Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42191 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Restisari Joeniarto
"Dalam rangka penjualan rumah susun atas satuan-satuan rumah susunnya, dewasa ini banyak dilakukan dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual bell satuan rumah susun. Hal ini dilakukan karena Undang-Undang Nomor I6 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (Undang Undang Rumah Susun) menetapkan persyaratan bagi rumah susun sebelum dapat diperjualbelikan. Pada prakteknya, dengan alasan ekonomis penjualan unit-unit satuan rumah susun sudah dilakukan, walaupun belum memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Rumah Susun, yaitu dengan cara membuat perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun ini pada umumnya sudah dibuat dalam bentuk standar (Kontrak Standar) yang sudah ditentukan oleh pihak pengembang selaku penjual. Konsumenlpembeii tinggal menyetujui atau tidak, tanpa bisa menegosiasikan isi perjanjian sesuai kehendak para pihak. Apabila setuju, "take it", tetapi kalau tidak setuju "just leave it".
Kontrak standar yang dibuat secara sepihak oleh pengembang yang mempunyai kedudukan lebih dominan tersebut seringkali memuat klausula-klausula yang sudah baku yang isinya lebih mengakomodir kepentingan pelaku usaha (dalam hal ini pengembang/penjual), tetapi mengeliminir kepentingan pihak konsumen/pembeli, sehingga pihak konsumen dirugikan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan Konsumen), pada dasarnya sudah mengatur mengenai ketentuan klausula baku (dalam Pasal 18). Namun dalam pelaksanaannya, klausula-klausula baku yang dimuat dalam perjanjian pengikatan jual beli, khususnya pengikatan jual bell satuan rumah susun masih melanggar ketentuan baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Vitri Hapsari
"Pembangunan rumah susun merupakan salah satu solusi permasalahan akan sempitnya areal permukiman di perkotaan, tetapi memerlukan dana yang cukup besar. Di kalangan developer berkembang kebiasaan memasarkan rumah susun terlebih dahulu sebelum selesai dibangun, bahkan ketika dalam tahap perencanaan. Dengan demikian, konsumen yang berminat harus memberikan uang muka sebagai dana awal pembangunan rumah susun kepada developer. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, yaitu bahwa rumah susun baru boleh dipasarkan apabila sudah memperoleh izin layak huni. Selain itu, praktik demikian berakibat pada implementasi hukum yang tidak jelas bagi konsumen dan banyaknya perbuatan curang lainnya yang dilakukan developer. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 11 tahun 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun yang melegalisasi perikatan jual beli pendahuluan dan memberikan perlindungan hukum bagi konsumen maupun developer. Akan tetapi, keputusan tersebut belum menjamin adannya perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen. Apa lagi adanya realitas bahwa perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun (PPJBSRS) tersebut berbentuk suatu klausula baku yang lebih mengutamakan kepentingan developer. Hal ini akibat ketidaktegasan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai larangan pencantuman klausula baku. Berdasarkan realitas tersebut, PPJB-SRS belum menjamin adanya perlindungan hukum bagi konsumen, sehingga perlu dipikirkan upaya tegas untuk melindungi konsumen. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan melakukan perbaikan atas peraturan yang mengatur kegiatan jual beli SRS, yang menitikberatkan pada segi perlindungan hukum bagi konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20622
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivien Arvianty
"Akhir-akhir ini dapat dilihat semakin banyaknya pembangunan rumah susun dan kenyataan bahwa rumah susun sudah diterima oleh masyarakat baik sebagai hunian maupun non hunian. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada pada pengusaha atau developer untuk mengembangkan bisnisnya dalam bidang pembangunan rumah susun untuk hunian (apartemen) maupun non hunian seperti perkantoran atau pertokoan. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang rumah susun yang diikuti dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988, segala sesuatu yang menyangkut rumah susun yang semula diragukan telah memperoleh kepastian berupa ketentuan undang-undang. Undang-undang tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh developer sebelum dapat menjual satuan-satuan rumah susun tersebut, yang bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen. Tetapi dalam prakteknya, satuan-satuan rumah susun tersebut sudah mulai dijual sebelum bangunan rumah susun selesai secara keseluruhan, bahkan sebelum bangunan rumah susun itu ada, dengan mengadakan perjanjian pengikatan jual beli terlebih dahulu. Dengan praktek jual beli yang demikian, sudah jelas tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen. Mengingat keadaan tersebut, sudah selayaknya dipikirkan suatu upaya dalam memberikan perlindungan bagi konsumen. Kiranya masih diperlukan seperangkat peraturan perundangan yang mengatur mengenai kegiatan jual beli satuan rumah susun tersebut dengan menitikberatkan pada segi perlindungan hukum bagi konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20583
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kiki Asrinikania
"Penulisan bertujuan memberikan gambaran yang jelas mengenai masalah perjanjian baku sepihak, yaitu bagaimana pengaturannya menurut hukum perjanjian Indonesia dan pedoman perikatan jual beli satuan rumah susun, serta bagaimana pelaksanaannya dalam praktik ditinjau dari segi hukum perlindungan hukum bagi konsumen. Metode yang digunakan adalah metode kepustakaan dan penelitian lapangan dengan teknik wawancara. Pembahasan skripsi tentang perjanjian baku sepihak yang merupakan perjanjian yang telah dipersiapkan oleh pihak pengusaha dengan syarat-syarat baku dan konsumen hanya menyetujui atau tidak. Perjanjian baku sepihak biasanya digunakan pada suatu transaksi bisnis, termasuk dalam perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun. Perjanjian baku sepihak tersebut berisi klausul eksonerasi yang berupa pembatasan tanggung jawab pengusaha pembangunan rumah susun. Setelah dilakukan analisa kasus ternyata klausul eksonerasi merugikan konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachuela
"ABSTRAK
Penjualan apartemen dapat dilakukan dengan cara "pre project selling", dimana penjualan dilakukan pada saat bangunan apartemen belum jadi dan jual beli dilakukan dengan penandatanganan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang berbentuk perjanjian standar antara Penjual dan Pembeli. Dalam PPJB Apartemen "XYZ" ini terdapat ketidakseimbangan kewajiban, antara lain prestasi yang tidak seimbang dimana Pembeli dituntut melakukan cicilan secara rutin namun tidak diimbangi oleh prestasi Penjual yang seharusnya juga melakukan pembangunan secara bertahap; Denda keterlambatan dimana sanksi keterlambatan apabila Pembeli terlambat membayar adalah PPJB dibatalkan secara sepihak oleh Penjual dan uang yang telah dibayarkan hangus namun disisi lain apabila Penjual terlambat menyerahkan apartemen selama apapun denda dibatasi maksimal 9 persen, memang Pembeli dapat membatalkan Perjanjian karena kelalaian Penjual tersebut dan uang akan dikembalikan ditambah denda 9 persen dari Penjual namun dipotong PPN 10 persen yang berarti Pembeli akan rugi 1 persen. Disini seharusnya Pembeli yang dapat minta ganti rugi karena kelalaian Penjual namun dengan klausula seperti itu malah Pembeli lah yang dirugikan. Upaya hukum bagi Pembeli dalam PPJB salah satunya adalah penyelesaian sengketa dengan musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai mufakat melalui Pengadilan Vegeri Jakarta Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan seperti buku dan undang-undang serta Penelitian lapangan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan Penjual dan Pembeli. PPJB tersebut tidak mencerminkan keseimbangan kewajiban antara Penjual dan Pembeli, lebih berat sebelah dan merugikan Pembeli padahal dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harusnya kepentingan Pembeli dapat terlindungi apalagi dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat nomor 11/KPTS/1994 tentang Pedoman Pengikatan Jual Bell Satuan Rumah Susun seharusnya perlindungan terhadap Pembeli lebih terlindungi lagi. Saran Penulis adalah pemerintah lebih tegas mengatur dan mengawasi mengenai penggunaan klausula-klausul.a baku dan mewajibkan PPJB dibuat dengan akta otentik serta lebih mensosialisasikan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Lembaga-Lembaga Perlindungan Konsumen dimana lembaga-lembaga tersebut lebih tegas untuk menindak lanjuti segala keluhan Konsumen.

ABSTRAK
Apartments can be sold by way of "project selling", whereby the sale is made when the building is not yet ready and sale-and-purchase is done by signing a Binding Sale and Purchase Agreement (Perjanjian Pengikatan Jual Beli or PPJB) in form of a standard agreement between the Seller and the Buyer. In PPJB of "XYZ" apartment, the obligations are not in balance, among others, the Buyers' obligations to pay in arrears are not balanced up with the Seller's obligations to finish construction gradually. Consequence for late payment by the Buyers is a one-sided cancellation by the Seller and the money that has been paid by the Buyers are not refundable. On the other hand, if the Seller fails to deliver the apartment on time, the fine to be paid by the Seller is limited to maximum of 9%. The Buyers can indeed cancel the agreement due to such failure and receive the money back with an extra of 9% fine from the Seller, but that amount will be deducted with value added tax of 10%, which leads to loss of the Buyers of 1%. In this case the Buyers should be able to ask for compensation for the Seller's failure, however such clause causes loss on the Buyers' side. One of legal efforts that the Buyers can do is by reaching a settlement. If the settlement can not be reached, the Buyers can bring the case to the District Court of South Jakarta. The research methodology used is library method by collecting data in forms of literatures such as books, laws and field research by collecting data in forms of interviews with the Seller and a Buyer. Such PPJB does not reflect balanced obligations between the Seller and the Buyers, it causes loss on the Buyer's side. By the issuance of Law No. 8 of 1999 on Consumers Protection, the interests of the Buyers should be protected, let alone with the issuance of Decree of State Minister of People's Residence No. 11/KPTS/1994 on Guidance of Sale and Purchase Agreement of Strata Titles that gives more protection to the Buyers. The writer suggests that the government more firmly stipulates and supervises uses of standard clauses, requires an authentication of the PPJB and socializes Law No. 8 of 1999 on Consumers Protection and to enable Consumers Protection Institutions to firmly follow-up the complaints from the consumers.
"
2007
T18979
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Anggraini
"ABSTRAK
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dewasa ini dalam proses peralihan hak dan balik nama yang diatur oleh Developer sering menimbulkan permasalahan, dari ketentuan didalam Perjanjian yang berlaku sepihak, biaya-biaya yang tidak memenuhi ketentuan peraturan berlaku, keterlambatan serah terima unit kepada konsumen dan pemungutan biaya yang tidak sesuai dengan yang diatur didalam PPJB yang developer itu sendiri yang membuatnyaTesis ini membahas tentang Perlindungan hukum terhadap konsumen dalam proses peralihan hak dan balik nama PPJB dengan membandingkan tiga developer tentang proses peralihan hak dan balik nama PPJB di masing-masing developer. Dimana proses peralihan hak tidak sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu PP No.4 tahun 1988 dimana peralihan hak harusnya dilakukan didepan PPAT dan di AJB kan terlebih dahulu, sementara untuk proses balik nama dari ketiga developer tersebut tidak memenuhi ketentuan Kemenpera No. 11/KPTS/1994 tentang pedoman Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual beli, bahwa minimal biaya balik nama atau biaya administrasi adalah 1% (satu persen) namun yang dikenakan oleh developer-developer tersebut rata-rata sekitar 2-2.5%, dan dalam bahasa hukum pertanahan, biaya balik nama PPJB tidak relevan dan tidak sah sehingga proses biaya balik nama ini tidak memenuhi ketentuan Pasal 42 PP No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Dalam hal perlindungan hukum konsumen dalam proses peralihan hak dan balik nama, konsumen banyak dirugikan dengan bentuk PPJB yang berbentuk klausula baku, proses peralihan hak yang tidak didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional dan Biaya Balik Nama yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, dalam melakukan pembelian produk properti, konsumen harus melakukan pemeriksaan terhadap perjanjian sebelum menandatangani, menjaga Bargaining Positionnya tetap kuat, dan mengetahui hak-haknya dilindungi oleh pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen, meminta penjelasan secara rinci dan menuntut haknya apabila merasa dirugikan, dan melengkapi dengan mengetahui lebih lanjut hak-haknya yang diatur dalam Undang-undang perlindungan konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

ABSTRACT
Sale and Purchase Agreement today in the transition process and the right to return the name of which is governed by Developers often cause problems, of the provisions contained in the applicable Agreement unilaterally, costs that do not comply with applicable regulations, delays in handing over the unit to the customer and collection costs regulated in accordance with the PPJB itself developer makes. This thesis discussed about the Legal protection of the customer in a transfer of right and name re-registration process in a PPJB through a comparison of such process in three developers. Whereas the transfer of rights process were not in accordance with the prevailing law, ie the Government Regulation No.4 of 1988, in which it is regulated that a transfer of right must be carried out in front of Land Officials (PPAT) and first should entered into a Deed of Sale and Purchase (AJB), however the process of name re-registration applied by the said three developers were not in accordance with the Regulation of Minister of Public Housing No.11/KPTS/1994 on the guidance to draft an Agreement to Bind a Sale and Purchase, in which the fee for the name reregistration or administration is minimum 1% (one percent), however the developers charged approximately 2-2,5%, and in the terms of agrarian law, the fee for the name re-registration for PPJB is not relevant and deemed as invalid, and therefore, the name re-registration is not in accordance with Article 42 of the Government Regulation No.4 of 1988 on Flat Housing. In regards to the legal protection of the customer in a transfer of right and name re-registration process, the customer are in a disadvantaged position due to the standard PPJB clause, transfer of right which is not registered to the National Land Office, and the Cost for Name Re-registration which are not in accordance with the prevailing laws, when purchasing a property, a customer should first examine the agreement before he/she signed it, to maintain his/her bargaining posit ion and to understand that his/her right is protected by the government and the customer protection institution, to request further details and to claim if his/her right is infringed, and to complete it by becoming aware of his/her rights which is governed under the consumer protection Law No.8 of 1999."
2013
T34883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Adanya praktek jual beli satuan kios Depok Town Square
yang masih dalam tahap pembangunan atau dalam tahap
perencanaan ditampung atau diakomodasikan dengan dokumen
hukum Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB) yang berbentuk
klausula baku. PPJB bukanlah perbuatan hukum jual beli yang
bersifat riil dan tunai. PPJB dibuat oleh developer dimana
faktor subyektivitas developer sangat mempengaruhi di dalam
memasukkan kepentingan-kepentingannya. Metode penelitian
yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode
kepustakaan dan metode penelitian lapangan. Masalah
perlindungan konsumen dalam PPJB Satuan kios Depok Town
Square masih sulit diselesaikan secara efektif dan efisien
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Meskipun sudah mengacu pada Keputusan Menteri Negara
Perumahan Rakyat No. 11 tahun 1994 tentang Pedoman
Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dan Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena
itu, Pemerintah harus mulai membatasi penggunaan klausula
baku atas dasar kepentingan umum atau demi pemerataan
khususnya di bidang perumahan dan adanya pengawasan
terhadap pengaturan materi perjanjian yang dibuat oleh
developer. Bagi developer rumah susun yang akan membuat
Perjanjian Pengikatan Jual Beli, dalam mencantumkan
klausula baku sebaiknya memperhatikan ketentuan Undangundang
Perlindungan Konsumen yang menguntungkan secara
seimbang bagi kedua belah pihak."
Universitas Indonesia, 2006
S21238
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Anastasia Marisa R.
"Kehidupan modern masyarakt saat ini tidak hanya menuntut mobilitas yang tinggi tetapi juga nilai-nilai kecantikan dan keindahan terhadap penampilan. Keinginan manusia khususnya wanita untuk tampil sempurna dimanfaatkan oleh sekelompok pelaku usaha dengan memperdagangkan kosmetik impor yang tidak memiliki izin edar kepada masyarakat, sehingga tampak bahwa produk yang ditawarkan memiliki harga yang lebih murah din=bandingkan kosmetik yang memiliki izin edar resmi. Ketentuan tentang pemasukan kosmetik diatur dalam Keputusan kepala Badan POM tnentang Pengawasan Pemasukan Kosmetik. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian terhadap aturan-aturan hukum tertulis dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen tidak ada pengaturan secara eksplisit mengenai kosmetik impor. Namun demikian, ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dapat digunakan untuk menjerat atau memberikan konsekuensi hukum terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan produk kosmetik tanpa memiliki izin edar. Agar kepentingan konsumen dapat terlindungi secara sempurna oleh sebab itu diperlukan pengaturan secara spesifik dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen kosmetik impor.

In modern life today's, societies required not only high mobility but also the value of beauty and appearance. Human desire to be perfect, especially woman have been exploited by a group og business actors with trade in imported cosmetics that did not have the authorization to the public, so its look like their product cheaper than the others one. The regulations about cosmetic import arranged in the Decree of Head of National Agency of Drug and Food Control of RI. In this research, it used the normative law research that is research of written law which based research on literature and interviews. The act No. 8 of 1999 on Consumer Protection there is no explicit regulation of the import cosmetic. However, the provisions of Article 8 paragraph (1) of the act No. 8 of 1999 on Consumer Protection can be used to deceive or give legal consequences to business that sell import cosmetic without authorization. In order to protect consumers' interests perfectly, it is necessary to arrange specifically and explicitly in the Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection regarding import cosmetic."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S589
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar
"Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka pembangunan ekonomi tersebut, para pelaku usaha baik perseorangan maupun badan usaha, harus dapat mendukung timbulnya dunia usaha yang mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa, tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Namun dalam kenyataannya, konsumen di dalam pembangunan ekonomi selalu berada di posisi yang lemah dan tidak mampu memperjuangkan haknya. Selama ini ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diterbitkanlah peraturan perundang-undangan yang dapat mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaksana usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pembangunan ekonomi, jual-beli adalah kegiatan terpenting. Hal tersebut juga termasuk di dalam pembanguan ekonomi islam. Dalam jual-beli menurut sistem ekonomi Islam, para pelaku yaitu penjual dan pembeli terikat pada Hukum Islam. Hukum Islam ini merupakan pedoman di dalam. kegiatan mereka agar masing-masing pihak tidak dirugikan. Dalam kegiatan jual-beli menurut Hukum Islam, pembeli sebagai konsumen sangatlah dilindungi. Melalui skripsi ini akan dibahas mengenai aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen apa saja yang terdapat dalam jual-beli menurut Hukum Islam dan bagaimana penerapannya pada produk jual-beli di Bank Syariah."
Universitas Indonesia, 2001
S21008
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>