Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 167321 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Supriyono B. Sumbogo
"Indonesia is dangerous country to journalist. Vertical and horizontal conflict which still happened in this state bring to comer journalist. Defeated Daily journalist of Bernas daily from Yogyakarta, Udin, before reform era in year 1996, civil war ini Timor East October 1999 or defeated RCTI Ersa Siregar journalist in Aceh, becoming black sheet in Indonesia journalistic world.
Attendance of Undang-Undang Nomor.40/1999 Tentang Pers, which for example meant to arrange mechanism of solving of dispute between mass media with source of news, do not have spur. Source of more opting news go through band punish as according to Criminal Code (KUHP) or Civil Code (KUHPerdata) with accusation denigrated, affronting, or harming materially. Source of news may even exist which play judge alone, than using rights answer or have recourse Council Mass media to finish case Though, rights answer and mediasi by Council Mass media more suggested by Law Mass media. But the source of news which feel getting disadvantage by news usually assume usage of insufficient answer rights to indemnify or cure good name.
Biggest threat is society which not yet ready to or not yet comprehended liberty of the press. Because, to come the envisioned democratic atmosphere is not easy. Various aspiration and importance each other impinging bearing hardness network in the middle of society, both for conducted by police, military, functioner, or mass premanisme actions, what it is true have been started since before reform spandrel opened. At reform era, threat of a kind come from individual, including state officer, and society group in is multifarious of pressure form or hardness to media and journalist.
Alliance Journalist Indonesia (AJI) indicate that at period 1 January till 15 May 2000 happened 43 hardness case to journalist, both for conducted by society, police, military, or governmental functionaly. Koalisi Antikekerasan note even also do not far differ from AJI note. At least in range of time 365 day commencing from 3 May 2000 up to 3 May 2001 have happened 118 wounded case of liberty of the press.
Asian Note South East of Press Alliance ( SEAPA) mention that in the year 2000 hardness case to tired journalist of number 147 case, year 2001 going down to become 97 case, and go down again become 72 case in the year 2002, and in the early July 2003 only 54 case along the happening of military conflict in Nanggroe Acheh Darussalam ( NAD). Whereas, AJI note happened 27 violences to journalist in the year 2004. For the year of 2005 there is no data which can be made guidance. But, hardness to mass media remain to happen in a number of place.
On the contrary, Indonesia mass media even also like to fish guest speaker dander. Moment resource person answer " comment no", for example, this words interpreted as confession and approval. Method journalistic demand to be mass media report on by fair, cover both sides, well-balancedly, and fair and continue to side wide of importance, is frequently disregarded. Scorpion happened various riot action, violence, and badness, mass media is even also alleged as hardness agent. Thereby, mass media not merely as hardness victim, good hardness physical and also non physical, but also act as hardness perpetrator."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asma Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana menghalangi hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan. Beberapa hal yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah ruang lingkup Pasal 18 ayat ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap wartawan, dan penerapan pasal tersebut dalam putusan hakim atas kasus kekerasan terhadap wartawan. Selanjutnya pembahasan dilengkapi dengan rekomendasi mengenai bagaimana seharusnya penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dan dilengkapi dengan wawancara narasumber yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis.
Dari penelitian ini, diperoleh kesimpulan bahwa dalam yang termasuk lingkup Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah segala tindakan yang berakibat pada terhalangnya hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan atau informasi, termasuk di dalamnya kekerasan terhadap wartawan pada saat proses peliputan. Dalam penerapannya, belum ada kesamaan penafsiran dari aparat penegak hukum mengenai lingkup pasal ini sehingga variasi penggunaan peraturan antara KUHP dan UU Pers masih banyak terjadi. Untuk mengatasi kasus kekerasan terhadap wartawan perlu ditingkatkan kesadaran atas pentingnya kebebasan pers pada seluruh kalangan.

This thesis discusses about the criminal act of violating journalists’ rights to seek for, gain, and spread ideas or information as ruled in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists. Several points to be discussed in this study include the scope of in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 in its association with violence against journalists, as well as its implementation on judges’ decisions on the cases of violence against journalists. The discussion is enriched with the recommendations for solving the cases of violence against journalists in Indonesia. The study uses literature review added by juridical-normative interviews with a qualitative approach that results in descriptive-analytical data.
This study concludes that those which are included in Article 18 Sub. (1) Pres Act 1999 are any acts that creates barriers for press rights to seek for, gain, and spread knowledge or information, inclusive of violence against journalists during the process of news-gathering. There is still no mutual commentary among law-enforcing institutions about the scope of this article; therefore, there are differences among criminal code (KUHP) and press act in terms of its usage. The awareness of the importance of freedom of press needs to be increased in order to solve the cases of violence against journalists.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61502
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius P.S. Wibowo
"Pekerjaan penerbitan pers merupakan pekerjaan yang bersifat kolektif, artinya melibatkan beberapa orang, yaitu pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, wartawan, penulis, pencetak, dan penerbit. Dalam kaitannya dengan sifat kolektif dari pekerjaan tersebut, timbul permasalahan tentang siapa yang harus bertanggungjawab secara hukum apabila pers memuat suatu tulisan atau menurunkan suatu berita yang sifatnya dapat sebagai tindak pidana. Menurut KUHP, dalam hal demikian maka beberapa orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana secara bersama-sama. Untuk menentukan hukuman masing-masing peserta harus dilihat lebih dahulu sejauh mana peranan masing-masing perserta dalam tindak pidana yang terjadi. Berbeda dengan KUHP, menurut UU Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 04 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982 (UU Pokok Pers), dalam hal terjadi tindak pidana pers, yang dipertanggungjawabkan secara pidana cukup satu orang saja, yaitu pemimpin redaksi atau redaktur atau wartawan atau penulisnya sendiri. Pertanggungjawaban pidana demikian disebut waterfall system, sebab seseorang dapat mengalihkan pertanggungjawaban tersebut kepada orang lain. Undang-undang pers yang baru, yaitu UU Nomor 40 Tahun 1999, meskipun telah secara tegas menyatakan tidak berlaku lagi UU Pokok Pers, dalam prakteknya undang-undang tersebut masih dipergunakan. Melalui UU Nomor 40 tahun 1999 tersebut, dibuka kemungkinan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap insan pers (pemimpin redaksi, redaksi, wartawan, dan lain-lainnya) sekaligus terhadap perusahaan persnya. Pertanggungjawaban pidana perusahaan pers ini, tidak dikenal di dalam UU Pokok Pers. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
T36500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauziah Nur Izzati
"Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih banyak terjadi meskipun sudah 25 tahun berlalu sejak reformasi. Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia muncul sebagai akibat kegagalan negara dalam melindungi jurnalis dan pers. Tugas karya akhir ini mencoba mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan melihat unsur dari kejahatan negara dan viktimologi kritis. Penulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan sumber data yang diambil dari data sekunder lembaga terpercaya jurnalistik Indonesia yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Melalui teori viktimologi kritis dan konsep kejahatan negara, tindak kekerasan terhadap jurnalis dapat dilihat terjadi atas negara yang tidak memenuhi peranannya dalam melindungi jurnalis dan pers, mengakibatkan munculnya pelanggaran kemerdekaan pers.

There are still many cases of violence against journalists in Indonesia, even though it has been 25 years since the reform era. Cases of violence against journalists in Indonesia arose as a result of the state's failure to protect journalists and the press. This final project tries to describe the problem by looking at the elements of state crime and critical victimology. This writing uses qualitative research methods, with data sources taken from secondary data from a trusted Indonesian journalistic institution, namely the Alliance of Independent Journalists (AJI). Through the theory of critical victimology and the concept of state crime, acts of violence against journalists can be seen as occurring against the state which does not fulfill its role in protecting journalists and the press, resulting in violations of press freedom."
2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Permana Amri
"Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya.

The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rr. Yuliawiranti S.
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Mengenai pengertian "kemerdekaan pers" itu sendiri di dunia terdapat bermacam-macam konsep dan persepsi yang berbeda, tergantung dari latar belakang, sistem sosial dan sistem politik, serta filsafat yang mendasarinya. Bahwa pelaksanaan kemerdekaan pers di Indonesia yang merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia adalah pelaksanaan yang bersifat partikularistik relatif artinya bahwa pelaksanaan hak asasi manusia dalam konteks kemerdekaan pers ini pemberlakuannya harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, jadi bukan pelaksanaan yang tidak terbatas tetapi pelaksanaan yang bebas bertanggung jawab. Karena terdapat rambu-rambu yang harus ditaati yang membatasi kemerdekaan pers itu sendiri. Rambu-rambu itu adalah pasal 28J Amandemen kedua UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Jurnalistik. Perkembangan kemerdekaan pers di Indonesia pasca berlakunya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Amandemen UUD 1945 masih belum maksimal karena selama kurun waktu dua tahun terakhir kemerdekaan pers di Indonesia mengalami kemunduran citranya di mata dunia internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aldila Puspa Kemala
"Disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelecehan seksual membuka peluang dipidananya pelaku-pelaku pelecehan seksual, sehingga timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual, apa saja perbedaan pengaturannya bagaimana pengertian pelecehan seksual sebagai suatu tindak pidana, bagaimana pengaturan terhadap tindak pidana pelecehan seksual dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapan hukum kasus pelecehan seksual berdasarkan putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian normatf menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan analisa putusan (decision analysis). Diketahui bahwa pengertian pelecehan seksual menurut instrumen Hukum Internasional dan di Berbagai Negara di Asia Tenggara secara garis besar memiliki persamaan, kemudian Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual belum terdapat peraturan Perundang-Undangan yang spesifik mengatur tentang pelecehan seksual dan setelah Undang-Undang tersebut disahkan merupakan solusi dari permasalahan tersebut untuk mengakomodir kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia.

The passing of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence in which there are arrangements regarding sexual harassment opens opportunities for perpetrators of sexual harassment to be prosecuted, so the question arises what is meant by sexual harassment, what are the differences in regulations, what is the meaning of sexual harassment as a criminal acts, how to regulate criminal acts of sexual harassment in Indonesian laws and regulations and how to enforce the law on sexual harassment cases based on court decisions in Indonesia that have permanent legal force before and after Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence was passed . In this study using normative research methods using a statute approach and decision analysis. It is known that the definition of sexual harassment according to international legal instruments and in various countries in Southeast Asia is broadly similar, then before the enactment of Law Number 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence there were no statutory regulations that specifically regulate sexual harassment and after the Law was passed, it was a solution to this problem to accommodate cases of sexual harassment that occurred in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Alfredo
"Dalam kehidupan dunia mode rn d an serba kompleks, masyarakat memili ki kebutuhan a kan i n formasi yang sangat tinggi mengingat informasi merupakan media untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, hiburan dan bahkan sebagai kontrol sosial bagi masyarakat. Bagi bidang usaha pers yang bergerak dalam kegiatan jurnalistik, penyajian suatu informasi dalam bentuk berita seringkali menjadi masalah, manakala penulisan dan pemuatan berita ternyata dirasakan merugikan suatu pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan hukum khususnya dalam hal penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Adapun penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik inilah yang kadangkala sulit untuk dibuktikan oleh karena tidak terdapat maksud yang jelas dengan definisi dari penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik dalam Undang-undang Hukum Perdata. Hal ini menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan para sarjana hukum sehinga pada akhirnya hakim sendirilah yang akan menentukan batasan tertentu dalam praktek pengadilan mengenai penghinaan atau pencemaran kehormatan dan nama baik. Dalam dunia pers sendiri, adanya suatu undang-undang tentang pers dan kode etik jurnalistik sebenarnya telah menjadi suatu rambu-rambu bagi para pelaku bidang jurnalistik agar dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik tidak melakukan pemberitaan yang bersifat menghina atau melanggar hukum. Sehubungan dengan pemuatan suatu berta yang bersifat menghina atau mencemarkan nama baik terdapat beberapa cara penyelesaian, baik melalui media hak jawab terhadap suatu berita, penyelesaian melalui Dewan Pers maupun melalui proses peradilan, baik pidana maupun perdata."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>