Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184838 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mandosir Saiba
"Dengan adanya perubahan paradigma dari sentralisasi kepada desentralisasi, melalui kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk mengkaji apakah dalam implementasi otonomi daerah di kabupaten Manokwari suatu studi awal terhadap penataan kewenangan, kelembagaan dan kepegawaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Manokwari, maka dikemukakan tiga permasalahan : pertama, bagaimana penataan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Manokwari? kedua, bagaimana penataan kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Manokwari? Dan ketiga, bagaimana pula penataan kepegawaian yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten Manokwari pada era otonomi daerah dewasa ini?
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif Sumber datanya adalah informan yang didukung oleh dokumen dan pustaka yang relevan dengan selling dan field penelitian. Instrumen penelitian meliputi peneliti sendiri dengan pedoman wawancara, dengan prosedur penelitian melalui wawancara dan diskusi secara mendalam.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam rangka penataan kewenangan, kelembagaan dan kepegawaian di kabupaten Manokwari, memerlukan suatu perhatian yang serius dari pemerintah daerah, karena sebagaimana di ketahui bahwa ketiga aspek tersebut merupakan satu mata rantai yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya bahwa pegawai yang melaksanakan kewenangan dan menduduki kelembagan yang ada, paling tidak baik dari segi junnlah maupun kualifikasi dapat memenuhi kebutuhan sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik. Karena sebagaimana diketahui bahwa jumlah pegawai yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat di kabupaten Manokwari sebanyak 5.308 orang, dari segi jumlah dikatakan cukup banyak namun dari segi kualitas dirasaitan masih kurang, dan hal ini menjadi permasalahan bagi pemerintah daerah kabupaten Manokwari, oleh sebab itu perlu ada kebijkan dan strategi yang diambil oleh pemerintah daerah kabupaten Manokwari untuk meningkatkan kualitas aparaturnya, sehingga dapat melayani masyarakat dengan baik pada era otonomi daerah yang sedang berjalan dewasa ini."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fujiartanto
"Dalam rangka pemulihan kehidupan sosial ekonomi masyarakat akibat krisis, Pemerintah menerapkan kebijakan reformasi bidang pembangunan dan pemerintahan, diantaranya melalui ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai konsekuensi, daerah otonom (termasuk Kota Depok yang ditetapkan melalui UU No. 15 Tahun 1999) perlu melakukan penataan elemen utama penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang terintegrasi membentuk pemerintah daerah dalam menjalankan peran dan fungsinya secara politis dan administratif, meliputi: (a) adanya kewenangan daerah, (b) dibentuknya perangkat daerah, (c) tertatanya persona (pegawat), (d) tersedianya dukungan keuangan daerah, (e) berfungsinya unsur perwakilan rakyat, dan (f) peningkatan penerapan menajemen pelayanan publik. Mengingat cakupan masing-masing elemen sangat luas, maka dalam penelitian ini hanya membatasi tiga aspek (penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah), yang diharapkan dapat menghasilkan gambaran representatif kesiapan Pemerintah Daerah Kota Depok mengimplementasikan otonomi daerah.
Oleh karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran terfokus pelaksanaan penataan kewenangan daerah, penataan perangkat daerah, dan penataan pegawai daerah, maka penelitian ini bersifat deskriptif anatisis, dengan pendekatan kualitatif dan dilakukan melalui survey lapangan. Teknik interview dan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder, dan pengolahan serta analisisnya dilakukan melalui langkah-Iangkah: pengumpulan data, penilaian data, penafsiran data, dan penyimpulan. lingkup pembahasannya, dengan menerapkan pendekatan campuran, antara pndekatan konseptual dan pendekatan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundangan.
Dalam penelitian menerapkan berbagai konsep dan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah, kewenangan, penataan organisasi, dan personal. Berkaitan dengan implementasi otonomi daerah, penelitian ini memfokuskan tataran pada ketersediaan sumber daya (kewenangan), karakteristik institusi Implementasi (unit organisasi dan penataan personal). Dengan demikian, hasil penelitian tentang Implementasi otonomi daerah belum sampai pada tingkat masyarakat tetapi hanya pada tingkat suprastruktur pemerintahan daerah..Sehingga melalui pendeskripsian pelaksanaan penataan kewenangan daerah, perangkat daerah, dan kepegawaian daerah memberikan gambaran tentang kesiapan Kota Depok mengimplementasi otonomi daerah.
Sebagai implikasi ditetapkannya, Kota Depok sebagai daerah otonom melalui UU No. 15 Tahun 1999, maka dalam implementasinya, Pemerintah Daerah Kota Depok menetapkan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah, diarahkan guna mencapai visi dan misi Kota Depok. Pertama, kebijakan penataan kewenangan diarahkan pada pendesentralisasian kewenangan ke Kecamatan dan Kelurahan. Pemahaman kewenangan yang abstrak menghambat pendelegasian wewenangan. Sesuai dengan Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, menetapkan 22 bidang kewenangan, 166 sub bidang kewenangan, dan 1.511 rindan kewenangan. Pemerintah telah mengakul kewenangan melalui Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002, disertai dengan beberapa catatan verifikasi. Kedua, kebijakan penataan perangkat daerah diarahkan pada penyusunan perangkat daerah yang ramping dan kaya fungsi. Pelaksanaannya, diinformasikan telah mempertimbangkan kewenangan daerah, kebutuhan dan karakteristik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, serta disesualkan visi dan misi Kota Depok.
Berdasarkan Perda Kota Depok No. 47 Tahun 2000 dan Perda Kota Depok No. 48 Tahun 2000, perangkat daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 14 Dinas, 3 UPTD, 1 Cabang Dinas, dan 6 Lembaga Teknis Daerah (Badan/Kantor), 6 Kecamatan dan 37 Kelurahan. Namun, dengan ditetapkannya PP No. 8 Tahun 2003, Pemerintah Daerah akan menata kembali perangkat daerah. Ketiga, kebijakan penataan pegawai diarahkan pada peningkatan kapasitas dan kapabilitas pegawai. Telah dilakukan penataan staf 5.964 orang (termasuk dalam jabatan struktural 390 orang), pengembangan pegawai, mutasi, dan penegakkan disiplin pegawai. Dengan dltetapkannya PP No. 9 Tahun 2003, pemerintah daerah akan menata kembali pegawal daerah dengan mengadopsi pola nasional.
Hasil analisa menunjukan bahwa: kebijakan "enam pilar pembangunan" sebagai kebijakan penataan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum konsisten dengan visi dan misi Kota Depok. Pertama, dalam mengidentifikasi kewenangan untuk didelegasikan ke Kecamatan dan Kelurahan, serta diserahkan pada Propinsi, masih mengacu pada kewenangan dari Departeman/LPND, bukan pada Perda Kota Depok No. 46 Tahun 2000, sehingga pelaksanannya tidak konslsten. Penataan bidang kewenangan "Daerah Kota" belum dilakukan, masih terdapat adanya overlapping antar bidang kewenangan; cenderung mempersamakan antara sub bidang, dan rlndan kewenangan dengan suatu kegiatan/aktivitas; serta pelaksanan penataan kewenangan tidak melakukan need assessment Dengan adanya verifikasi, Pemerintah Daerah belum melakukan penyempumaan kewenangan dan rnenyampaikan kepada Pemerintah. Kedua, mengacu pada Kepmendagri dan Otda No. 50 Tahun 2000, menunjukan bahwa organlsasi perangkat daerah Kota Depok memiliki struktur lebih ramping. Namun demiklan, dalam pelakanaan penataan, pembentukan organisasl perangkat daerah belum rnemperhatikan kewenangan daerah, kebutuhan/karakterlstik daerah, kemampuan keuangan dan ketersediaan sumber daya manusia, dan belum sesual visi dan misi Kota Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12460
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruan, Friement F. S.
"Freedom of movement right adalah salah satu hak asasi manusia. Jadi pada dasarnya setiap orang mempunyai hak untuk melakukan perjalanan dalam batas wilayah negaranya sendiri maupun keluar wilayah negaranya. Namun hak kebebasan bergerak tersebut tidak dapat mengurangi hak setiap negara yang berdaulat untuk mengijinkan atau menolak masuk orang asing yang hendak berkunjung kenegaranya. Oleh karena itulah setiap negara mempunyai politik keimigrasian sendiri yang diterapkan untuk menyaring arus lalu lintas orang yang hendak masuk atau keluar wilayah negara diperbatasan. Urusan pemerintahan yang ada diwilayah perbatasan negara adalah urusan nasional tetapi memiliki dimensi internasional. Pada wilayah perbatasan terdapat tugas dan fungsi berbagai departemen tehnis/fungsional pemerintah pusat, dilain pihak urusan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari daerah provinsi, kabupaten/kota dimana wilayah perbatasan itu berada. Karena itu penanganan perbatasan harus secara Iintas sektoral dan lintas departemental dengan melibatkan semua instansi yang teriibat secara fungsional maupun struktural dari tingkat pusat, daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Apakah urusan pemerintahan yang ada diwilayah perbatasan, bagaimana urusan tersebut dikelola, apa yang menjadi kewenangan masing-masing instansi dan bagaimana kewenangan tersebut dikoordinasikan, menjadi satu bahan yang panting untuk dikaji."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Yudha Nofri
"Tesis ini membahas tentang hasil pelaksanaan kebijakan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang selama k'1lrun waktu 9 tahun ini ternyata masih beium memberikan perbalkan di daiarn segi kehidupan masyarakat Papua Sehingga muncul keinginan dari masyarakat untuk menolak kebijakan tersebut dan rnenuntut untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beragarn penyebab munculnya keinginan untuk memisahkan dlrJ tersebut salah satunya karena masyarakat menganggap bahwa pemerintah pusat belum rnampu mensejahterakan rakyat Papua. PeneHtian ini adalah pene1itian kualitatif dengan desain deskriptif analitis dan penelitian intelijen stratejik.
Hasil penclitian ini menyarankan kepada pemerintah pusat bahwa ketldakpuasan masyarakat Papua terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus dapat mengancam integrasi nasionaL Keinginan untuk memisahkan diri tersebut muncul dari sebagi akibat dari adanya konflik-kontlik internal, hubungan antara pusat dan daerah yang tidak harmonis, kontllk pemekaran serta adanya dukungan dari dunia internasionaL Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan pendekatan dari pemerintah terhadap masyarakat Papua yaitu dengan pendekatan budaya dan komunikasi konstruktif yang intensip antara pemerintah dan masyarakat Papua serta peningkatan pelaksanaan lTlJ Otonomi Khusus.

This thesis discusses the results of the impfementation on Special Autonomy Regulation on Papua No. 2112001, that during 9 years of its implementation, was still not provide improvements in terms of the life of the people of Papua Then came the desire from the community to reject this policy and demanded to secede from The Republic of Indonesia. Various causes triggered the desire for secession ofPapuans, for example Papuans assume that the central government has not been able to prosper the people of Papua. The study was a qualitative research design with descriptive analysis and strategic intelligence research.
The results of this study suggest to the central government that the public dissatisfaction towards the implementation of the Papua Special Autonomy Act could threaten national integration. The desire to separate themselves arise as a result of the existence of internal conflicts, the relationship between central and local governments weren't harmonious, region expansion conflict in Papua and the support from the international community. Therefore it is necessary to change the approach of government toward the people of Papua. Using cultural approach, intensive constructive communication between the government and people of Papua and enhancing the implementation of the Special Autonomy Act
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33465
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Thahir R.
"Arus reformasi yang terjadi di Indonesia telah membawa cakrawala baru dalam sistem politik dan pemerintahan yang selama 32 (tiga puluh dua tahun) tidak berubah dan cenderung bersifat stagnan. Karena itu perubahan yang terjadi saat ini dipandang sebagai langkah baru menuju terciptanya Indonesia baru dimasa depan dengan dasar-dasar efesiensi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokratisasi menjadi pilihan wajib bagi kegiatan pemerintahan berdasarkan pertimbangan bahwa hanya pemerintahan yang demakratisiah yang dapat menempatkan manusia pada jati dirinya. Proses demokratisasi itu sendiri sedang berlangsung di Indonesia, dimana saluran-saluran yang dulunya dianggap menghambat demokratisasi telah dibuka secara lebar.
Pada masa kurun waktu Pemerintahan Orde Baru proses pelaksanaan sistem pemerintahan dinilai kurang berhasil. Hal ini terlihat dengan munculnya berbagai kondisi ketidakpuasan di daerah yang menuntut agar Pemerintah Pusat dapat lebih bijak dalam menyikapi permasalahan-parmasalahan di daerah. Ada tiga hal yang menyangkut pemerintahan daerah masa lalu yang dapat kita lihat. Pertama, selama masa tersebut (orde baru) penyelenggaraan pemerintahan di daerah terlalu menekankan prinsip sentralistik dalam pelaksanaannya. Dampak dari kondisi ini adalah banyak hal yang seharusnya bisa diputuskan didaerah, namun karena sistem tersebut harus menunggu persetujuan pusat yang tentunya saja harus melalui birokrasi yang panjang serta membuka kemungkinan korosi, kolusi dan nepotisme pada semua tingkatan. Kedua, akibat tingkat pengaturan yang sebegitu ketat dan kuat dari pusat, berakibat pada minimnya tingkat kreativitas daerah sehingga pemerintah di daerah hanya melaksanakan apa yang diperintahkan dan atas, dan banyak diantaranya yang tidak sesuai dengan kondisi daerah yang bersangkutan. Ketiga, karena aspirasi-aspirasi dari daerah tidak pernah sampai kepusat, maka timbul ketidakpuasan didaerah-daerah yang lama-kelamaan akan menjadi semacam duri dalam daging yang apabila dibiarkan akan menimbulkan sikap berontak terhadap ketidakpuasan tersebut yang bermuara disintegrasi bangsa.
Permasalahan-permasalahan pada sistem pemerintahan yang terjadi pada masa orde baru tersebut merupakan salah satu penyebab lahirnya tuntutan perubahan. Perubahan ini ditandai dengan bergulirnya arus reformasi yang melahirkan otonomi daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan-perubahan inilah yang selanjutnya akan menjadi dasar penelitian dalam penyusunan tesis ini.
Selanjutnya penelitian ini ditujukan untuk melihat implementasi otonomi daerah di Kota Palembang dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Adapun faktor-faktor dimaksud adalah faktor manusia sebagai pelaksana , faktor keuangan yang cukup , faktor peralatan serta factor organisasi yang baik. Namun dalam penelitian ini penulis akan membatasi tingkat penelitian dengan mengkaji faktor organisasi saja, khususnya dalam hal penataan kelembagaan perangkat daerah Kota Palembang .
Adapun yang menarik perhatian penulis untuk lebih mengkaji faktor tersebut adalah dengan melihat proses perubahan sistem pemerintah daerah yang terjadi saat ini, dimana salah satu akibat dari perubahan ini berdampak pada adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah. Kondisi ini pada satu sisi dapat merupakan berkat, namun pada sisi lain sekaligus merupakan beban yang pada gilirannya menuntut kesiapan dari daerah yang melaksanakannya. Artinya daerah tidak boleh bergembira dengan hadirnya kewenangan baru tersebut. Akan tetapi hams berfikir dan berusaha keras agar urusan-urusan pemerintahan yang menjadi urusan rnmah tangga daerah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik atau malah sebaliknya.
Untuk melaksanakan kewenangan urusan pemerintah daerah yang cukup luas tersebut maka diperlukan suatu wadah berupa kelembagaan yang dapat digunakan untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan yang dimaksud dengan baik. Untuk mencapai suatu bentuk kelembagaan yang dimaksud maka diperlukan suatu restrukturisasi kelembagaan dari sistem kelembagaan perangkat daerah yang lama yang selanjutnya akan diadakan perbaikan untuk menghasilkan sistem kelembagaan yang baik dan dapat mengakomodasi semua kenbutuhan masyarakat.
Restrukturisasi organisasi tersebut akan dibahas pada ruang lingkup perangkat daerah dalam hal penataan kelembagaan yang didasarkan pada kewenangan-kewenangan yang harus dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewengangan-kewenangan ini akan diukur dengan melihat kewenagan yang harus dimilki oleh Pemerintah Daerah dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (basic services), potensi unggulan daerah (core competencies) dan kewenangan-kewenangan normative dan yang dibutuhkan oleh Pemerintah daerah Kota Palembang.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan terlihat bahwa Pertama, terjadi restrukt ulsasi lembaga perangkat daerah. Restrukturisasi ini merupakan jawaban dari konsekuensi perubahan yang dibawa oleh arus reformasi kearah globalisasi dan masyarakat yang telah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini masyarakat mulai kristis melihat rantai hirarki dalam organisasi pemerintah daerah yang terlalu panjang dan kadang menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih baik (better) dan lebih murah (cheaper). Kedua, secara garis besar lembaga perangkat daerah yang sudah terbentuk sudah sesuai dengan lembaga perangkat daerah hasil analisis yang akan direkomendasikan. Ketiga, terdapat beberapa lembaga perangkat daerah yang belum dibentuk berkaitan dengan fungsi lembaga perangkat daerah untuk melaksanakan kewenangan yang harus dimiliki oleh Pemerintah daerah Kota Palembang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9251
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathan Ali Mubiina
"

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis normatif terhadap hubungan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam penetapan kebijakan dan pengelolaan Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sebagaimana diketahui, menjadi suatu keniscayaan atas urusan pemerintahan konkuren yang telah diberikan kepada pemerintahan daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daaerah pasca terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Dalam rangka mengedepankan kondisi dan karakteristik daerah otonom dalam penyelenggaraan pendidikan, Pusat dan Daerah wajib melaksanakan penyelenggaraan pendidikan secara desentralisasi berdasarkan prinsip otonomi daerah pasca Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 hadir. Akan tetapi, produk hukum Permendikbud No. 51 Tahun 2018 jo. Permendikbud No. 20 Tahun 2019 tentang PPDB TK, SD, SMP, SMA, dan SMK tidak memberikan ruang bagi otonomi daerah dan desentralisasi. Hal ini disebabkan, sifat peraturan menteri a quo masih mengikuti Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan tidak mempertimbangkan asas dan norma otonomi daerah pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014. Atas hal itu, Permendikbud No. 51 Tahun 2018 jo. Permendikbud No. 20 Tahun 2019 menimbulkan polemik di masyarakat. Sehingga, sepatutnya Pusat dan Daerah mengedepankan hubungan kewenangan yang telah dibentuk dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

 


This research attempts to analyze normatively of the relationship of authority possessed by the Central Government and Regional Governments in determining policies and managing the Zone of New Student Reception (PPDB). As we know, it is a necessity for concurrent government affairs that have been given to regional governments to be the basis for the implementation of regional autonomy after the issuance of Law No. 23 of 2014. In order to prioritize the conditions and characteristics of autonomous regions in the administration of education, the Central and Regional Governments must carry out the implementation of education in a decentralized manner based on the principle of regional autonomy after Law No. 23 of 2014 is present. However, Permendikbud's legal product No. 51 of 2018 jo. Permendikbud No. 20 of 2019 concerning PPDB TK, SD, SMP, SMA and SMK did not provide space for regional autonomy and decentralization. This caused by the nature of the a quo ministerial regulation which still follows Law No. 20 of 2003 concerning the National Education System and not consider the principles and norms of regional autonomy in Law No. 23 of 2014. For that matter, Permendikbud No. 51 of 2018 jo. Permendikbud No. 20 of 2019 caused polemic in the community. Therefore, it is fitting for the Central and Regional Governments to prioritize the relationship of authority that has been established in Law No. 23 of 2014 concerning Regional Government.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Yatiman
"Pelaksanaan otonomi seluas-luasnya pasca reformasi berdampak pada meningkatkan keinginan daerah untuk melakukan pemekaran daerah. Pemekaran daerah di Indonesia menjadi fenomena yang tidak dapat dibendung. Pembentukan DOB di Kabupaten Paser merupakan salah satu upaya untuk mensejahterakan rakyat melalui pemerataan pembangunan dan mendekatkan pelayanan publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditujukan untuk menganalisis dinamika pembentukan DOB Kabupaten Paser Tengah dan Kabupaten Paser Selatan di Kabupaten Paser.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa proses pembentukan DOB di Kabupaten Paser memiliki banyak hambatan karena adanya perebutan daerah yang menjadi wilayah cakupan terhadap dua calon DOB dan adanya konflik penetapan ibukota. Konflik dalam pembentukan DOB di Kabupaten Paser mempengaruhi ketahanan daerah di bidang keamanan.

The implementation of autonomy after the reform impact on proliferation of administrative regions. The formation of new autonomous region in Paser Municipal is one of efforts of people welfare provision through equitable development and public service. This study used qualitative to analyze the dynamic of new autonomous region of Central Paser Municipal and South Paser Municipal in Paser Municipal.
The result of the study showed the process of forming the new autonomous region in Paser Municipal had many obstacles caused by the struggle for territory within the new two autonomous regions and also the conflict in deciding the capital. The conflict of the formation new autonomous region in Paser Municipal affects the security in regional resilience.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulta Levenia
"ABSTRACT
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pelembagaan partai politik dalam kerangka otonomi khusus sebagai sarana resolusi konflik separatisme. Otonomi khusus merupakan pembagian kekuasaan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau pemerintah negara induk kepada wilayah konflik separatisme. Dalam otonomi khusus terdapat kebijakan khusus atau hanya diperuntukkan bagi wilayah yang bersengketa. Salah satunya yaitu kebijakan partai politik lokal. Aceh dan Mindanao memiliki persamaan dan perbedaan dalam konteks konflik separatisme dan resolusi konflik. Persamaan utama yaitu terdapat kelompok pemberontak yang menginginkan kemerdekaan di kedua wilayah, perbedaan utama yaitu resolusi konflik yang gagal di Mindanao sedangkan berhasil di Aceh dengan indikator berhentinya konflik separatisme. Argumen utama penulis dalam penelitian ini adalah partai politik lokal sebagai sarana resolusi konflik yang menjadi faktor berakhirnya konflik separatisme di Aceh antara GAM dan GoI namun tidak berhenti di Mindanao antara MNLF/MILF dan GRP. Kegagalan di Mindanao ini berdasarkan indikator masih berlanjutnya konflik setelah perjanjian perdamaian Tripoli pada tahun 1976 antara MNLF dan GRP. Berlanjutnya konflik tersebut menyebabkan munculnya kelompok pemberontak lain seperti MILF, BIFF, dan Abu Sayyaf Group. Permasalahan ini kemudian membawa penulis kepada argumen kedua yaitu dengan terdapat sentralisasi kelompok pemberontak, maka memudahkan proses perdamaian konflik separatisme. Selanjutnya penulis juga menemukan bahwa konflik separatisme tidak mencapai resolusi, jika kesepakatan otonomi khusus tidak mengatur partai politik lokal, karena kekuasaan yang diserahkan terpusat pada pemimpin kelompok pemberontak. Penulis melakukan analisis menggunakan teori yang dikembangkan oleh De Zeeuw (2009), yang menjelaskan empat aktor atau lembaga yang berperan dalam pelembagaan partai politik lokal, yaitu; aktor internasional, kelompok separatis atau pemberontak elit politik dan elit domestik. Penelitian ini bersifat kualitatif eksplanatif dengan komparasi menggunakan metode process tracing untuk membangun kesimpulan penelitian.

ABSTRACT
This study aims to analyze the impact of institutionalizing political parties within the framework of special autonomy as a medium of conflict separatism resolution. Special autonomy is the division of power that is surrendered by the central government or the parent state government to the territory of separatist conflict. In special autonomy there is a special policy or policy that only intended for the disputing region. One of them is the policy of local political parties. Aceh and Mindanao have similarities and differences in the context of separatist conflict and conflict resolution. The main equation is that there are rebel groups fighting for independence in the two regions, the main difference is the resolution conflict in Mindanao unsuccessful while succeed in Aceh with the cessation of the separatist conflict indicator. The main argument in this study is, local political parties as a medium of conflict resolution is a factor in the successful on ended the separatist conflict in Aceh between GAM and GoI but does not cease the conflict in Mindanao between MNLF / MILF and GRP. This failure in Mindanao is based on the indicator that the conflict continues after the Tripoli peace agreement in 1976 between MNLF and GRP. The continuation of the conflict led to the emergence of other rebel groups such as the MILF, BIFF, and the Abu Sayyaf Group. This problem then brings the writer to the second argument, namely by centralizing the rebel group, thus ease the peace process of separatist conflict. Furthermore, the authors also found that separatist conflicts did not reach a resolution, if the special autonomy agreement did not regulate local political parties, because the power handed over was centered on the leaders of the rebel group. The author conducts an analysis using a theory developed by De Zeeuw (2009), which describes four actors or institutions that play a role in institutionalizing local political parties, namely; international actors, separatist groups or rebels of political elites and domestic elites. This research is qualitative explanatory by comparison using process tracing method to construct research conclusions."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Husein
"Aceh menjadi salah satu daerah yang memiliki status otonomi khusus di Indonesia. Salah satu kekhususan yang dimiliki Aceh adalah diberlakukannya Qanun sebagai implementasi otonomi khusus berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan Peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun, yang menjadi persoalan dalam pemberlakuan Qanun adalah mengenai batasan materi muatan dan juga kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai bahan untuk memahami dan menganalisa persoalan. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan Qanun merupakan perundang-undangan dengan derajat setingkat peraturan daerah yang berlaku di Provinsi/Kabupaten lain di Indonesia.

Aceh is one of the regions that has special autonomy status inIndonesia. One of Aceh’s specialties is the enactment of Qanun as the implementation of special autonomy based on article 18 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. In addition, in article 18 paragraph (6) of The Constitution of the Republic of Indonesia 1945 stated that regional governments have the right to stipulate regional regulations and other regulations to carry out regional autonomy. However, what becomes a problem in enforcing the Qanun is regarding the limitations of content and also its position in the hierarchy of  laws and regulations in Indonesia. In this research, a normative juridical research method is used which makes law and regulations as material for understanding and analyzing problems. The results obtained in this study show that Qanun are law with a degree on the same level as regional regulations that apply in other provinces/regincies in Indoneisa."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: MSP, 1985
352.007 BEB b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>