atau JKP.
Kewajiban Pemungut PPN adalah yaitu memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang atas penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan oleh PKP kepada mereka. Status Pemungut tersebut semula didasarkan pada pemikiran bahwa dengan adanya Pemungut diharapkan agar pemungut tersebut dapat menjadi perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan negara. Setelah beberapa tahun diberlakukan, belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terealisasinya penerimaan Negara. Berdasarkan hal tersebut pula, maka sejak Januari 2004 yang termasuk dalam kategori pemungut tersebut dibatasi dan diberlakukan mekanisme pemungutan PPN pada umumnya.
Langkah yang ditempuh Pemerintah dalam penghapusan status Pemungut PPN tersebut, didasarkan pada kenyataan dilapangan bahwa dengan adanya status Pemungut menimbulkan inefisiensi dan distorsi dalam kinerja petugas DJP. Hal itu terlihat dari kenyataan di lapangan saat itu bahwa dengan adanya pemungutan PPN oleh Pemungut mengakibatkan terjadinya pajak lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN yang tentunya mendorong Wajib Pajak tersebut untuk meminta restitusi atau pengembalian kepada Negara.
Timbulnya Pajak yang lebih dibayar bagi PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut Pajak adalah sebagai akibat perhitungan secara matematis dalam pelaporan Surat Pemberitahuan PPN. Dalam ketentuan Pasal 16 A UUU PPN 1984 diatur bahwa Pajak yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP kepada Pemungut PPN dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut. Hal itu mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran yang hams dipungut sendiri oleh PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN menjadi berkurang dan bila diperhitungkan dengan Pajak yang dapat diperhitungkan maka hal tersebut akan menimbulkan Pajak lebih dibayar. Atas kelebihan bayar tersebut, PKP dapat meminta pengembalian atas kelebihan bayar tersebut. Sebagai akibat dari permintaan pengembalian pajak lebih bayar tersebut tentunya berpengaruh terhadap kinerja DJP yang harus meneliti kebenaran proses pemberian restitusi tersebut sehingga menyita waktu dan tenaga pegawai pemerintah yang harus memberikan pelayanan dalam proses pengembalian kelebihan Pajak, dan tentunya secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerimaan Negara.
Setelah satu tahun diberlakukan pembatasan terhadap status pemungut sebagaimana dikemukakan di atas, sejak bulan Februari tahun 2005, status pemungut diberlakukan lagi dengan kriteria tertentu. Proses pelaporan dan penyetoran pajak atas transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan sehingga tujuan dari penunjukan Pemungut sebagai perpanjangan tangan Pemerintah yang berfungsi untuk mempercepat terrealisasinya penerimaan Negara dengan cepat dapat mencapai sasaran. Namun demikian, dalam praktek dilapangan banyak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditunjuk Pemerintah tidak memenuhi ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga belakangan disadari bahwa penunjukkan Pemungut untuk melakukan pemungutan PPN tersebut belum sepenuhnya benar-benar dapat membantu terrealisasinya penerimaan negara.

The second change of the value-added tax law rules improvement and renewal of taxation regulations in order to secure the state's income from tax to finance the development. In reality it's still found many obstacles.
The research question is how the mechanism of collecting value-added tax (VAT) by the collector is? What consideration is used to carry out the tax collecting by the collector and the background of the revocation of the tax collecting board's status? The tax service office's obstacles in watching the report and tax deposit. And finally to know the influence of the revocation of the tax collector's status toward the tax service office's income.
The research method is analytical description at the office of the second foreign capital investment tax service. The result of the research is the obligation of VAT collecting by the board that is arranged in the change of value-added tax law in 1994 reminding the status of the appointing collecting board based on the president's decision. The determination to oblige value-added tax collecting by the board deviates the basic principals of VAT.
As the value-added tax's indirect character, the tax burden lies in the buyers or the consumers of service. And the taxpayers are the entrepreneurs who sell goods and services. The obligation of the tax collector is collecting, deposing, and reporting owed tax. The early status of the tax collector board is the government's representation to quicken the state's income. Some years go by this board hasn't done much. For that reason its authority has been limited since January 2004 and the general mechanism on collecting the value-added tax has been carried out.
The government's revocation of the collector board's status was caused by the collector's inefficiency and distortion. It can be seen that the taxpayers pay more. This encourages them to ask for restitution from the state.
They have to pay tax more because of the mathematical counting. In the law of value-added tax 1984 article 16 says the collecting, deposing, reporting the owed tax by the collector's board. This results the lessening of tax paid and if it is counted it caused some surplus.
Such condition causes many problems, 1. Taxpayers ask restitution. 2. The tax official have to work hard in investigating the report of the asking for restitution, 3. Influence the state's income.
As it's stated before about the limitation of the collectors' status, the new one has been carried out since February 2005. The process of reporting and deposing tax of goods and services from taxpayers to the collector should be done according to the rules in order to increase and quicken the state's income. In fact it hasn't been done.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22063
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Jus Marsondang
"Era globalisasi melanda dunia, termasuk Indonesia, menyebabkan tidak dapat lagi membendung masuknya perusahaan konstruksi asing yang secara langsung menangani proyek-proyek konstruksi di Indonesia. Pengerjaan proyek konstruksi yang ditangani secara langsung oleh perusahaan kontruksi asing ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi cukup besar jumlahnya dan masih dapat ditingkatkan penerimaannya. Peningkatan penerimaan pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi secara optimal meliputi juga peraturan perpajakan yang memenuhi azas-azas perpajakan. Peraturan perpajakan yang balk adalah peraturan yang memenuhi azas-azas perpajakan. Menurut Adam Smith terdapat 4 azas-azas perpajakan, yaitu equity (keadilan), certainty (kepastian hukum), convenience of payment, dan economy in collection. Pokok permasalahan yang akan ditulis dalam tesis adalah berkenaan dengan pemenuhan azas-azas perpajakan keadilan dan kepastian hukum dalam peraturan perpajakan yang berlaku terhadap pengenaan pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi.
Tipe penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah deskriftif analitis, dan jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif. Penulis akan menguraikan mengenai pengertian-pengertian pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi serta perlakuan pengenaan pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi, dan akan diuraikan pendapat para ahli berkenaan dengan pengenaan pajak penghasilan atas BUT usaha jasa konstruksi. Sesudah mendeskripsikan berbagai hal yang relevan, selanjutnya penulis akan melakukan analisis atas data-data guna memecahkan pokok permasalahan yang diperoleh dalam penelitian. Pengumpulan data utama dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang merumuskan kebijakan perpajakan, Konsultan Pajak, dan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi. Penulis juga menggunakan questionnaire sebagai pecengkap data utama. Ketentuan perpajakan yang mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi yang berlaku mulai 01 Januari 1984 s.d. sekarang dapat dibagi dalam 3 periode; yaitu periode pertama mulai 01 Januari 1984 s.d. 31 Desember 1996 dikenakan ketentuan PPh Non-Final, periode kedua mulai 01 Januari 1997 s.d. 31 Desember 2000 dikenakan PPh Final, dan periode ketiga mulai 01 Januari 2001 s.d. sekarang dikenakan PPh Non-Final dengan tidak mengakui kompensasi kerugian terhadap penghasilan kena pajak 2001 dan seterusnya.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peraturan perpajakan yang berlaku dalam menghitung pajak atas penghasilan WP Badan BUT usaha jasa konstruksi dalam periode 01 Januari 1984 s.d. 31 Desember 1996 memenuhi azas keadilan dan kepastian hukum; periode 01 Januari 1997 s.d. 31 Desember 2000 memenuhi sebagian azas keadilan dan tidak memenuhi azas kepastian hukum; dan periode 01 Januari 2001 s.d. sekarang memenuhi sebagian azas keadilan dan tidak memenuhi azas kepastian hukum. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis menyarankan sebagai berikut :
1. mempertahankan definisi penghasilan yang terdapat dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh Nomor 7 tahun 1983, Nomor 7 tahun 1991, Nomor 10 tahun 1994, dan Nomor 17 tahun 2000;
2. membatalkan diberlakukannya ketentuan perpajakan PPh Final, yaitu Pasal 4 ayat (2) UU PPh Nomor 7 tahun 1983, Nomor 7 tahun 1991, Nomor 10 tahun 1994, dan Nomor 17 tahun 2000; Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1996 tanggal 20 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan; dan peraturan pelaksanaannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 7041KMKIKMK.0411996 tanggal 26 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-421PJ.0411996 tanggai 31 Desember 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan; dan digantikan dengan ketentuan perpajakan PPh Final ;
3. meninjau kembali (inencabut) pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor :
5591KMK.0412000 yang menyatakan kerugian fiskal tidak boleh
dikompensasikan dengan penghasilan kena pajak mulai masa 01 Januari
2001 dan seterusnya; dan
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-961PJ.12001 tanggal 07 Pebruari 2001 yang berlaku mulai 07 Pebruari 2001, dalam rangka memenuhi kepastian hukum, agar diberlakukan mulai 01 Januari 2001.

Globalization knock over world, including Indonesia, causing cannot against barricade entry of the foreign construction company which is directly handle project of construction in Indonesia. Workmanship of project of construction handled directly by company of this foreign construction can generate Permanent Establishment. Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income is big enough and it still can be raised. The raises of acceptance of income tax on Permanent Establishment Construction Services Company?s income cover also regulation of taxation fulfilling taxation principality. According to Adam Smith of there are 4 taxation principality, that is equity, certainty, convenience of payment, and economy in collection. Fundamental Problems to be written in this thesis is the accomplishment of principality of taxation of equity and certainty of law in regulation of taxation for calculating income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income.
Type of research used in this thesis Is analytical descriptive, and type of research used in this thesis is qualitative research. Writer will elaborate to hit congeniality of income lax on Permanent Establishment Construction Services Company's income and also treatment of imposition of income tax Permanent Establishment Construction Services Company's income, and will be described the opinion of all expert with reference to imposition of income tax Permanent Establishment Construction Services Company's income. Hereafter describe of relevant matters, hereinafter the writer will do analysis data that utilized to solve fundamental of problems obtained in research. Primary data is collected through circumstantial interview with functionary on Tax General Directorate that foal mutating taxation policy, Tax Consultant, and Permanent Establishment Construction Services Company. Writer also use questionnaire as supplementary of primary data. Taxation rule arranging about imposition of income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income start 01 Januari 1984 s.d. now can divided into 3 period : the first period start 01 January 1984 s.d. 31 December 1996 imposed by Non-Final Income Tax, second period start 01 January 1997 s.d. 31 December 2000 is imposed by Final Income Tax, and third period start 01 January 2001 s.d. is now imposed by Non-Final Income Tax with exception cannot loss compensate the loss to taxable income at 2001 and so on.
Result of research conclude that taxation regulation for calculating income tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income in period 01 January 1984 until 31 December 1996 is fulfilling equity and certainty principality; period 01 Januari 1997 until 31 December 2000 menu of some of justice principality and do not fulfill rule of certainty principality; and period 01 Januari 2001 until now menu of some of equity principality and do not fulfill certainty principality. Pursuant to the conclusion, writer suggests the following:
1. maintaining definition of Income which is there are in Article 4 (1) UU Income Tax Number 7 year 1983, Number 7 Year 1991, Number 10 year 1994, and Number 17 year 2000;
2. canceling the rule of taxation Final Income Tax, that is Governmental Regulation ()i number 73 year 1996 date of 20 December 1996 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services, and number : 7041KMKIKMK.0411996 date of 26 December 1996 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income, and Handbill of Tax General Director number : SE-421PJ.0411996 date 31 December 1995 about Income Tax on Permanent Establishment Construction Services Company's income; and replaced with ruie of taxation of Non Final Income Tax ;
3. revising ( abstracting ) aril clie 5 Finance Ministr ial Decree number : 559/KMK.04120G0 expressing fiscal loss may not compensated with taxable income in periode 01 Januari 2001 and so on ; and
4. Tax General Director Decision number : KEF-961PJ.12001 date 07 Pthruari 2001 going into effect to start 07 :'ebruari 2001, in order to fulfilling rule of law, is in order to gone into effect to by start 01 Januari 2001.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rochmat Soemitro
Bandung: Eresco, 1990
336.271 4 ROC p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Alun Trisambodo
"Penerimaan pajak memegang peranan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah menghilangkan fasilitas perpajakan yang tidak bermanfaat.
Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang menarik untuk dibahas adalah adanya penundaan penyetoran pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 Pemungut PPN diperbolehkan menyetorkan PPN yang dipungut 15 hari bulan berikutnya setelah pelunasan dilakukan. Penundaan ini menimbulkan pelanggaran atas Ketentuan Perpajakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002 untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Zaila Noor Afina
"Perkembangan model bisnis e-commerce yang pesat menciptakan potensi penerimaan pajak, namun dalam meregulasi ketentuannya merupakan tantangan tersendiri karena harus terus mengikuti perkembangan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor dalam desain kebijakan pajak pertambahan nilai atas transaksi pada social commerce dan strategi pemungutan pajak pertambahan nilai atas transaksi pada social commerce. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, serta teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu perlu mengatasi kendala pengelolaan data pelaku usaha beserta transaksinya pada social commerce, perlu mempertimbangkan efisiensi biaya pemajakan dengan meminimalkan biaya pemajakan, perlu mewujudkan keadilan dengan menyamaratakan ketentuan kewajiban perpajakan tiap bentuk platform social commerce ataupun platform lainnya, serta mempertimbangkan sistem pengawasan yang efisien karena saat ini masih manual melalui internal DJP. Langkah awal strategi pemungutan perlu memfokuskan untuk menciptakan sistem terintegerasi untuk memperoleh data pelaku usaha beserta transaksinya pada social commerce. Dibutuhkan ketentuan penegasan atau pedoman teknis terkait transaksi pada social commerce yang mengacu pada ketentuan existing dalam UU PPN, karena saat ini belum ada. Atas pengklasifikasian model bisnis dalam SE-62/PJ/2013, penyetoran data dalam PMK 210/PMK.010/2018, serta penunjukan pemungut dalam Pasal 32A UU HPP sudah memenuhi kemudahan administrasi tetapi hanya fokus pada marketplace, perlu dipertimbangkan untuk melibatkan social commerce. Dibentuknya aplikasi SONETA merupakan upaya untuk penyediaan data dan membantu pengawasan, namun belum terintegerasi.

The rapid development of e-commerce business model creates potential for new tax revenues, but regulating the provisions is a challenge in itself because it has to always go along with current developments. This study aims to analyse the considered factors in the design of value added tax policy on transactions in social commerce and the strategy for collecting value added tax on transactions in social commerce. The approach used in this study is qualitative with a descriptive research type, as well as data collection techniques in the form of in-depth interviews and literature studies. The results of this study indicate that there are several factors that need to be considered, such as the need to overcome difficulty to capture data of business actors and their transactions on social commerce, the need to consider the efficiency of taxation costs by minimizing taxation costs, the need to consider equity aspect by regulating the tax burden equally for each form of social commerce or other platforms, as well as considering an efficient monitoring system because currently it is still manual through internal DGT. The initial step of the collection strategy needs to focus on creating an integrated system to obtain data on business actors and their transactions on social commerce. Affirmation provisions or technical guidelines are needed regarding transactions on social commerce that refer to the existing provisions in the VAT Law, because currently they do not exist. Regarding the classification of business models in SE-62/PJ/2013, obligation on informing data in PMK 210/PMK.010/2018, and the appointment of a collector in Article 32A of the HPP Law has fulfilled ease of administration but only focuses on the marketplace, it is necessary to consider involving social commerce. The establishment of the SONETA application is an attempt to provide data and assist with supervision, but it has not been integrated."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Nazmi
"Penyelesaian restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tertunggak, sangat serius ditangani pemerintah, terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbagai upaya terus dilakukan dan dikembangkan, baik secara sistem, pola, maupun peraturan. Tujuannya agar proses penyelesaiannya dapat dipercepat tanpa menimbulkan masalah. DJP menerbitkan dua ketentuan baru terkait proses penyelesaian restitusi. Pertama, PER-122/PJ/2006 tentang Jangka Waktu Penyelesaian dan Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran PPN/PPnBM. Kedua, PER-124/PJ/2006 tentang Pelaksanaan Analisis Risiko dalam Rangka Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN Lebih Bayar. Hal menarik dalam aturan baru ini adalah ditetapkannya analisis risiko untuk setiap permohonan restitusi PPN. Output dari proses ini akan berakibat pada ruang lingkup maupun jangka waktu pemeriksaan yang akan dilakukan. Kenyataannya tidak semua Pemeriksa memanfaatkan analisis risiko tersebut. Adapun masalah pokok penelitian ini adalah bagaimana latar belakang dikeluarkannya kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak dalam proses pemeriksaan restitusi PPN yang berlaku saat ini? Bagaimana pemanfaatan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak oleh pemeriksa pajak dalam proses penyelesaian restitusi PPN?, dan bagaimana pengaruh analisis risiko Pengusaha Kena Pajak terhadap waktu penyelesaian pemeriksaan restitusi PPN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan latar belakang dikeluarkannya PER-124/PJ/2006 pada dasarnya untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 17B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Permasalahan seputar tertundanya proses penyelesaian restitusi PPN mendorong DJP untuk menetapkan suatu prosedur yang mampu mendeteksi ketidakbenaran pelaporan Wajib Pajak sekaligus menentukan tingkat prioritas penyelesaian restitusi. Kebijakan analisis risiko Pengusaha Kena Pajak diharapkan mampu mengakomodir kedua hal tersebut. Pemeriksa Pajak umumnya tidak menggunakan analisis risiko yang diatur dalam PER-124/PJ/2006 sebagai alat yang membantu pemeriksaan restitusi PPN, karena analisis risiko PKP terlalu bersifat umum dan sederhana serta tidak dapat menunjukkan indikasi pelanggaran Wajib Pajak. PER-124/PJ./2006 tidak memiliki pengaruh terhadap waktu penyelesaian restitusi PPN di KPP PMA Empat. Hal itu terbukti dari tidak adanya percepatan waktu penyelesaian restitusi antara sebelum dengan setelah diberlakukannya ketentuan tersebut. Saran yang disampaikan adalah ketentuan PER-124/PJ/2006 tidak diberlakukan lagi. Untuk mempercepat proses penyelesaian restitusi, ketentuan yang mengatur prosedur pemeriksaan restitusi dan ketentuan yang mengatur dokumen-dokumen pendukung restitusi harus segera diperbaharui. Ketentuan analisis risiko harus dapat mengukur tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, bukan berdasarkan salah satu jenis pajak seperti yang dianut saat ini. Penentuan risiko seharusnya tidak hanya mengandalkan data hasil pemeriksaan, akan tetapi melibatkan juga data eksternal yang disusun dalam bentuk database, dikelola secara professional dan selalu diperbaharui. Hasil pengolahan database dapat dimanfaatkan guna menentukan tingkat pelayanan yang seharusnya diberikan kepada Wajib Pajak.

The government, especially the Directorate General of Tax is seriously handling the settlement of arrears of VAT restitution. Numerous attempts are done and improved concerning the system, the model as well as the regulation. The purpose is to settle the process as quickly as possible without creating any problem. Directorate General of Tax issued two regulations which concern with the restitution settlement process. The first regulation, PER-122/PJ/2006, deals with the settlement timing and the system of VAT/ luxurious goods tax. The second regulation, PER-124/PJ./2006, deals with Risk Analysis implementation in Audit Framework towards Notification Letter regarding the SPT masa on VAT overpayment. The interesting part found about the regulations is the conduct of risk analysis for each restitution request. The output of the analysis will affect the audit scope as well as the timing. Unfortunately, not all auditors make good use of the risk analysis. The main problems discussed in this research are: What is the background of issuing the policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution, which is effective now? How do tax auditors make good use of risk analysis on Taxable Entrepreneurs in the process of VAT restitution settlement? And How does risk analysis on Taxable Entrepreneurs affect the time needed for examination of VAT restitution settlement? The research methodology applied is descriptive methodology with qualitative approach.
The research finding shows that the background of issuing the Directorate General of Tax regulation number PER-124/PJ./2006 is to implement what is stated in article 17B in Edict number 6 year 1983 begarding the General Rules and Conduct of Tax which has been amended several times. The last amendment is as in Edict number 16 year 2000. Issues concerning the delayed of restitution settlement process pushed Directorate General of Tax to implement a procedure to be able to detect dishonesty report of tax payers along with deciding priority level in settling the restitution. Policy of risk analysis on Taxable Entrepreneurs (PKP) in auditing hoped accommodate both condition. Auditor used to be not using analysis risk which has been arranged in PER-124/PJ/2006 as a tool to help the audit restitution on VAT, since analysis risk on Taxable Entrepreneurs (PKP) is too general and simple also can not show the failure of taxpayers. PER-124 does not affect the length of time needed for VAT settlement process at Tax Service Office for Foreign Capital Investment Four. It is proven by the absence of time acceleration regarding restitution settlement compared to the previous condition in which PER-124 was not implemented. Suggestion is the regulation of PER-124/PJ/2006 should not be implemented anymore. To speed up the restitution process, the regulation which set up the procedure of restitution process and the regulation which set up additional documents for restitution should be renewed. Criteria of risk analysis should be formulated to measure disobedience of taxpayers overall, not based on one kind of tax which is currently used. Decision on risk should not depend on record on tax audit results, however it should also consider the external records from data base which is professionally managed and up to date. Results of processed data base should be able to access and give benefits to the service quality given to the taxpayers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24610
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Untung Sukardji
"On value-added tax according to Indonesian laws and regulations"
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005
336.2 UNT p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>