Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142095 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raring, Franky P.
"Krisis moneter di Indonesia dibagi 3 tahap : dampak penularan (Juli 1997), reaksi panik (Agustus 1997), dan dampak IMF (Oktober 1997-Mei 1998) kirsis diawali dari jantuhnya mata uang bath Tahiland sebagai sebab utama, yang merupakan awal mula krisis asia, kemudian menghasilkan efek domino, bergerak kearah ke munduran kawasan tersebut kemudian menyebar ke Indonesia.
Krisis yang bermula dari krisis mata uang bergerak menjadi, krisis keuangan (krisis moneter) dan meluas menjadi krisis ekonomi di Indonesia. Belajar dari Thailand yang sia-sia mengintervensi bath, Indonesia setelah devisa sebesar 7 Milyar Dolar terkuras untuk melakukan intervensi, maka pada tanggal 14 Agustus pemerintah akhimya melepas rupiah kedalam sistem floating rate. Namun kenyataannya rupiah justru semakin terpusuk, padahal kebijakan pasar babas melalui instrumen floating rate-nya, ternyata tidak tewujud. Hal ini karena pasar melihat kebijakan floating rate bukan merupakan strategi moneter Indonesia melainkan bentuk ketidak berdayaan Indonesia menghadapi pasar. Karena dalam waktu singkat, Indonesia kekurangan cadangan di visa, artinya banyak devisanya yang terkuras akibat membayar hutang luar negeri dan akibat intervensi untuk menstabilkan rupiah. Akibatnya pasar bereaksi negatif, justru terjadi ketidak percayaan pada. Rupiah sehingga Dolar AS terns meroket naik terhadap rupiah.
Karena semakin berat beban yang dipikul, maka Indonesia mengundang IMP, berserta program-program ekonominya, namun, akibat yang ditimbulkan oleh program-program IMF, justru membuat krisis di Indonesia semakin parah dan berkepanjangan, IMF menggunakan resep yang sama bagi negara-negara Asia yang mengalami krisis , tanpa mendiagnosa sebab-sebab krisisnya, sehingga program-program IMF menjadi penyebab krisis itu sendiri dan IMF akhirnya menjadi bagian dari krisis.
Tesis ini mencoba menggunakan pendekatan monetaris dimana ciri kelangsungan dari kerangka monetaris adalah selain dibidang moneter melalui pengelolaan pasok volume uang oleh badan moneter (Bank sentral), tidak boleh dilakukan intervensi aktif oleh kebijaksanaan pemerintah dibidang ekonomi. Monetarisme ini memberikan dasar bagi program stabilisasi perekonomian negara-negara berkembang yang disponsori IMF.
Kebijakan floating rate, pada dasarnya dapat dikaitkan sebagai kebijakan yang direstui IMF. Hal ini setidaknya terlihat dari letter of intent (LDI) antara pemerintah Indonesia dan IMF yang walaupun tidak secara eksplisit memuat tentang dukungannya terhadap floating rate, tetapi penundaan bantuan finansial IMF terhadap regim Orde Baru yang merencanakan pelaksanaan sistem moneter fixed rate memperlihatkan IMF sangat mendukung kebijakan nilai tukar mengembang penuh.
Jenis penelitian dalam teisis ini adalah deskriptif analitis, menjelaskan peran IMF dalam mengatasi krisis moneter di Indonesia. Melalui proses kebijakan nilai tukar foaling rate di Indonesia.
Tesis ini membuktikan, peran IMF terhadap kebijakan nilai tukar flotingrate di Indonesia dalam, mengatasi krisis moneter. Kebijakan atau progaram IMF sendiri telah menjadi penyebab krisis moneter itu sendiri. Akhirnya IMF rnenjadi bagian dari krisis moneter di Indonesai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfirman Basir
"Nilai tukar merupakan salah satu indikator ekonomi yang digunakan oleh para pelaku ekonomi dalam menjalankan aktivitas ekonominya. Apresiasi (depresiasi) rupiah akan mempengaruhi harga produk impor (ekspor) dan nilai aset indonesia yang kemudian akan mempengaruhi variabel-variabel ekonomi lainnya seperti suku bunga, inflasi, tingkat pengangguran, dan pendapatan nasional. Perekonomian indonesia -yang kecil dan terbuka, didukung sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang- menyebabkan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi dan non-ekonomi. Fluktuasi nilai tukar rupiah sejak penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas menimbulkan pertanyaan mengenai sumber fluktuasi tersebut. Dengan memodifikasi metode Vector Auto Regression (VAR) yang digunakan oleh Osbat, Ruffer, dan Schnatz (2003) penulisan skripsi ini berupaya untuk menganalisa sumber fluktuasi nilai tukar riil rupiah pada periode sistem nilai tukar mengambang bebas (1998:1 - 2006:4). Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan model VAR dengan lima variabel, yakni harga minyak indonesia (ot), pengeluaran pemerintah relatif (gt), tingkat produktivitas relatif (yt), perbedaan suku bunga (i), dan nilai tukar riil rupiah (qt). Dari variance decomposition dapat diketahui pergerakan nilai tukar riil rupiah dipengaruhi oleh pergerakan nilainya di masa lalu, produktivitas, pengeluaran pemerintah, perbedaan suku bunga, dan harga minyak indonesia. Dari output accumulated Impulse Response Function (IRF) diketahui bahwa peningkatan harga minyak indonesia, pengeluaran pemerintah, produktivitas, perbedaan suku bunga akan menyebabkan terapresiasinya nilai tukar riil rupiah. Dari output accumulated IRF dapat dilihat bahwa kebijakan ekspansi fiskal dan kontraksi moneter dapat mendorong terapresiasinya nilai tukar riil rupiah yang sesuai dengan teori mundell-flemming yang ada."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dian Arivani
"Hubungan diantara harga saham dan nilai tukar memiliki implikasi penting dalam memengaruhi pembangunan sebuah perekonomian negara, seiring pesatnya integrasi pasar keuangan sehingga mendorong hubungan interaktif antara faktor makroekonomi. Tesis ini membahas hubungan antara harga saham dengan nilai tukar di Lima Negara yakni China, Jepang, Korea, Singapura dan Indonesia, pada saat Pra Krisis dan Pasca Krisis Keuangan Global.
Penelitian ini mengkaji dua permasalahan utama yakni hubungan kausal granger antara harga saham dan nilai tukar, dan mengkaji hubungan jangka panjang antara harga saham dan nilai tukar pada saat Pra Krisis dan Pasca Krisis. Penelitian ini menggunakan pendekatan Granger Causality test, Cointegration test, Vector Error Correction Model (VECM), impulse response dan variance decomposition.
Hasil penelitian memperlihatkan adanya hubungan kausal antara harga saham dan nilai tukar pada saat Pra dan Pasca Krisis. Kemudian, dalam jangka panjang ditemukan adanya hubungan antara harga saham dan nilai tukar dengan arah yang berbeda pada masing-masing negara. Untuk China dan Jepang mendukung pendekatan portofolio balance effect, sedangkan Korea, Singapura dan Indonesia mendukung pendekatan internasional trading effect.

The relationship between stock price and exchange rate has an important implication for the a nation-economic-development. As the effect of the integration of money markets will force the interactive relation between macroeconomic factors.
This thesis analyzes the relation between stock price and exchange rate before and after crisis in five East Asian countries which are China, Japan, Korea, Singapore and Indonesia. This research analyzes two main problems which are the Granger Causality relation and long run relationship between stock price and exchange rate before and after global financial crisis. This research uses Granger Causality test, Cointegration test, Vector Error Correction Model (VECM), Impulse Response and Variance Decomposition.
The results of this reasearch are showing a granger causality relation between stock price and exchange rate before and after global krisis. Our result support longrun relationship between stock price and exchange rate with different direction for each country. China and Japan support portofolio balance effect hypothesis, meanwhile Korea, Singapore and Indonesia support international trading effect hypothesis.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T42812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asia Miscolayati Hasanah
"Sebagai konsekuensi global value chains GVC , nilai tukar dan volatilitasnya menjadi semakin penting dalam memengaruhi output suatu negara. Sebuah pertanyaan menarik yang kemudian mengemuka adalah mengenai perubahan hubungan nilai tukar terhadap output dalam tren GVC.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginvestigasi bagaimana nilai tukar dan volatilitasnya dalam memengaruhi output, dan juga untuk mengekplorasi dampak partisipasi GVC terhadap output. Penelitian ini menggunakan data panel yang mencakup lima negara di Asia, meliputi Indonesia, Thailand, Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia, dengan data deret waktu tahunan periode 1990-2015. Metode analisis yang digunakan adalah pendekatan ekonometrika dengan System Generalized Method of Moment SYS-GMM.
Hasil penelitian mengungkap bahwa, pertama, volatilitas nilai tukar memiliki hubungan negatif terhadap output. Kedua, ditemukan bahwa apresiasi nilai tukar meningkatkan output secara signifikan. Ketiga, peningkatan partisipasi GVC secara signifikan meningkatkan output. Oleh karena itu, dampak nilai tukar terhadap output sangat bergantung pada pola GVC masing-masing negara.

As a consequence of the global value chains GVC , exchange rate and its volatility becomes more important in influencing the output of a country. An interesting question that then surfaced was regarding the alteration of exchange rate relationship towards output in the GVC trend.
This study aims to investigate how the exchange rate and its volatility affect output, and also explores the impact of GVC participation on output. We employed panel data which covers five countries in Asia, including Indonesia, Thailand, Japan, South Korea, and Malaysia, with annual data series through 1990 2015. The analytical method used in this study is the econometric approach with System Generalized Method of Moment SYS GMM.
The result reveals that, first, the exchange rate volatility has a negative relationship to output. Second, the appreciation of exchange rate is found to increase output significantly. Third, the increase of GVC participation is significantly lead to increase output. Therefore, the impact of exchange rate on output depends very much on the GVC pattern in respective country."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49655
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Rismauli
"Dok apung merupakan sebuah struktur yang dibangun sebagai tempat dilakukannya reparasi kapal. Dok apung banyak diminati oleh pemilik kapal karena dapat mengerjakan reparasi dan pemeliharaan untuk bagian baik diatas maupun dibawah air. Sebagai salah satu alat niaga galangan, tingginya pekerjaan yang dilakukan oleh dok apung terlebih dalam proses docking- undocking tentu harus mengutamakan aspek keselamatannya karena memiliki banyak risiko besar yang dapat mempengaruhi dok apung secara operasional maupun teknis. Sebagai langkah untuk mencegah atau mengurangi posibilitas terjadinya patah pada dok apung akibat beban kerja yang besar, perlu dilakukan penilaian risiko keselamatan. Metode yang digunakan untuk menganalisa risiko keselamatan dari dok apung, penulis menggunakan Metode Formal Safety Assessment (FSA). Penelitian ini bertujuan melakukan penilaian risiko, memberikan pilihan pengendalian risiko, menghitung biaya dan memberikan rekomendasi pengendalian risiko. Sumber terbesar dari patahnya dok apung yaitu penipisan ketebalan pelat dan kelebihan beban dan diidentifikasi cara pengendalian risikonya dengan bantuan Fault Tree Analysis (FTA) yang menghasilkan 4 butir opsi pengendalian risiko beserta perhitungan biayanya. Dari setiap pengendalian risiko didapatkan total sembilan rekomendasi pengendalian risiko besera estimasi biayanya.

Floating dock is a structure built as a place for ship repairs to be carried out. Floating docks are in great demand by ship owners because they can carry out repairs and maintenance for parts both above and below water. As one of the shipyard's trading tools, the high work done by the floating dock, especially in the docking-undocking process, of course, must prioritize the safety aspect because it has many big risks that can affect the floating dock operationally and technically. In some cases, unfortunately, fractures occur in floating docks which are certainly dangerous like what happened in Jayakerta IV floating dock. So to reduce the risk of such event, a risk assessment is carried out and produce several recommendation to control the hazard. The method used to analyze safety risks from floating docks, the authors use the Formal Safety Assessment (FSA) method. The biggest sources of floating dock fractures are plate thickness thinning and overload and ways to control the risks are identified with the help of Fault Tree Analysis (FTA) which produces 4 risk control options along with cost calculations. From each risk control, a total of nine risk control recommendations along with estimated costs are obtained."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bram Sebastian Dethan
"Menyadari dengan bertambahnya kapal tanker 17500 DWT di Indonesia maka dibutuhkan fasilitas pengedokan yang mudah dan aman. Dok Apung merupakan salah satu proses pengedokan mudah dan secara kontruksi tidak memakan waktu dan lahan. Perancangan Dok Apung dengan 13000 TLC dibuat dengan tujuan membantu proses pengedokan yang ada di negara ini. Dok Apung tidak lepas dari kata stabilitas karena gaya apung pada dok membutuhkan tingkat stabilitas yang baik untuk tetap menjaga dok dan kapal yang sedang dok didalamnya mutlak aman dari segala kondisi trim dan oleng. Proses pengedokan kapal pada dok apung dioperasikan menggunakan sistem ballast. Ballast yang dipompa masuk kedalam tangki ballast akan menenggelamkan dok dan sebaliknya ballast yang dikeluarkan dari tangki ballast akan mengangkat dok untuk mengapung. Kapal dalam dok dengan kondisi trim dan oleng dapat diatur stabilitasnya dengan sistem ballast.

The increasing use of 17500 DWT tankers has led to the need of convenient and apt docking facility. Dry dock is an alternative for the need because its ease of use and efficiency both in time and land consumption. 13000 TLC dry dock planning is established to help improving docking process in Indonesia. It is crucial to pay attention to stability in dry dock planning because it requires a good level of stability to maintain the dock and the vessel involved in the docking process from trim. Docking process with dry dock operates with ballast system. Ballast pumped into the ballast tank causes the dock to descend and vice versa. Ballast pumped out of the tank raises the dock to float. The stability of a vessel in trim condition can be easily adjusted and maintained with ballast system.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
S60101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Pahlawan
"Penelitian ini adalah hasil riset observasi penulis terhadap badan otoritas moneter tertinggi Eropa yakni Bank Sentral Eropa (ECB). Pembentukan ECB diawali dengan institusi awal yakni European Monetary institute (EMI) yang berdiri 1 Januari 1994. Institut Moneter Eropa bertugas untuk mempersiapkan kerangka sistem kerja bank sentral Eropa yang disebut ESCB (European System of Central Bunks) dan perangkat lainnya yang dibutuhkan bagi beroperasinya satu bank sentral di kawasan Eropa Barat. Bank Sentral Eropa baru resmi berdiri mulai 1 Juni 1998, Setelah bekerja lebih dari empat tahun lamanya akhirnya EMI dibubarkan dan Bank Sentral Eropa berdiri pada 1 Juni 1998.
Bank Sentral Eropa sebagai institusi pelanjut tugas EMI atau pelengkap dari program kerja EMU (Economic and Monetary Union) seperti yang diamanatkan oleh Perjanjian Maastricht 1992. Bank Sentral Eropa adalah satu institusi baru dalam organisasi regional Uni Eropa. institusi ini memiliki wilayah kerja kawasan Uni Eropa karena anggotanya terdiri dari bank-bank sentral negara anggota Uni Eropa. Olah sebab itu ECB adalah institusi yang menarik untuk diteliti sebagai bahan riset.
Ada beberapa alasan mengapa ECB perlu untuk diteliti lebih lanjut ? Pertama karena ECB adalah sebagai otoritas tertinggi perbankan, moneter dan keuangan di wilayah Uni Eropa. Kedua, ECB adalah satu-satunya bank sentral yang memiliki wilayah kerja regional yang terdiri dari banyak negara anggota di dalamnya. Selain itu, ECB tidak mewakili satu negara utuh selayak keberadaan bank sentral selama ini yang selalu mewakili satu negara utuh yang berdaulat. ketiga ECB mempunyai satu program kerja mata uang tunggal Eropa (euro) yang sedang berlangsung. Program peluncuran euro sebagai mata uang tunggal Eropa yang kini dipergunakan oleh 12 negara anggota telah berjalan sejak tahun 1999 (yakni peluncuran euro).
Fenomena ECB dengan euro sebagai salah produk utama program mata uang tunggal Eropa adalah merupakan fenomena dalam ilmu hubungan internasional, terutama dalam kajian studi kawasan, dan ekonomi internasional. Dalam studi kawasan akan terlihat bahwa kawasan Eropa Barat ini adalah suatu kawasan yang sedang melakukan integrasi regional yang utuh dan menyeluruh, sehingga bisa terbangun kekuatan regional yang kuat dan solid. Dalam kajian ekonomi internasional akan terlihat adanya integrasi dalam bidang ekonomi-moneter yang dilakukan oleh negara-negara anggota Uni Eropa atas dasar pertimbangan efektifitas dan efisiensi ekonomi maka program mata uang tunggal Eropa (euro) harus berjalan. Semua hal ini adalah suatu pemikiran baru bagi ilmu hubungan internasional, bahwa negara-negara dalam satu kawasan bisa mengesampingkan unsur-unsur nasionalisme sempit mereka, dengan mengangkat tema regionalisme yang menyatukan negara-negara anggota Uni Eropa dalam bentuk penyatuan mata uang tunggal Eropa (euro).
Program peluncuran mata uang tunggal Eropa telah berhasil dilakukan dengan baik oleh Bank Sentral Eropa. Program kerja mata uang, tunggal Eropa ini telah memakan proses waktu yang cukup lama. (kurang lebih sejak adanya Perjanjian Paris tahun 1951, ide penyatuan ekonomi-moneter Eropa ini telah ada). Saat ini, ECB adalah satu-satunya institusi moneter Uni Eropa yang bertanggung jawab penuh atas jalannya program mata uang tunggal Eropa (euro). Oleh sebab itu, maka penulis mengemukakan suatu pertanyaan penelitian tentang hal tersebut yakni : " Apa peranan Bank Sentral Eropa dalam peluncuran mata uang tunggal Eropa (euro)?
Adapun berkenaan dengan konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah konsep peranan dan konsep integrasi (dalam bidang regional, dan bidang ekonomi) yang dilakukan oleh bank sentral Eropa. Metode penelitian yang dipergunakan metode penelitian histororis. Metode penelitian sejarah ini telah meliltat adanya perkembangan-perkembangan yang tejadi pada tiga waktu perencanaan EMU. yakni waktu, persiapan atau perencanaan, waktu, konsolidasi dan waktu pelaksanaan atau peluncuran.
Hasil dari penelitian ini terlihat bahwa adanya peranan yang dilakukan oleh Bank Sentral eropa dalam peluncuran mata uang tunggal euro. Peranan ECB tersebut adalah sebagai pengontrol stabilitas di kawasan pemberlakuan Euro sebagai financial stability and role of central banks in banking supervision. Selain itu ECB itu baru sebagai pengawas dari lima persyaratan konvergensi EMU bagi negara-negara anggotannya. agar program mata uang tunggal Eropa ini bisa tetap berjalan dengan lancar dan haik sesuai yang diharapkan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muliadi Widjaja
"The literature is trying to explain the effectiveness of monetary policy in Indonesia in influencing the exchange rate under fixed and flexible exchange rate regime. The analysis is combined with their capital mobility relationship. The explanation based on the Mundell's famous trinity : The incompatible among fixed exchange rate, independent monetary policy and perfect capital mobility. The object of the research is Indonesia exchange rate experience between 1970-1994. Under the condition of sticky domestic price level and uncovered purchasing power parity, by using the two-countries asset-market model, the estimation of Indonesia exchange rate movement under fixed exchange rate regime (1971.1-1978.3) proved the Mundell's theorem, that the monetary policy does not compatible with the fixed exchange rate, while the liberalization of capital account did not followed by the opening of capital market, which made the condition of imperfect capital mobility because the capital is easy to move out but hard to move in. The condition was exacerbated with the financial repression at the time. Meanwhile under the preliminary period of flexible exchange rate, besides the imperfect capital mobility condition issue whis is caused by the not-well developing capital market, there is also a sequencing issue which impede the monetary policy. The issue was due to the lateness of the government to move the financial barriers under financial repression : The peg of interest rate and the peg of credit ceiling. While the flexible exchange rate regime had begun on the late of 1978, the financial repression barriers just removed out in the mid of 1983. One compulsory macro-economic condition which has to be fulfilled in order the monetary policy to have effectiveness in influencing the exchange rate under the flexible regime is the ability of interest rate to move up and down as needed. Otherwise, the result is somewhat alike with the monetary policy under the fixed exchange rate. This is shown up by the estimation in the period 1978.3-1983.2. This also explain why the 1982 monetary policy did not have the influence on the nominal exchange rate fluctuation, but succesfully made the inflation move slowlier. The estimation under flexible exchange rate after 1983 shows that the monetary policy is compatible with the flexible exchange rate, but still before 1988, the capital market had not been developed. The capital market was develop after the 1988 deregulation policy and it was integrated with the international market after 1992. This explain that some of the monetary policy had have the influence on the small fluctuation of the nominal exchange rate. Among those are the 1987 sterilitation policy and the 1990 tight money policy. While the 1991 sterilization policy, did not create any fluctuation on the nominal exchange rate. A small apreciation at the end of 1993 1 believed, was caused by the movement of short run capital. The estimation for the causality of the monetary policy and capital mobility to the exchange rate has shown that for the observation period, the monetary policies which have the effect on the variance of the exchange rate are the removed of the peg of the interest rate out, the sterilization policy and the 1988 reserve requirement policy. Capital mobility did not have the effect to the exchange rate variance."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
S19203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>