Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176167 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kunto Wibisono
"Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang PERTAMINA, dimana dinyatakan bahwa Negara memberikan kuasa pertambangan secara penuh dan mutlak kepada suatu Perusahaan Negara yang didirikan dengan undang-¬undang.
PERTAMINA sebagai pelaksana kuasa pertambangan migas Negara, berdasarkan Pasal 12 UU No. 811971 melakukan kerjasama dengan kontraktor dalam bentuk "Kontrak Production Sharing"; selain itu pada wilayah kerja pertambangan yang dikelola juga melakukan kegiatan operasi sendiri serta melakukan kontrak kerjasama dengan model Kontrak Production Sharing yang salah satunya dalam bentuk Technical Assistance Contract (TAC).
UU No. 2212001 tentang Minyak dan Gas Bumi dengan peraturan pelaksaan nya PP No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta PP No. 3512004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, mengalihkan pelaksanaan kuasa pertambangan kepada BP Migas, dan selanjutnya PERTAMINA fokus hanya sebagai pengusaha dibidang energi berubah menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) yang diwajibkan untuk mengadakan kontrak kerja sama dengan BPMIGAS untuk kontrak wilayah kerja pertambangan yang telah ada.Berdasarkan UU No. 2212001 tersebut BPMIGAS berperan sebagai Manajemen Kontrak baik bagi KPS maupun PT PERTAMINA (PERSERO) sebagai operator kontrak.
Sesuai dengan Ketentuan Pengalihan yang diatur pada Pasal 104, PP No. 35/2004 peran manajemen kontrak TAC adalah PT PERTAMINA (PERSERO) Direktorat Hulu yang juga dibawah kendali manajemen kontrak BPMIGAS, hal ini dapat diartikan bahwa dalam manajemen kontrak TAC berdasarkan UU No. 22/2001 tidak sesuai lagi karena terdapat super manajemen yaitu BPMIGAS. Diperlukan pengaturan-pengaturan dan kesepakatan lebih lanjut dari Pemerintah, BP Migas dan PT PERTAMINA (PERSERO) agar ada kepastian hukum kontrak TAC sebagai dasar untuk mengadakan perubahan/amandemen agar sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Sabrina Putri
"Skripsi ini membahas mengenai proses peralihan TAC menjadi PSC. Proses peralihan ini dimulai dari permintaan Exxon untuk melakukan perubahan kontrak. Dalam skripsi ini Penulis akan membahas tiga pokok permasalahan yaitu apakah alasan ExxonMobil mengajukan perubahan TAC menjadi PSC dikaitkan dengan hak dan kewajiban kontraktor yang diatur dalam TAC dan PSC Blok Cepu, analisis proses mendapatkan Wilayah Kerja pada PSC biasanya dibandingkan dengan PSC Blok Cepu dan analisis terhadap tidak dilaksanakannya Plan of Development (PoD) dan keabsahan Memorandum of Understanding (MOU) pada Proses Peralihan TAC menjadi PSC di Blok Cepu.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kesimpulan yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut: Pertama, beberapa alasan ExxonMobil mengusulkan perubahan TAC menjadi PSC dikaitkan dengan hak dan kewajiban Kontraktor pada Blok Cepu ialah terkait Pertanggung jawaban, keuntungan Exxon sebagai Operator, adanya Penggantian Cost Recovery sebesar 100%, serta ExxonMobil tidak tersingkir dalam Blok Cepu. Kedua, terhadap analisis perbandingan proses mendapatkan Wilayah Kerja pada PSC biasanya dengan PSC Blok Cepu adalah pada PSC Blok Cepu tidak terdapat proses pelelangan dan indikator penilaian yang dilakukan menteri dalam memilih kontraktor. Ketiga, dengan tidak dilaksanakannya PoD dapat dinyatakan bahwa ExxonMobil telah melanggar kontrak TAC.
Namun, terhadap pembatalan kontrak ini merupakan hak Pertamina sebagai pihak yang merasa dirugikan. Terhadap Permasalahan keabsahan MOU dalam hal ini Komisaris Utama berwenang melakukan penandatangan MOU berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Sehingga, MOU ini sah dan mengikat. Mengenai keabsahan MOU tidak mempengaruhi kebsahan daripada PSC karena PSC muncul dilandasi penunjukan Menteri kepada ExxonMobil sebagai kontraktor berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005. PSC bukanlah perjanjian accesoir (ikutan) dari MOU.

This thesis discussed about Process of Transition of TAC into PSC. This transition process was began from Exxon?s request to change the contract. In this thesis the author will discuss three subjects which are about; first, what is ExxonMobil?s reason to propose the changes of contract from TAC into PSC which is associated with rights and obligations of Contractors regulated in TAC and PSC on Cepu Block. Second, analysis the process of getting the Area of Work on standard PSC compared with Cepu PSC. Third, analysis on implementation of Plan of Development (PoD) and validity of Memorandum of Understanding (MOU) in the Process of transition from TAC into PSC in Cepu Block.
Based on research the author has concluded that first, some of ExxonMobil?s reasons for proposing changes of TAC into PSC associated with Rights and Obligation of the Contractor in Cepu Block are related to the liability, Exxon?s profit as Operator, Replacement of Cost Recovery by 100%, and ExxonMobil wouldn?t be eliminated in Cepu Block. Second, In Comparative analysis on the process of getting Area of Work between standard PSC and Cepu PSC, the author found that in Cepu PSC there was no tender process and assessment indicators for minister to choose a contractor. Third, In regard on the implementation of PoD, it can be stated that ExxonMobil has breached the contract.
However, the termination of this contract is the right of Pertamina as a party who feel injured. In the problem on validity of MOU, Commisioner has authority to sign MOU in accordance with article 32 paragraph (2) Law No. 19 year 2003 regarding State-Owned Company. So, the MOU is legal and binding. The validity of the MOU didn?t affect validity of PSC, since PSC was emerged based on appointment from minister to Contractor that is regulated in Government Regulation No. 34 Year 2005. PSC is not accesoir agreement of MOU.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1894
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syahrir
"Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana konsep sistem konsesi dalam pertambangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Kedua, bagaimana konsep Kontrak Bagi Hasil (KBH) dalam pertambangan migas di Indonesia. Terakhir, bagaimana bentuk kontrak yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan antara sitem konsesi dengan KBH. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep sistem konsesi dan KBH yang pernah diterapkan di Indonesia. Kemudian, untuk mengetahui sistem yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan sistem konsesi dengan KBH. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem konsesi yang pernah diterapkan sebelumnya. Hal tersebut berkaitan juga dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki penguasaan negara atas kekayaan alam. Kesimpulannya, sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut karena dengan menerapkan sistem KBH, negara memiliki posisi yang kuat terhadap kontraktor.

Abstract
This research is mainly discussed about three problems. First, how the concept of concession system in Indonesian?s oil and gas upstream business works'. Second, how the concept of Production Sharing Contract in Indonesian's oil and gas upstream business works'. And last, how to form the appropriate contract to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with Production Sharing Contract. The first objective of this study is not only to describe the concept of concession system and production sharing contract that have been applied in Indonesia, but also to find which one that is more profitable to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with the Production Sharing Contract. In this study, the author is using normative legal research method by conducting field research and literature studies. The results showed that production sharing contract more profitable to be applied in Indonesia as compared with the concession system that had applied previously. This is also related with Article 33 Constitutional Law 1945 which requires state control over natural wealth. In conclusion, the Production Sharing Contract is more profitable to be applied in Indonesia than the concession system because by applying production sharing contract, the state has a strong position against the contractor. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S313
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqy Agusta Primananda
"Penerapan pengaturan terhadap Izin Usaha Minyak dan Gas dalam sektor hilir oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi sebelum dan setelah disahkannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik ialah para pelaku usaha yang membutuhkan perolehan izin migas sektor hilir selama tahun 2017 hingga tahun 2021 sudah dapat melalui daring, namun terdapat perbedaan signifikan dari tahun ke tahun disebabkan terdapat perubahan peraturan maupun mekanisme perolehan perizinannya itu sendiri. Berdasarkan pendapat penulis setelah melakukan penguraian unsur dari ketiga peraturan yang telah diteliti memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Hal ini menjadi penting untuk meninjau kembali penerapan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam menjalankan pemerintahan guna mewujudkan good governance untuk Indonesia yang lebih maju. Dalam menyusun tulisan ini, Penulis mencari dan mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan teori hukum dan praktik pelaksanaan yang terjadi dalam penerbitan izin tersebut. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum dalam menetapkan kriteria syarat tolak ukur dalam kemudahan berbisnis karena pada saat ini Ease of Doing Business sudah tidak berlaku lagi semenjak berlakunya Undang- undang Cipta Kerja, tetapi khususnya mekanisme kepastian administrasi dalam UU Nomor 30 Tahun 2014. Terkait penetapan risiko sebuah usaha, pemerintah harus membentuk badan atau tim pengendali khususnya untuk menjamin kemudahan berusaha dan akibatnya, khusus ataupun badan terkait. Agar para pelaku usaha tidak perlu berulang kali bergerak ke satu kementerian dan atau lembaga hinga ke kementerian dan atau lembaga untuk pemenuhan syarat dalam memperoleh perizinan.

The application of regulation on Oil and Gas Business Permits in the downstream sector by the Directorate General of Oil and Gas before and after the ratification of Government Regulation no. 24 of 2018 concerning Electronically Integrated Business Licensing Services, business actors who need to obtain downstream oil and gas permits during 2017 to 2021 can already go online, but there are significant differences from year to year due to changes in regulations and the mechanism for obtaining the permit itself. Based on the author's opinion, after analyzing the elements of the three regulations that have been studied, it has its own advantages and disadvantages. It becomes important to review the application of the General Principles of Good Governance (AUPB) in running the government in order to realize good governance for a more advanced Indonesia. In compiling this paper, the author seeks and collects secondary data related to legal theory and implementation practices that occur in the issuance of the permit. The government must provide legal certainty in determining the criteria for benchmarking conditions in the ease of doing business because at this time the Ease of Doing Business is no longer valid since the enactment of the Job Creation Act, but in particular the administrative certainty mechanism in Law Number 30 of 2014. business, the government must form a controlling body or team in particular to ensure the ease of doing business and consequently, specifically or related bodies. So that business actors do not need to repeatedly move from one ministry and or institution to another to meet the requirements for obtaining permits."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumingraras Widowathi
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengikatan jaminan atas participating interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menurut Sistem Konsesi dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil di Indonesia. Dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menemukan sistem Kontrak Migas yang tepat dalam melakukan pengikatan jaminan atas participating interest. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengikatan jaminan atas participating interest lebih ideal dilakukan dalam Sistem Konsesi dan menyarankan bahwa pengikatan penjaminan atas participating interest sebaiknya tidak dilakukan di dalam Sistem Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia.

Abstract
In this thesis, I present a theoretical analysis and comparison of pledging participating interest as collateral in concession system and Production Sharing Contract System in Indonesia. The aim of the thesis is therefore finding a system of oil and gas contract which suitable to do a pledging of participating interest as collateral. This thesis use normative research and qualitative methods. The thesis results stated that the implications of pledging participating interest under Concession System is more suitable than in Production Sharing Contract in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arifuddin
"Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 berimplikasi pada adanya tafsir konstitusional pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yakni pada pelaksanaan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis realitas dan implikasi pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola hulu minyak dan gas bumi yang sesuai dengan amanat konstitusi. Penelitian ini menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif dilakukan untuk melihat bagaimana realitas pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola terhadap penerimaan negara dengan teknik analisis deskriptif. Sementara penggunaan metode kuantitatif terbatas untuk membandingkan bagaimana komposisi penerimaan negara dan kontraktor atas penerapan sistem kontrak bagi hasil gross split dan cost recovery dengan teknik analisis regresi berganda.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem kontrak bagi hasil KBH adalah sistem fiskal yang mampu menerjemahkan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Dalam pelaksanaan sistem KBH Cost Recovery, pemerintah rata-rata mendapatkan komposisi 55,96 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Pada tahun 2016, komposisi penerimaan pemerintah adalah sebesar 38,41 persen. Berdasarkan analisis data historis dan proyeksi minyak bumi, komposisi penerimaan pemerintah dan kontraktor tidak berbeda jauh jika menggunakan sistem KBH gross split dimana rentang penerimaan pemerintah adalah 41 - 42 persen sementara kontraktor sebesar 57 - 58 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Kelembagaan pengelola yang memiliki risiko fiskal paling rendah adalah berbentuk badan usaha khusus sebab pemerintah tidak menjadi pihak peserta kontrak.

The Constitutional Court 39 s decision on the judicial review of Law Number 22 2001 has impacted to the constitutional interpretation of upstream oil and gas management in Indonesia, namely on the concept of state control and the greatest prosperity of the people. This study aims to analyze the reality and implications of the implementation of the fiscal system and management body of upstream oil and natural gas in accordance with the mandate of the constitution. This research combines qualitative and quantitative methods. The use of qualitative methods is conducted to see how the implementing of the fiscal system and management body to state revenues by descriptive analysis techniques. The use of quantitative methods is limited to compare how the composition of state revenue and contractors on the implementation of gross split and cost recovery production sharing contract with multiple regression analysis techniques.
This study concludes that the production sharing contract PSC is a fiscal system capable for translating the concept of state control and the maximum prosperity of the people as mandated by the constitution. In the implementation of the PSC cost recovery, the government gets average of 55.96 percent of total oil and gas revenues. In 2016, government revenues amounted to 38.41 percent. Based on analysis of historical data and projection of petroleum, government revenue and contractor does not differ much if using gross split PSC where the government revenue range is 41 42 percent while contractor equal to 57 58 percent of total oil and gas revenue. The organizational institution that has the lowest fiscal risk is in the form of a special business entity because the government is not a party to the contract.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Nostalgi
"Pada tahun 2017 Pemerintah Indonesia melakukan perubahan terhadap sistem Kontrak Bagi Hasil Migas (KBH), dari KBH cost recovery menjadi KBH gross split. Perubahan KBH dengan skema gross split diharapkan menjadi solusi atas menurunnya tingkat investasi hulu migas serta meningkatkan pendapatan negara. Melalui Permen ESDM No. 8/2017 gross split diberlakukan. Perubahan mendasar pada KBH gross split adalah tidak adanya cost recovery, adanya base split dan komponen variable dan komponen progresif sebagai penyesuaian bagi hasil, pengadaan barang dan jasa dilakukan sendiri oleh Kontraktor tanpa persetujuan SKK Migas, serta persetujuan Plan Of Development (POD) yang tidak lebih dari 1 bulan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum dalam pemberlakuan KBH gross split yang bersifat lintas sektor dan implementasinya terhadap investasi, dengan menggunakan metode penelitian normatif melalui library research dan wawancara kepada pelaku usaha.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kepastian hukum dalam KBH gross split sudah ada namun masih terdapat kendala-kendala, dan terhadap investasi KBH gross split terbukti dapat menaikan investasi hulu migas namun belum dapat memperbaiki iklim investasi hulu migas secara keseluruhan.

In early 2017, Indonesia establish a new form of Production Sharing Contract (PSC), from PSC cost recovery to PSC gross split. PSC gross split is expected to be a solution to the decline upstream oil and gas investment level, and to increase state revenues. Through ESDM Regulation No. 8/2017 PSC gross split was applied. The basic term by PSC gross split are there’s no cost recovery, base split, component variable and component progresif as a compliance of profit sharing adjustments, self procurement by the contractor without SKK Migas approval, and Plan Of Development (POD) approval less than one month.
This study aims to determine the legal certainty in the implementation of KBH gross split which is cross-sectoral and its implementation of investment, using normative research methods through library research and interviews with business actors.
From the research results it is known that legal certainty in the KBH gross split already exists but there are still constraints, and the KBH gross split investment is proven to be able to increase the upstream oil and gas investment but has not been able to improve the overall upstream oil and gas investment climate.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54778
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Hidayati
"Kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berperan strategis dalam memajukan perekonomian bangsa, sebab setiap yang dibelanjakan dalam bidang usaha ini memberikan dampak besar bagi peningkatan Pendapatan Domestik Bruto serta membuka lapangan pekerjaan baru. Oleh karena itu, pengadaan barang dan jasa pada sektor ini menjadi sangat strategis dan harus dipantau dengan baik, agar semaksimal mungkin digunakan produk dalam negeri, sehingga memberikan efek pengganda bagi perekonomian nasional.
Pada tahun 2017, Pemerintah menerbitkan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang diklaim dapat meningkatkan minat investasi minyak dan gas bumi di Indonesia. Akan tetapi, berbagai pihak justru menilai bahwa pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Gross Split justru berpotensi mengurangi penggunaan produk dalam negeri, yang akan terlihat dari penurunan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri atas pengadaan barang dan jasa. Skripsi ini mencoba untuk mengkaji secara normatif pelaksanaan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri atas pengadaan barang dan jasa pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas berpotensi terhadap penurunan Tingkat Komponen Dalam Negeri dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Untuk itu, Pemerintah perlu untuk mengatur mengenai kewajiban pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tepat.

Upstream oil and gas business activities has strategic role in advancing the national economy, since every purchase in this industry contributes large impacts in increasing Gross Domestic Income and exposes new job opportunities. Accordingly, products and services procurement in this sector becomes very strategic and shall be well monitored, so that domestic products and services are used to the maximum extent possible, with the result that it provides multiplier effects to the national economy.
In the year of 2017, the Government issued Gross Split Production Sharing Contract which was claimed to increase the oil and gas investment interest in Indonesia. However, there are people in the industry who believe that the implementation of Gross Split Production Sharing Contract has the potential to decrease the use of domestic products and services, which will be seen in the decline of Domestic Content on products and services procurement. This thesis attempts to normatively study the implementation of the use of Domestic Content on products and services procurement in Gross Split Production Sharing Contract of upstream oil and gas business activities.
The result of this research shows that the implementation of Gross Split Production Sharing Contract in upstream oil and gas business activities has the potential to decrease Domestic Content in upstream oil and gas business activities. Therefore, the Government shall regulate the obligation to fulfill Domestic Content in upstream oil and gas business activities in the right form of law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Aulia
"Cost recovery merupakan hak Kontraktor Kontrak Kerja Sama ldquo;KKKS rdquo; dan merupakan biaya operasi yang tercantum di dalam work plan and budget WP B yang diajukan tiap tahunnya kepada badan pelaksana sekarang SKK Migas . Cost recovery dalam WP B merupakan bagian dari Kontrak Bagi Hasil ldquo;KBH rdquo; . Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas, merupakan pihak dalam KBH tersebut. Di dalam KBH, terdapat ketentuan bahwa KBH tidak dapat diubah dalam segala hal kecuali dengan persetujuan tertulis dari masing-masing pihak. Namun, berdasarkan PP No.79/2010, pemerintah Indonesia mewajibkan KKKS untuk melakukan penyesuaian biaya-biaya operasional yang tecantum di dalam KBH ketentuan terkait WP B. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan bahwa terlihat adanya ketidaktaatan terhadap azas pacta sunt servanda di dalam KBH yang telah dibuat.
Dalam meneliti permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan historis. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis mengetahui bahwa i pengaturan terkait cost recovery terdapat di dalam KBH. Untuk mengatur biaya yang dimasukan sebagai cost recovery, Pemerintah Indonesia menerbitkan Permen ESDM No.22/2008 dan PP No.79/2010; ii penerapan azas pacta sunt servanda dalam KBH tidak terlaksana dengan baik karena ada kewajiban secara sepihak oleh Pemerintah Indonesia kepada KKKS untuk menyesuaikan KBH berdasarkan PP No. 79/2010; dan iii kebijakan mengenai cost recovery yang ada di dalam KBH dan peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan yang ideal di industri migas saat ini.

Cost recovery is the right of the Contractor of Cooperation Contract KKKS and represents the operating costs listed in the work plan and budget WP B which is submitted annually to the implementing body currently called as SKK Migas . Cost recovery in WP B is part of Production Sharing Contract KBH . The Government of Indonesia, in this event represented by SKK Migas, is a party in KBH. In KBH, there is a provision that KBH can not be changed in any way except with the written consent of each party. However, pursuant to PP No.79 2010, the Government of Indonesia required KKKS to adjust the operational costs listed in KBH WP B provision. This matter arose the problem that it seems like there was the disobedience to the principle of pacta sunt servanda in the KBH which has been made.
The author used normative legal research methods with legislation and historical approaches for examining these problem. Based on the research, the author knew that i the arrangement of cost recovery is contained in KBH. The Government of Indonesia issued Permen ESDM No.22 2008 and PP No.79 2010 to manage the expenditure included as cost recovery ii the application of the principle of pacta sunt servanda in KBH is not well implemented due to there is an unilateral obligation by the Government of Indonesia to KKKS to adjust KBH based on PP No. 79 2010 and iii the policy on cost recovery which was in the KBH and law and regulation is currently an ideal policy in oil and gas industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eba Chrisnapati
"Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan pendistribusian BBM di seluruh wilayah Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Melalui kegiatan Sub Penyalur yang merupakan kebijakan Pemerintah, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam peran strategisnya untuk menjaga ketersediaan dan pendistribusian BBM hingga ke wilayah-wilayah Terluar, Terdepan, dan Terpencil (3T).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran strategis BPH Migas dalam penyediaan dan pendistribusian BBM melalui kegiatan Sub Penyalur. Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data/informasi melalui wawancara mendalam dan studi kepustakaan. Teori yang digunakan pada penelitian ini adalah kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, organisasi publik, peran strategis, dan teori barang publik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BPH Migas sebagai institusi pemerintah dalam penyediaan dan pendistribusian BBM telah menjalankan peran strategisnya yaitu dengan merencanakan, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan Sub Penyalur sehingga ketersediaan dan pendistribusian BBM dapat terjaga. Adapun saran untuk BPH Migas adalah agar lebih meningkatkan sosialisasi Sub Penyalur ke Pemerintah Daerah yang daerahnya sulit terjangkau oleh penyalur resmi.

Oil Fuel is a vital commodity and controls the livelihoods of many people throughout the territory of Republic of Indonesia. The government responsibility to ensure the availability and distribution of fuel in all regions of Indonesia as mandated in Law Number 22 year 2001 concerning Oil and Gas. Through the Sub-Distributors program which are government policies, in this case carried out by the Downstream Regulatory Body in Oil and Gas in its strategic role to keep and control the availability and distribution of oil fuel to the Outermost, Leading and Remote (3T) areas.
This study aims to analyze the strategic role of Downstream Regulatory Body in Oil and Gas in the supply and distribution of oil fuel through the Sub-Distributors program. In this study, information collection techniques were used through in-depth interviews and literature studies. The theories used are public policy, implementation of public policy, public organization, strategic role, and public goods.
The results of the study indicate that Downstream Regulatory Body in Oil and Gas as a government institution in the supply and distribution of oil fuel has carried out its strategic role, namely by planning, coordinating the Sub-Distributors program so that the availability and distribution of oil fuel can be maintained. An advice for Downstream Regulatory Body in Oil and Gas to improve more further the socialization regarding Sub Penyalur Program to the regional government.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>