Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aji Yudistira
"Seni adalah salah satu perwujudan ekspresi dari manusia untuk mengungkapkan eksistensinya. Dan berbicara tentang seni maka yang menjadi permasalahan pokoknya adalah keindahan atau yang lebih dikenal dengan istilah estetika. Estetika ini tercipta atas dasar implementasi kreativitas dari cipta, rasa, dan karya dari manusia. Karena itu, estetika atau keindahan berfungsi sebagai jiwa dan seni sekaligus sebagai sistem kebudayaan di dalam berkesenian, yang didalamnya terdapat nilai-nilai, pedoman, gagasan-gagasan vital, dan keyakinan-keyalinan manusia di dalam berkesenian.
Kesenian itu sendiri termasuk ke dalam jenis kebutuhan integratif manusia, yaitu suatu kebutuhan yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan bersifat universal, tanpa mengenal ruang dan waktu. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia selain diharuskan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya untuk bisa bertahan hidup, ia juga harus menghadapi kebutuhan spiritual, salah satunya adalah kebutuhan keindahan.
Macam-macam bentuk kesenian, salah satunya adalah seni pertunjukan yang termasuk di dalamnya drama atau teater. Kabuki termasuk teater tradisional Jepang, merupakan salah satu dari empat seni pertunjukan tradisonal Jepang yang terkenal.
Pada masa-masa sebelumnya, di Jepang, khususnya dalam bidang seni, pertunjukan tidak pernah diciptakan dan kalangan rakyat biasa (shomin).Seperti halnya seni dan sastra telah berkembang di kalangan kaum bangsawan atau samurai (zaman sebelum kinsei). Berkaitan dengan hal tersebut, kabuki diciptakan oleh rakyat biasa (shomin) sebagai sarana komunikasi yang memuat pemikiran, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat Jepang menengah bawah berfungsi sebagai sarana untuk untuk memperkenalkan Jepang kepada dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususny. Dengan demikian untuk dapai mengapresiasi kesenian rakyat Jepang ini perlu mengkaji konsep keindahan dan makna simboliknya.
Salah satu ekspresi keindahan kabuki terdapat dalam tehnik peran atau Enshutsu.. Tehnik peran (enshutsu) di dalam kabuki ini mewujudkankekhasan dari seni pertunjukan tersebut, karena di dalam tehnik peran (enshutsu) ini terdapat gaya atau sytle yang menjadi kekhasan kabuki tersebut. Karena itu tehnik peran ini dipilih oleh penulis untuk mengkaji bentuk ekspresi keindahan di dalam kabuki. Ada 3 konsep keindahan pada kabuki, yaitu youshiki, hikinbi dan hiteibi.
Berkaitan dengan paparan di alas, muncul permasalahan mengenai perwujudan pertunjukan kabuki berdasarkan ketiga konsep diatas, yakni mengkaji tehnik peran dalam kabuki secara estetis dan mencari makna simbolisnya, serta makna yang tersirat maupun tersurat di dalam pertunjukan tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau mengidentifikasikan, menjelaskan, dan memahami tentang pertunjukan Kabuki khususnya Yoshitsune Sembonzakura, nilai-nilai estetika youshikibi, hikinbi, dan hiteibi yang diekspresikan dalam pertunjukan Yoshitsune Sembonzakura, serta makna yang terkandung dalam tehnik peran atau enshutsu dalam cerita Yoshitsune Sembonzakura pada seni pertunjukan kabuki. Dengan membatasi pada unsure keindahan kabuki yang terdapat pada tehnik peran (enshutsu) khas kabukiyang muncul pada midokoro dalam pertunjukan Yoshitsune Sembonzakura.
Mengacu kepada permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, diperlukan teori-teori untuk memecahkan permasalahan tersebut diatas, yaitu : teori budaya, kesenian, karya seni, estetika dan estetika seni pertunjukan youshikibi, hikinbi, dan hiteibi. Selain itu digunakan juga teori semiotik sebagai acuan di dalam menganalisis data.
Metode yang dipakai di dalam penulisan ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan metode kepustakaan, dan observasi pertunjukan teater kabuki melalui rekaman pertunjukan untuk memperoleh data."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20229
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Yudistira
"Seni merupakan implementasi kreativitas dari cipta, rasa, dan karya sehingga menciptakan suatu estetika. Di sisi lain, kesenian telah masuk ke dalam klasifikasi jenis kebutuhan integratif, suatu kebutuhan yang berkaitan dengan pengungkapan rasa keindahan secara universal. Teater sebagai salah satu bentuk kesenian, juga telah menjadi kebutuhan integratif bagi kehidupan manusia.
Pada awalnya, teater adalah suatu bentuk upacara tradisional yang bertujuan untuk memuja dewa-dewa. Seiring dengan perkembangan budaya, yang bersifat dinamis, teater pun mengalami perkembangan. Pada awalnya seni teater bersifat religius. Namun bersamaan dengan perkembangan budaya, terjadi pergeseran nilai seni teater dari ritual menjadi sebuah seni pertunjukan. Di Jepang seni pertunjukan teater juga mengalami perubahan, dari yang bersifat retigius menjadi sebuah seni pertunjukan..."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S13487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nison, Steve
Jakarta : Elex Media Komputindo, Gramedia, 2010
915.2 NIS j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Destriani
"Penelitian ini membahas mengenai hubungan modernisasi yang terjadi pada zaman Meiji dengan pekembangan gaya busana khas Barat di Jepang yang penelitiannya dilakukan dengan menggunakan metode kepustakaan dan dibantu dengan metode penelitian sejarah. Penelitian ini menggunakan dasar teori modernisasi dan juga dasar teori mengenai perkembangan fashion atau mode seperti teori leisure class. Dari penelitian ini, ditemukan bahwa beberapa peristiwa dan kejadian saat modernisasi Meiji yang merupakan pendorong terjadinya perkembangan gaya busana Barat di Jepang karena dikatakan bahwa salah satu bukti terjadinya modernisasi yaitu perubahan suatu masyarakat dari yang tradisional menjadi modern dan hal yang dianggap modern saat itu oleh Jepang adalah busana-busana khas Barat.

This study discussed about the connection between modernization that occurred in the Meiji era and the development of Western style clothings in Japan carried out using the library research method and assisted by historical research methods. This study uses the basis of modernization theory and also the basic theory about the development of fashion such as the theory of leisure class. From this study, it was found that several events and occurences that occurred during the Meiji modernization era were the triggers for thedevelopment of Western styleclothing in Japan because it was said that one of the proof that can be used to distinctive a modernization was a change in society from the traditional to the modern and the one that was considered modern by Japan at that time Western style clothing.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dahlia
"Di Jepang, musik memiliki sejarah yang panjang mulai dari zaman kuno hingga saat ini. Begitu banyaknya musik yang mewakili aspirasi masyarakat dari waktu ke waktu, membuat musik ataupun wadah dari musik-musik tersebut masih diakui keberadaannya hingga kini. ini dapat dilihat misalnya dari gedung pertunjukkan Kabuki yang masih terus menyedot penonton.
Entah lakon aktor yang memikat atau kerinduan penonton untuk kembali ke suasana di waktu silam yang tercipta dalam sebuah pementasan, yang jelas Kabuki sebagai salah satu kesenian tradisional Jepang ini tetap hidup dalam hati setiap penggemarnya. Bila kembali ke suasana di waktu silam adalah alasannya maka kontribusi musik Kabuki guna membawa penonton ke zaman yang dipertunjukkan sangatlah besar.
Berbicara tentang musik Kabuki tentunya tidak lepas dari bayangan musik tradisional Jepang. Karena sebagai drama tradisional Jepang adalah hal yang lumrah bila alat-alat yang dipergunakan dalam Kabuki adalah alat-alat musik tradisional Jepang. Seperti yang ditulis oleh William P. Maim' dalam Traditional Japanese Music and Musical Instrument dari lukisan kuno dapat dilihat bahwa alat musik yang mengiringi Kabuki pada awalnya ialah, suling Noh dan tiga macam alat musik pukul.
Pernyataan di atas memperkuat keyakinan penulis bahwa dalam menganalisa musik Kabuki penulis harus berangkat dari sejarah musik tradisional Jepang.Penulis yang memang menyimpan ketertarikan terhadap musik tradisional Jepang menganggap korelasi tersebut di atas merupakan karya yang menarik. Setelahmempelajari sejarah musik tradisional Jepang serta melihat hasil aplikasinya dalam Kabuki, penulis memutuskan untuk memilih musik Kabuki sebagai tema dalam skripsi ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S13526
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kesenian Singo Ulung merupakan kesenian yang hidup dan berkembang di wilayah kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, tepatnya di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang...."
PATRA 10(1-2) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Iswidayati Isnaoen
"The trend of a community or nation to keep maintaining its own identity on the one hand, and on the other hand to be forced to face global challenges is an undeniable symptom. Although globalization as a phenomenon of spreading aboard cultural pattern creates as it were a uniform world, on the other hand there are increasing efforts of certain nations in search of their own cultural identity based on local or national traditional roots.
In such a condition, in this dissertation it is called into question how the Japanese people place themselves and realize themselves in the field of art, especially in the art of painting.
The study has the aim to understand and to provide a comprehensive picture on the position of painting as a cultural living expression in the Japanese community; the change of design and its meaning in the contemporary Japanese of art of painting in the 1980-1990 period; the extra aesthetic factor toward change or the preservation of design and its meaning in contemporary Japanese painting; and wabi-sabi as Zen value expressed in the 1980-1990 period of contemporary Japanese painting. The study is specifically directed toward the contemporary paintings exhibited in the Nitten exhibition of the 1980-1990 period.
Study of the problem is carried out in the framework of the following three strategies. The first strategy of quantitative character is used to obtain a general comprehension on the design of Japanese painting in general. The second strategy of qualitative character constitutes an inter-field study by using various concepts as a unity of explanation, while placing "culture? as its main concept. The third strategy by using a semiotic approach, looks at Japanese contemporary painting as signs formed from visual elements and principles.
Research shows that the Japanese art of painting runs parallel to other forms of art, and is not exempt from religious and natural relations. At certain time also as temple decoration. The development of its aesthetic concept is visible from the shift of the Myabi concept- namely aesthetic values which give priority to luxury, influenced by Chinese and Korean traditional values, toward the Hirrabi concept- mainly focused on values of simplicity- which further on were developed by Sen no Rikyu, later known as wabi-sabi. Afterwards Japanese panting was influenced by Western art, having an impact on the change of function, technique and measurement of paintings, with a trend to be accommodated to interior spatial needs. Painting at that time functioned as decorations of doors, walls, or screens.
Research also shows that Zen Buddhism is oen of extra aesthetic factors toward change in Japanese painting. The value of Zen Buddhism, as one of the religions adhered to by the Japanese community, seems to provide a strong impact on art. Zen teaching, reflected in the wabi- sabi aesthetic system cover two factors. First the external factor consisting of spiritual value, moral teachings and a metaphysical basis; and secondly the external factor functioning as support in order to materialize works of art consisting of quality of substance, material, and techniques.
As a conclusion, Zen culture and its teachings have provided a frame for the realization of Japanese art, and have empirically shown a design of art and artistic aspirations, indicated by simplicity and genuineness reflected in the wabi- sabi aesthetics, covering movement in motionlessness, natural values, and comprehensiveness."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2002
D529
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Avianti
"PENDAHULUAN
Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat yang sangat mencintai alam. Pada umumnya, mereka memberi perhatian besar terhadap fenomena-fenomena alam seperti gunung, sungai, bunga, burung, rumput-rumputan dan pohon-pohonan, yang kemudian gambaran tersebut mereka pindahkan menjadi motif-motif kimono. Mereka juga sangat menikmati perubahan-perubahan yang terjadi di alam, seiring datangnya pergantian musim. Mereka juga mempergunakan peralatan makan yang bergambarkan fenomena alam, serta menghias makanan mereka mengikuti bentuk-bentuk tersebut.
Di dalam rumah, masyarakat Jepang memajang bunga-bunga di dalam vas dan menempatkan tanaman yang telah dirangkai pada ruang tatami, serta melukiskan bunga-bunga sederhana dan burung pada pintu-pintu geser. Mereka juga membuat bentuk miniatur gunung pada taman-taman mereka. Karya-karya sastra masyarakat Jepang juga menggambarkan kedekatan mereka dengan alam. Bila tema alam dikeluarkan dari kumpulan puisi mereka, kemungkinan hanya sedikit yang tersisa. Puisi pendek yang terdiri dari tujuh belas suku kata yang dikenal dengan haiku, tidak mungkin untuk tidak dihubungkan dengan alam (lihat Nakamura, 1974:355-356).
Salah satu ekspresi kecintaan masyarakat Jepang terhadap alam, selain dari yang telah disebutkan di atas adalah pembuatan taman. Terdapatnya keinginan untuk selalu berada dekat dengan alam, membuat masyarakat Jepang berpikir untuk medekatkan alam kepada lingkungan kehidupan mereka seharihari, sehingga diciptakanlah taman-taman (lihat Horton, 2003:9). Namun, tamantaman yang mereka buat, bukan merupakan replika wujud alam yang sesungguhnya. Alam dalam taman Jepang adalah alam yang telah ditafsirkan dan diabstrakkan dalam bentuk simbol-simbol dan merupakan bayangan ideal alam atau intisari alam (lihat Keane, 1996:118-119, lihat juga Engel,1974:5).
Alvin Horton, dalam bukunya All About Creating Japanese Gardens mendefinisikan taman Jepang sebagai berikut:
"...a garden is neither a slice of raw nature enclosed by a wall nor an artificial creation that forces natural material into unnatural forms to celebrate human ingenuity. Instead, it is a work of art that celebrates nature by capturing its essence. By simplifying, implying, or sometimes symbolizing nature, even a tiny garden can convey the impression of the larger, natural world" (2003:6).
Di Jepang, taman bukan merupakan sebidang alam murni yang dipagari oleh tembok atau juga bukan suatu kreasi buatan dengan merubah secara paksa material-material alam menjadi bentuk-bentuk yang tidak alami guna memuaskan akal pikiran manusia. Namun menurutnya, taman merupakan sebuah karya seni yang mengagungkan alam dengan menangkap intisarinya. Melalui penyederhanaan, pengungkapan secara tidak langsung atau juga dengan pembuatan simbol-simbol alam, maka sebidang taman yang kecil sekalipun dapat memberikan kesan yang Iebih luas yaitu alam raya.
Pembuatan taman sebagai sebuah bentuk seni yang utuh diperkenalkan ke Jepang melalui Cina dan Korea pada abad ke-6 atau 7 Masehi. Namun cikal bakal taman telah dikenal oleh masyarakat Jepang sejak zaman kuno. Awalnya, apa yang disebut taman hanya berupa batu yang dikitari oleh tali jerami, yang dikenal dengan nama iwakura (gambar 1.1), yang dipergunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa setempat. Seiring perkembangan zaman, taman-taman mengalami perubahan bentuk dan fungsi yang disesuaikan dengan keadaan pada saat itu.
Dari yang awalnya hanya berupa batu untuk pemujaan animisme, pada zaman Heian (710-794) taman berkembang menjadi taman para bangsawan (gambar 1.2) yang befungsi sebagai tempat pembacaan puisi dan permainan. Selanjutnya, memasuki zaman Kamakura (1185-1333) lahir taman-taman Zen (gambar 1.3), yang dipergunakan oleh para pendeta dan pengikut Zen Budha sebagai sarana meditasi, yang kemudian diikuti dengan munculnya taman teh (gambar 1.4), yang berfungsi untuk melengkapi upacara minum teh yang populer pada zaman Muromachi (1333-1568) dan Momoyama (1568-1600). Perkembangan zaman terus berlangsung dan taman pun terus mengalamami perkembangan. Pada zaman Edo (1600-1868), seiring meningkatnya status sosial para chonin (masyarakat perkotaan: pedagang dan pengrajin), muncul taman tsubo (gambar 1.5) yang terdapat pada rumah para chonin di kota. Dan akhirnya, di zaman Edo lahir pula taman Daimyo (gambar 1.6), yang menjadi kebanggan para daimyo atau penguasa setempat pada saat itu (lihat Keane, 1996:10-112)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagara, Takuzo
Tokyo: Japan Travel Bureau, 1960
709.52 SAG j
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Noguchi, Yone
London: John Murray, 1915
709.52 NOG s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>