Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Novi Kurnia
"Dari awal kelahirannya hingga fenomena kontemporer, pertumbuhan industri perfilman Indonesia mengalami pasang surut yang tiada henti. Penelitian ini tertarik membahas posisi dan resistensi industri perfilman nasional terhadap industri film dunia dan sudut pandang ekonomi politik yang dimodifikasi dengan penggunaan world-system theory. Mengingat sudah berpuluh tahun industri perfilman global dikuasai Amerika (Hollywood), kajian ini juga akan melihat aspek historisitas perfilman dunia. Selain itu, mengingat Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia yang industri perfilmannya terhegemoni Hollywood, penelitian ini juga melakukan komparasi terhadap industri perfilman India, Thailand, Singapura dan Korea. Untuk itu, sangat relevan jika peneliti mengungkap : Bagaimana karakteristik world film system yang menggiring pada dominasi Hollywood? Bagaimana proses akumulasi kapital terjadi dalam film dunia? Bagaimana relasi industri perfilman Indonesia sebagai periphery terhadap Hollywood sebagai core dibandingkan dengan industri film negara lain di Asia? Bagaimana perubahan kekuasaan dan kepentingan dalam industri perfilman Indonesia? Bagaimana perkembangan industri perfilman Indonesia merubah posisi core-periphery dalam industri film global?
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis dengan tipe penelitian kualitatif. Untuk pengumpulan data di lapangan digunakan tiga teknik : document analysis berupa buku, dokumen resmi, artikel jurnal cetak rnaupun intemet, hasil penelitian terdahulu dan artikel media massa; indepth¬interview dengan regulator perfilman, pekerja film dan pengamat pertilman; dan observasi. Data yang didapat kemudian dianalisa melalui analisa ekonomi politik kritis dengan varian konstruktivisme kerangka berpikir world-system theory.
Hasil temuan di lapangan menunjukkan bahwa industri perfilman global lebih banyak berkembang di Amerika terutama ketika Hollywood memasuki masa keemasan sistem studionya. Sejak itu teknologi maupun genre film dunia di negara
dunia ketiga termasuk Asia dipengaruhi oleh Hollywood. Meskipun begitu, kehadiran teknologi televisi yang diikuti perkembangan media global membuat industri pefilman dunia melakukan pertunangan dengan media lain. Tak heran jika kemudian dunia media global sejak 1990-an dikuasai oleh beberapa perusahaan besar (TNCs). Proses akumulasi kapital yang dilakukan perusahaan besar ini membuat struktur pasar industri film dunia bersifat oligopolic. Relasi yang muncul antara core (Hollywood) dengan negara Asia (periferi) adalah kecenderungan ketergantungan mereka terhadap supply film dari Hollywood. Ketergantungan ini sengaja di-maintain oleh pemain-pemain kuat Hollywood didukung oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional serta armada distribusi intemasional yang kuat.
Kuatnya dominasi Hollywood ini tak berarti akan menimbulkan respon dan resistensi yang sama dari negara-negara Asia lainnya. India menunjukkan keberhasilannya melakukan imitasi Hollywod dengan upaya plusnya menumbuhkan sense lokal dalam film-filmya. Thailand mulai maju ke pentas film dunia internasional dengan mengambil wilayah lain baik secara geografis maupun muatan teks film yang ditawarkan sekaligus bekerjasama dengan industri perfilman Hollywood. Singapura dengan sadar menempatkan industri perfilmannya yang masih kecil untuk terbuka terhadap dominasi Hollywood. Sementara Korea menerapkan strategi integratif untuk mengalahkan film Amerika dengan membuat film nasionalnya menguasai pasaran film Korea.
Sementara itu dalam industri perfilman Indonesia, tampak bahwa negara kurang responsif terhadap perkembangan film dunia. Regulasi film yang dibuat pada masa Orde Baru sudah tidak relevan dengan perkembangan konteks sosial politik pasca reformasi. Selain itu, belum ada upaya jelas menumbuhkan produksi film nasional sekaligus melakukan upaya resistensi terhadap gempuran film impor. Pasar film sendiri menunjukkan film nasional hares bersaing ketat dengan meluapnya film impor di pasaran, televisi dan pembajakan cakram VCD dan DVD. Meskipun begitu, langkah awal untuk menuju pertumbuhan status periferi perfilman Indonesia mulai muncul. Terdapat resistensi yang kuat dari segolongan sineas yang mempunyai background keilmuan film untuk memproduksi film yang berkualitas sekaligus memadukan dengan strategi pasar balk nasional maupun intemasional. Mereka menciptakan pasar dan penonton film baru sekaligus memasarkan film nasional melalui ajang-ajang festival intemasional. Hal yang sama juga dilakukan oleh para sineas film independen yang mempunyai pola produksi dan distribusi yang unik.
Kajian di atas menunjukkan bahwa penggunaan world system theory dalam analisis ekonomi politik secara teoritis memberikan sumbangan yang besar terutama dalam menunjukkan konteks makro industri perfilman nasional dalam tatanan film dunia. Di samping ini, perspektif ini juga memungkinkan penggunaan analisis historis materialis untuk melihat ke belakang pertumbuhan industri film nasional dan global yang mempengaruhi fenomena kontemporer industri perfilman Indonesia. Modifikasi world-system theory dan ekonomi politik media dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa cistern film dunia berikut struktur yang memuat relasi core-periphery bersifat dinamis yang tergantung dengan konteks waktu dan geografis. Respon serta resistensi industri film Indonesia dan negara-negara lain di Asia terhadap dominasi film Hollywood tidaklah bersifat sama. Oleh karena itu, sangat relevan jika pada kajian mendatang dilakukan analisis yang lebih mendalam dan mikro terhadap proses konsumsi ataupun resistensi melalui teks film dalam melihat pertumbuhan industri film nasional.
Sedangkan secara praktis, penelitian ini memberikan pemetaan terhadap permasalahan, tantangan dan prospek masa depan industri perfilman Indonesia yang tak hanya dilihat dari level nasional, melainkan juga global, nasional dan intemasional yang membutuhkan komitmen yang tinggi baik dari pemerintah, pekerja film dan khalayak untuk memanfaatkan momentum panting pertumbuhan film nasional era paska reformasi ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22615
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariobimo
"Di Indonesia perfilman dan industrinya diatur oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan, yang mempunyai bagian film dalam kementeriannya. Namun, pada skalanya tugas mereka adalah mengenai pengembangan dan pembelajaran film sebagai bagian dari budaya Indonesia dan bentuk dari pembelajaran seni. Namun, industri film sendiri, merupakan bagian dari bentuk perkembangan ekonomi baru yaitu ekonomi kreatif. Ekonomi kreatif merupakan ekonomi yang datang dalam industri kreatif, dan bidang perfilman diakui oleh United Nations Conference on Trade and Development sebagai salah satu industri yang paling utama dalam industri kreatif. Kedua kementerian ini memiliki kewenangan atas pengelolaan sumber daya manusia di bidang perifilman dengan adanya dasar hukum yang sah pada kedua kementerian. Hal ini dapat menimbulkan masalah adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan sumber daya manusia di bidang perfilman. Maka bisa dipertanyakan bagaimana seharusnya secara teori pengaturan dan pengelolaan kewenangan yang benar untuk sumber daya manusia dalam bidang perfilman dan bagaimana penerapannya dalam praktik yang mempunyai kewenangan lebih tinggi untuk mengatur pengelolaan sumber daya manusia dalam bidang perfilman.

In Indonesia, the film industry is regulated by the film department of the ministry of education and culture. On a larger scale, their task is to develop and learn film as a part of Indonesian culture and art education. Also, the film industry is a part of a new form of economic development known as the creative economy. The film industry is recognized by the United Nations Conference on Trade and Development as one of the primary industries in the creative industry, and the creative economy is an economy that comes from the creative industry. Both of these ministries have the authority over the management of human resources in the film industry in regards to the valid legal basis applied to the ministers. It may cause problems with overlapping authorities in the management of human resources in the film industry. So, the question is how should the correct regulation and management of authority for human resources in the film industry be used in theory, and how should it be done in practice by those with higher authority to regulate human resource management in the film industry."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintan Az Zahra
"Penelitian ini membahas tentang kemunculan film independen, khususnya film Prenjak. Film Prenjak adalah salah satu dari sekian banyak film independen yang tidak berada dalam lingkaran industri perfilman arus utama . Penelitian ini melihat tentang apa yang melatarbelakangi kemunculan film Prenjak, bagaimana cara film Prenjak bertahan di luar arus utama, dan apa saja pencapaian yang sudah diperoleh film Prenjak sejauh ini. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa film Prenjak muncul sebagai respon dari agen dalam Teori Strukturasi Giddens terhadap kondisi Cultural Industries di perfilman Indonesia. Kemudian film Prenjak dapat bertahan karena adanya dukungan dari beberapa pihak dank arena film Prenjak memang sudah memiliki pasar, baik di dalam maupun di luar negeri. Penelitian ini juga menjabarkan bahwa film Prenjak berhasil mendapatkan banyak penghargaan di festival film internasional dan nasional.

This study discusses about the emersion of independent films, especially Prenjak movie. Prenjak is one of so many independent films which is not inside the circle of film industry mainstream. This study sees what is the background of the emersion of Prenjak, how Prenjak survive outside the industry, and what are the achievements of Prenjak so far. This study uses constructionism paradigm and qualitative approach with case study as its strategy.
This study shows that Prenjak emerses as a response from agent on Giddens Structuration Theory to Cultural Industries in Indonesian film industry. Also, Prenjak can survive outside the industry because of the support from some parties and also, Prenjak already has markets, both at home and abroad. Lastly, Prenjak has received many awards until now from both international and national film festivals.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marcia Audita
"Festival Film Indonesia FFI merupakan sebuah kompetisi antar insan perfilman sebagai wujud apresiasi bangsa kepada para pekerja film dalam rangka membangkitkan sinema Indonesia. Pelaksanaan FFI sempat mengalami masa kekosongan selama lebih dari satu dasawarsa di tahun 1993 mdash;2003. Berakhirnya masa tugas Panitia Tetap FFI serta tingkat penurunan kuantitas dan kualitas film Indonesia telah memengaruhi arus peredaran film dalam hal produksi, distribusi dan eksibisi hingga menjelang era awal masa reformasi. Masa kekosongan tersebut rupanya diisi oleh aktivitas para sineas muda yang mulai berusaha untuk kembali membangitkan produksi perfilman nasional. Keberhasilan para sineas muda dalam mengembalikan penonton Indonesia mendorong FFI untuk hadir kembali di tahun 2004 dengan puncak jumlah produksi film serta prestasi internasional diraih di tahun 2005. Pada akhirnya skripsi ini membuktikan bahwa masa kekosongan berkepanjangan FFI rupanya tidak menyurutkan dan memengaruhi para sineas untuk terus berkarya membangkitkan kembali industri perfilman nasional yang sempat merosot. Skripsi ini menggunakan pendekatan desktiptif naratif melalui 4 tahapan metode sejarah: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi.

This thesis discusses about the revival of the national film industry in the middle of the emptiness Indonesian Film Festival 1993 mdash 2005. Indonesian Film Festival FFI is a competition between film makers as an appreciation of the nation to film workers in order to raise Indonesian cinema. Implementation of the FFI had experienced a period of vacancy during a decade in the years 1993 mdash 2003. The Expiration of the Standing Committee of FFI and the rate of decline in the quantity and quality of Indonesian films have affected the flow of circulation of the film in terms of production, distribution and exhibition of up ahead of the beginning of the reform era. The vacancy period apparently filled by the activities of the young filmmakers who began trying to re generating national film production. The succeded of the young filmmakers in the audience restore Indonesia encouraged FFI to be present again in 2004 and the peak in the number of international film production and performance achieved in 2005. At the end of this thesis proves that the prolonged vacancy of FFI apparently did not discourage and affect filmmakers to revive the national film industry which had declined before. This thesis uses descriptive narrative approach through 4 stages of the historical method heuristic, verification, interpretation and historiography."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S63558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Armijn
Jakarta: Badan Musjawaratan Kebudayaan Nasional, 1953
791.430 ARM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Armijn
"Buku ini berisi tentang produksi cerita film di Indonesia karya Armijn Pane. Menurut Armijn Pane, film bukan hanya suatu hasil kesenian melainkan juga menjadi hasil suatu industri ..."
Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1953
K 384.8 ARM p
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad M. Ramli
Bogor: Ghalia Indonesia , 2005
346.048 2 AHM f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Laksana Fitrah
"Saat ini industri perfilman Indonesia masih fokus pada genre drama komedi, horor dan cinta. Setiap tahun film-film ini diproduksi lebih banyak daripada film-film Indonesia dengan genre lain. Di sisi lain, ada film-film Islami yang lebih memberikan keuntungan dan penjualan yang tinggi, bahkan memecahkan rekor box office film Indonesia seperti film Ayat-Ayat Cinta yang mencapai lebih dari 3 juta penonton. Apalagi film islami tidak hanya bertujuan untuk menghibur atau mendulang keuntungan, tetapi sebagai wadah dakwah kreatif yang tidak menggurui. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi film Islami dalam industri perfilman Indonesia berdasarkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menonton film Islami. Faktor-faktor tersebut adalah People, Script, Price, Promotion, Distribution, Word of Mouth (WOM), Attendence, Religiosity, dan Purchase Intention. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada industri perfilman untuk memperluas diversifikasi genre film Indonesia khususnya film. Islam dan meningkatkan kualitas perfilman Indonesia

Currently the Indonesian film industry still focuses on the comedy, horror and love drama genres. Each year, more of these films are produced than Indonesian films of other genres. On the other hand, there are Islamic films that provide more profit and high sales, even breaking box office records for Indonesian films such as the film Ayat-Ayat Cinta which reached more than 3 million viewers. Moreover, Islamic films are not only intended to entertain or gain profit, but as a place for creative da'wah that is not patronizing. Therefore, this study aims to see the potential of Islamic films in the Indonesian film industry based on factors that can influence people to watch Islamic films. These factors are People, Script, Price, Promotion, Distribution, Word of Mouth (WOM), Attendence, Religiosity, and Purchase Intention. It is hoped that the results of this study can provide recommendations to the film industry to expand the diversification of Indonesian film genres, especially films. Islam and improve the quality of Indonesian cinema"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adissa Rebecca
"Skripsi ini membahas kekuatan persaingan di dalam industri bioskop sinepleks di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan desain analisis deskriptif, dengan mengaplikasikan teori dan model Five Porter Forces. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya ancaman pemain baru, kekuatan pembeli, ancaman barang substitusi, dan persaingan antarperusahaan dalam industri bioskop. Kekuatan pemasok dalam industri ini juga cenderung rendah. Struktur industri bioskop seperti yang digambarkan dalam lima kekuatan model Porter Five Forces ini menunjukkan rendahnya kekuatan persaingan dalam industri bioskop.

This thesis discusses the forces of competition in the cinema industry in Indonesia. This research uses qualitative method and descriptive analysis design, by applying the theory and model of Five Porter Forces. The results show the low threat of new entrants, buyer power, threats of substitutes, and rivalry among existing competitors in the cinema industry. The power of suppliers in this industry is relatively low too. The cinema industry structure as illustrated in the Porter Five Forces shows the low level of competition in the cinema industry."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwa Maulana
"ABSTRAK
Di samping mendatangkan berbagai manfaat pada segala macam bidang, globalisasi juga berperan dalam menegakkan hegemoni Barat atas ?yang lain?. Melalui film-film produksinya, Hollywood mampu menjejalkan penggambaran yang kerap kali keliru mengenai bangsa atau ras tertentu kepada masyarakat umum demi memelihara kepentingan Amerika Serikat. Menggunakan metode analisis diskursus, penelitian ini berusaha membongkar penggambaran keliru yang terdapat dalam lima film produksi Hollywood. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa representasi di dalam kelima film dan hegemoni membentuk sebuah siklus atau lingkaran. Penelitian ini merupakan sebuah upaya dekonstruksi dari sebuah konstruksi (kelima film) yang merugikan.

ABSTRACT
n addition to bring a range of benefits in all sectors, globalization also has a role in upholding western hegemony over the others. Through their films production, Hollywood is able to cram the delineation about nation or a particular race to the public which is often mischaracterized in order to preserve the interests of the United States. Using the method of discourse analysis, this research tried to dismantle misrepresentations that contained in five Hollywood films. The result of this research indicated that the representations in five films and hegemony form a cycle or circle. This study is an effort of deconstruction of a adverse construction (of five movies).
"
2016
S64750
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>