Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161539 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andean Salmon
"Salah satu tujuan pembangunan adalah menciptakan distribusi pendapatan yang lebih adil dan merata antara satu region dengan region lainnya. Pembanaunan dapat terjadi apabila ada aktivitas ekonomi yang bertumbuh di dalamnya, khususnya pada daerah yang baru berkembang, perbedaan SDA dan barang modal (capital stock) akan mempunyai penoaruh yang sangat besar terhadap perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah yang memiliki barang modal iebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dei Egan daerah yang memiliki sedikit barang modal.
Perbedaan pendapatan karena perbedaan kepemilikan awal faktor produksi tersebut menurut teori neoklasik akan dapat dihilangkan atau dikurangi melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Dengan proses tersebut hasil pembangunan akan menetes (trickle down) dan menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru.
Peneilitan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di Propinsi Sumatera Utara selama 21 tahun (1983-2003) jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan disparitas distribusi pendapatan regional serta kemungkinan terjadinya transformasi sektoral (pergeseran dari sektor primer Ice sektor sekunder).
Untuk mengkaji permasalahan di atas, penelitian ini menggunakan formula Indeks Williamson (CVw) .dan Indeks Theils. Sedangkan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya transformasi sektoral di!akukan perhitungan rasio NTB sektor primer terhadap total PDRB setiap tahunnya dan tingkat laju pertumbuhan PDRB sektorai.
Berdasarkan hasil pene!!tan, ditemukan laju Pertumbuhan Produk Domestik Brutto (PDRB) Propinsi Sumatera Utara rata-rata per tahun tanpa rnigas tei nyata menghasiikan pertumbuhan yang iebih tinggi (6,58%) daripada dengan migas (5,91%). Hal ini disebakan SDA yang sangat dominan terdapat pada sektor pertanian. Sedangkan laju pertumbuhan PDRB menurut region erat kaitannya dengan tingkat aktivitas ekonomi yang terjadi disetiap region. Laju pertumbuhan rata-rata tertinggi terdapat pada Region Pantai Timur bagian Selatan sebesar 7,70%, diikuti, region pegunungan sebesar 6,32:'c, region pantai tirnur bagian utara sebesar 6,31% clan region pantai barat sebesar 6,15%.
Peranan PDRB Sektoral terhadap total PDRB selama 21 tahun sangat erat kaitannya dengan keberadaan sumberdaya alam. Sektor pertanian merupakan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB yaitu di atas 30% dari total PDRB setiap tahunnya, sedangkan sektor penggalian merupakan kontribusi terkecil yaitu di bawah 0,53% dikarenakan tidak semua region memiliki sumber daya alam tersebut. Sedangkan menurut region, region pantai timur bagian utara menyumbangkan PDRB yang terbesar yaitu di atas 40% setiap tahunnya dan yang terkecil region pantai barat di bawah 15% setiap tahunnya.
Sementara itu kontribusi PDRB sektoral menurut region, region pegunungan menyumbang terbesar untuk sektor pertanian yaitu 11,15% dari total PDRB, region pantai timur bagian utara menyumbang sektor industri dan perdzgangan yang terbesar yaitu masing-masing 8,39% dan 9,75%.
Perkembangan nilai CVw di Propinsi Sumatera Utara selama kurun waktu 21 tahun (1983-2003) cenderung mengalami fluktuasi. Periode 1983-1987, nilai CVw rata-rata relatif konstan (0,269) dengan peaturnbuhan ekonomi sebesar 6,97%. Nilai Indeks Theils untuk Tw berkisar 0,0104-0,0159 (16,18%-21,34%) lebih kecil dan Indeks Theils Tb yaitu berkisar 0.0535-0,0587 (78,66%-80,99%). ini artinya disparitas yang terjadi pada periode ini disebabkan oleh disparitas antar region (Tb).
Periode 1988-1992 adalah merupakan periode disparitas, karena nilai CVw rata-rata mencaoai nilai yang tertinggi yaitu sebesar 0,357 dan pertumbuhan ekonomi rata--rata sebesar 9,42%. Te~ladi trade-off antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan, dimana Hipothesis Simon Kuznets dengan U terbalik terjadi pada periode ini. Sejalan dengan itu, Indeks Theils, ketimpangan yang terjadi cenderung meningkat, dimana nilai indeks Tw berkisar 0,0131-0,0266 dan nilai Tb 0,0541-0,0740.
Periode 1993-1997, terjadi penurunan nilai CVw rata-rata menjadi 0,311 sebagai akibat dari dampak krisis ekonomi sehingga terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi rata-rata menjadi 5,68%. Disparitas di dalam region (Tw) mengalami fluktuasi berkisar antara 0,0146-0.0167 sedangkan antar region (Tb) berkisar 0,0568-0,0647.
Pericde 1998-2003, pemekaran wilayah membawa pengaruh pads peningkatan disparitas regional, sedangkan dampak otonomi daerah (2001-2003) Lelum terlihat dengan jelas. lni disebabkan waktu pengamatan yang terlalu singkat untuk melihat dampak yang terjadi terhadap suatu kebijakan yang dibuat. Akan tetapi dalam periode tersebut setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Indeks Theis Tb dalam periode ini cenderung mengalami peningkatan. sebagai akibat pulihnya kembali roda perekonomian yang hancur akibat krisis ekonomi.
Keberadaan sektor pertanian di hampir semua region ternyata dapat dijadikan sektor penyangga (buffer) terhadap disparitas. Hal ini terbukti dimana nilai CVw dengan sektor pertanian CVw rata-rata selama 21 tahun sebesar 0,308. Sedangkan tanpa sektor pertanian sebesar 0,570. sementara itu Indeks Theils tanpa sektor pertanian menyebabkan terjadinya disparitas yang tinggi antar region (Tb) berkisar 0,0868-0,1269.
Trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan (CVw) sangat dipengaruhi dari keadaan aktivitas ekonomi didaerah yang diindikasikan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi cenderung akan meningkatkan Indeks Williamson (CVw). Sedangkan pada saat pertumbuhan ekonomi yang rendah (negatif), Indeks Williamson cenderung menurun. Ini terbukti pada scat terjadi krisis ekonomi dimana pertumbuhan ekonomi negatip berpengaruh terhadap Indeks Williamson yang rnenurun. Sementara itu, pasta pemekaran wilayah ternyata membawa pengaruh terhadap Indeks Williamson (CVw) yang cendei-ung rnenurun.
Propinsi Sumatera Utara selama kurun waktu 21 tahun (1983-2003) telah mengalami perkembangan pada masing-masing sektor. Sektcr Pertanian masih tetap memberikan kontribusi yang paling besar terhadap pernbentukan total PDRB, diikuti sektor industri dan sektor perdagangan. Dengan demikian, belurn terbukti terjadi transformasi sektorai dari sektor pertanian ke sektor industri."
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wan Ruslan Abdul Ghani
"Seiring dengan perkembangan pembangunan, dirasakan model ekonomi agregat menjadi tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan apabila kegiatan tersebut masuk ke dalam suatu dimensi ruang. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah suatu model yang bukan saja dapat menggambarkan jenis, lokasi dan pelaku kegiatan ekonomi tetapi juga mampu memberikan analisis tentang dampak langsung, tidak langsung dan terimbas (induced effects) dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang direncanakan. Model seperti ini sebenarnya tidak hanya dibutuhkan oleh para perencana dan pengawas pembangunan, tetapi juga oleh para politisi. Analisis inter-regional input-output merupakan salah satu alat yang sangat tepat dan bersifat komprehensif jika dipakai untuk menjelaskan dan rnenganalisis hubungan keterkaitan antar daerah dan antar sektor dalam suatu perekonomian.
Penelitian ini lebih menekankan pada tujuan membuat tabel input-output antar daerah (IOAD, Inter-Regional Input-Output) Propinsi Lampung atas dasar harga produsen tahun 1997 dengan menggunakan metode non-survey, dimana diuraikan secara rinci tentang proses dan tahapan sejak dari awal hingga penyusunan tabel akhir. Disamping itu sebagai analisis tambahan, juga dilihat pola keterkaitan antar sektor; ketergantungan antar daerah; besarnya efek multiplier; analisis dampak; serta dilihat pula prioritas sektor unggulan dengan memperhatikan keterkaitan antar kabupaten/kota di Propinsi Lampung.
Pola keterkaitan dan ketergantungan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung dilihat dengan menggunakan pola keterkaitan ke depan (Forward Linkage), dimana suatu sektorldaerah berperan sebagai pemasok bahan bake ke sektorldaerah lainnya yang bergerak di industri bilk; serta pola keterkaitan kebelakang (Backward Linkage), dimana suatu sektor / daerah sangat berperan sebagai pengguna / pembeli produk / output yang dihasilkan suatu sektor / daerah yang bergerak di industri hulu. Besarnya efek multiplier dan analisis dampak dilihat dengan menggunakan inners matrik teknologi leontief. Sedangkan prioritas sektor unggulan di Propinsi Lampung dilihat dengan memperhatikan kemampuan sektor / daerah tersebut dalam memasok industri-industri hilir, kemampuan menyerap produksi industri-industri hulu serta kemampuan sektor tersebut dalam menghasilkan output, yang kesemuanya diukur dengan menggunakan indeks prioritas.
Manfaat penelitian ini disamping dapat merberikan solusi baru bagi penyusunan perencanaan pembangunan daerah terutama yang berkaitan dengan aspek keterkaitan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung yang selama ini belum pernah dilakukan, juga sebagai penerapan pendekatan akademis dan pengembangannya dalam menyusun perencanaan regional khususnya di Propinsi Lampung.
Tabel akhir IOAD Propinsi Lampung dapat diperoleh setelah melakukan penyesuaian dengan menggunakan metode RAS melalui prosedur itterasi dengan kontrol matrik R dan. S, dimana Tabel tersebut berhasil disusun setelah melakukan itterasi sebanyak 269 kali.
Berdasarkan nilai indeks Forward Linkage dan Backward Linkage terlihat bahwa nilai indeks Forward Linkage tertinggi adalah 4,46 pada sektor 28 (perdagangan) di Kebupaten Lampung Selatan dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (Kehutanan) di Kota Bandar Lampung. Sedangkan nilai indeks Backward Linkage tertinggi adalah 1,65 pada sektor 22 (industri semen dan kapur) di Kabupaten Lampung Tengah dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (kehutanan) di Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan Keterkaitan ke depan, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemampuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hilir baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Utara, Lampung Tengah, Bandar Lampung dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan tersebut sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kota Bandar Lampung, Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Barat.
Berdasarkan keterkaitan ke belakang, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemarnpuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hulu baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Tengah, Bandar Lampung, Lampung Utara dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Lampung Barat, Bandar Lampung, Lampung Tengah dan Lampung Utara.
Berdasarkan urutan prioritas dari 1 s/d 25, ternyata Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah memiliki 7 sektor, Kota Bandar Lampung memiliki 6 sektor, Kabupaten Lampung Utara memiliki 4 sektor dan Kabupaten Lampung Barat memiliki 1 sektor. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Kota Bandar Lampung memiliki peranan yang cukup tinggi dalam meningkatkan output Propinsi Lampung, serta memiliki daya dukung yang besar terhadap pengembangan sektor-sektor lainnya di bagian hilir dan di bagian hulu yang terdapat tidak hanya di dalam Kabupaten/Kota itu sendiri tetapi juga di daerah lain dalam Propinsi Lampung.
Dampak konsumsi masyarakat terhadap pembentukan NTB terbesar pada NTB Kabupaten Lampung Selatan, dampak konsumsi pemerintah terbesar pada NTB di Kota Bandar Lampung, dampak PMIDB terhadap NTB terbesar pada Kota Bandar Lampung, dampak perubahan stok terhadap NTB terbesar di Kabupaten Lampung Selatan, sedangkan dampak ekspor netto terhadap NTB terbesar di Kota Bandar Lampung."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Shovie Adi Samabta Bhakti
"Penelitian ini mencoba untuk mencermati gejala terjadinya kesenjangan antardaerah yang dilatarbelakangi oleh isu-isu pembangunan nasional yang selama ini cenderung terpusat di Pulau Jawa. Mekanisme trickle down effect yang diyakini dapat terjadi/menyebar, ternyata dalam penerapannya tidak sedikit mengalami hambatan.
Lebih lanjut, seringkali dalam pembicaraan mengenai kesenjangan antardaerah mengacu pada persoalan dikotomi antara region Jawa dan Luar Jawa. Padahal di Jawa sendiri pun terdapat kemungkinan terjadinya kesenjangan antardaerah (provinsi). Oleh karena itu, pada kesempatan ini dilakukan pengamatan mengenai gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa ditinjau dari perspektif sektoral dan regional selama periode 1983-2001 dengan menggunakan data PDRB migas atas dasar harga konstan 1993.
Dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Theil Inequality dapat ditemukan beberapa hal, antara lain: pertama, sejak tahun 1983 hingga tahun observasi tahun 2001, masih terjadi kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dan mengalami trend kesenjangan antardaerah yang relatif menaik. Kedua, kondisi ini dipicu pula oleh peningkatan besamya kontribusi sektor industri yang mampu mendorong terciptanya 'peran' pada sektor jasa di Pulau Jawa (derived demand). Ketiga, secara empiris terbukti, bahwa di Pulau Jawa telah terjadi transformasi stuktural. Keempat, dengan menggunakan indikator konsumsi perkapita cenderung lebih baik untuk menggambarkan tingkat kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa dibandingkan dengan indikator PDRB perkapita. Kelima, kesenjangan antardaerah pasca pemekaran wilayah di Pulau Jawa yang cenderung menaik. Keenam, perekonomian DKI Jakarta mempunyai peran yang sangat penting dan strategis terhadap perekonomian yang lebih luas atau dengan kata lain telah melampaui batas-batas provinsi, terutama terhadap gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa.
Adapun beberapa saran atau pun rekomendasi yang lebih bersifat pertimbangan, antara lain: pertama, pembangunan ekonomi harus dijalankan secara sinergis dengan mempertimbangkan leading sectors tiap-tiap daerah. Kedua, para pelaku ekonomi ataupun para stakeholders kebijakan publik, agar lebih serius mendeteksi isu-isu atau variabel-variabel yang secara umum dapat mendorong gejala terjadinya kesenjangan antardaerah di Pulau Jawa. Selanjutnya, keempat, penelitian lanjutan dianjurkan menggunakan sumber data pada tingkatan kabupaten/kota atau bilamana memungkinkan pada tingkatan kecamatan. Hal ini mengingat, studi yang mengandalkan data provinsi akan cenderung bias terhadap ekonami perkotaan dan secara umum heterogenitas tiap-tiap provinsi yang terlalu besar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13213
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atik Yulianti
"Penelitian ini menganalisa faktor-faktor yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan kecenderungan tingkat disparitas antar Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada periode 2005-2012. Penelitian ini menggunakan model regresi data panel fixed effect dan menggunakan indeks Williamson serta indeks Theil untuk mengukur disparitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada periode 2005-2012, (1) investasi pemerintah, pendapatan asli daerah (PAD), tenaga kerja serta aglomerasi industri signifikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (2) Terjadi disparitas yang fluktuatif dengan kecenderungan menurun dan tergolong rendah. (3) Tingkat disparitas antar daerah di pulau Bangka lebih lebar dibandingkan dengan tingkat disparitas antar daerah di pulau Belitung dan disparitas antar pulau Bangka dan pulau Belitung.

The objective of this study is to analyze the factors that affecting economic growth and disparities trend between Province of Kepulauan Bangka Belitung districts on the period of 2005-2012. To measure the disparities, this study uses panel data regression with fixed effects model, Williamson index and Theil index. The results of this study indicate that on 2005-2012, (1) government investment, regional income, labor and industrial agglomeration have significant and positive effect on economic growth in the Province of Kepulauan Bangka Belitung districts. (2) There are disparities fluctuation with a declining trend and relatively low. (3) The level of disparity between districts in Bangka Island is wider than the disparity between districts in the Belitung Island and Bangka Belitung Island."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T38934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatot Hendrasto
"Salah satu bagi hasil sumber daya alam yang sangat menarik adalah sumber daya alam minyak bumi. Dalam dua tahun terakhir, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang dibagikan sekitar Rp. 11 triliun lebih. Minyak bumi memberikan kontribusi sekitar 50 persen dari seluruh Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yakni lebih dari Rp. 5 trilliun. Berdasarkan data tahun 2001 dari 31 propinsi yang ada di Indonesia, daerah yang dilimpahi sumber daya alam minyak bumi hanya 14 propinsi, dimana daerah Riau memberikan bagian hasil sumber daya alam yang besar sekali, yaitu sekitar 286 juta barrel minyak bumi.
Besarnya Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Minyak Bumi Riau tersebut tentunya akan menarik untuk dikaji lebih mendalam dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang terjadi di propinsi tersebut. Riau diperhitungkan tidak menghadapi kendala fiskal dalam hal keuangan daerahnya sehingga diharapkan merupakan salah satu propinsi yang sanggup membiayai otonomi daerah yang telah digulirkan ini.
Tujuan penelitian ini adalah membuat model keuangan daerah Riau yang menekankan pada pengaruh Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Minyak Bumi bagi pertumbuhan daerah, menganalisis peranan factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan disparitas pendapatan regional Riau, dan memperkirakan implikasi kebijakan publik dengan melakukan simulasi kebijakan berdasarkan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) Minyak Bumi daerah Riau yang dikombinasi dengan pemberian subsidi Pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) bagi pertumbuhan dan disparitas pendapatan regional Riau.
Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah menghubungkan blok keuangan daerah, dimana Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai peubah kebijakan akan dapat mempengaruhi pertumbuhan (PDRB) dan pendapatan per kapita (PDRB per kapita), sebagai peubah target, yang berada pada blok makro ekonomi daerah yang diterangkan dalam 15 persamaan simultan (8 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas). Beberapa simulasi kebijakan dicoba dianalisis untuk mencapai tujuan penelitian ini. Disparitas pendapatan diukur dengan indeks Williamson (Vw) dan analisis Koefisien Variasi.
Selama periode analisis sepanjang tahun 1993-1999 pada 7 Kabupaten/Kota se-Riau menunjukkan bahwa peningkatan dana bagi hasil sumber daya alam minyak bumi, yang diwakili dengan bagi hasil bukan pajak sebelum diundangkannya UU no. 25/1999, berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan pendapatan per kapita (PDRB per kapita) regional Riau. Sementara peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU), yang diwakili oleh Subsidi Daerah Otonom dan dana Inpres sebelum diundangkannya UU no. 25/1999, berfungsi sebagai penyeimbang penerimaan daerah, yakni selain ikut meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan per kapita, juga menurunkan tingkat disparitas pendapatan regional Riau. Masih terdapat trade off antara pertumbuhan dan pemerataan (growth and equity).
Di masa mendatang, dengan menambah data tahun pengamatan dan peubah-peubah penjelas yang lebih mampu menjelaskan kriteria-kriteria pendugaan model sehingga peubah endogen yang ada dapat diterangkan dengan lebih valid. Penggunaan data PDRB berdasarkan penggunaan secara relatif lebih nyata dan memenuhi keinginan karena berdasarkan pendapatan permintaan atau konsumsi, bukan produksi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12577
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Nurridzi
"Tujuan penelitian pada tesis ini adalah ingin mengetahui pengaruh pengeluaran pembangunan sektoral pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi (yang diukur berdasarkan niiai PDRB) propinsi-propinsi di Indonesia selama tahun 1983 hingga tahun 1998. Selain itu tesis ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan substitutabilitas dan komplementaritas antara masing-masing input yang diteliti.
Studi ini menggunakan bentuk fungsi produksi Translog dengan stok modal dan tenaga kerja sebagai faktor produksinya. Modal terdiri dari modal sektoral pemerintah dan modal swasta. Modal pemerintah yang dipilih adalah modal di sektor Perhubungan dan Pariwisata, modal di sektor Pendidikan dan Kesehatan serta modal pemerintah di sektor lainnya yang tergabung dalam sektor Lain-lain. Pemilihan sektor ini sesuai dengan teori mengenai pengeluaran pemerintah khususnya di negara berkembang yang umumnya menitikberatkan pada kedua sektor tersebut.
Analisis dilakukan dengan menggunakan data panel selama 16 tahun dan meliputi 26 propinsi yang dikelompokkan menurut kawasan, yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sementara itu besar stok modal diperoleh dari akumulasi investasi dengan Perpetual Inventory Method (PIM) yang memperhitungkan tingkat depresiasi (penyusutan). Untuk mengetahui saat tingkat investasi awal (initial investment) dilakukan backcasting dengan menggunakan data investasi yang dimiliki.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah diperoleh beberapa pola sektor yang memberi dampak terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi bagi propinsi-propinsi di K8I maupun KTI. Modal pemerintah di sektor Perhubungan dan Pariwisata memiliki hubungan komplementer dengan modal pemerintah di sektor Pendidikan dan Kesehatan, serta keduanya masing-masing komplementer dengan modal swasta. Swastanisasi jelas tidak bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu, modal swasta substitusi dengan modal pemerintah di sektor Lain-lain baik bagi propinsi-propinsi di KBI maupun KTI.
Peran pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di wilayah KTI masih cukup besar mengingat antara setiap sektor pemerintah memiliki hubungan komplementer satu sama lain. Sementara bagi propinsi-propinsi di wilayah KBI, modal pemerintah di sektor Perhubungan dan Pariwisata serta modal pemerintah di sektor Pendidikan dan Kesehatan masing-masing substitusi dengan modal pemerintah di sektor Lain-lain.
Bagi propinsi-propinsi di KBI maupun KR, investasi pemerintah yang ditujukan ke sektor Perhubungan dan Pariwisata dapat dilakukan secara bersamaan dengan investasi yang dialokasikan ke sektor Pendidikan dan Kesehatan, investasi swasta mapun peningkatan jumlah tenaga kerja. Sehingga peningkatan modal pemerintah di sektor Perhubungan dan Pariwisata tidak bertentang dengan tujuan peningkatan output, perluasan tenaga kerja serta peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan data yang diperluas hingga tahun-tahun terkini sehingga dampak krisis dapat lebih jelas terlihat. Disarankan pula penelitian meliputi tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan pemerintah pusat yang diserahkan kepada daerah sesuai pelaksanaan otonomi daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T20582
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendri
"Penelitian ini mengidentifikasi dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Sumatera, Indonesia. Digunakan tiga model regresi untuk menganalisa data panel lima indikator utama desentralisasi fiskal periode 2007-2013 yaitu: OLS, Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Dtatistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Temuan empiris penelitian ini menunjukkan bahwa tiga indikator berupa pendapatan daerah, pengeluaran daerah dan jumlah penduduk memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara tingkat pendidikan dan tingkat serapan tenaga kerja berkorelasi positif terhdap pertumbuhan ekonomi di Sumatera, Indonesia.

This paper analyzes the impact of fiscal decentralization on regional economic growth in Sumatera, Indonesia. Within the framework of an OLS, Fixed Effect Model and Random Effect Model was employed in this thesis on a set of dynamic panel data models with latent variables over a period 2007- 2013. Two indicators of fiscal decentralization, local revenue, and local expenditure were used to measure impact of fiscal decentralization in Sumatera. Data for this study comes from secondary sources; BPS and DJAPK ministry of Finance Republic of Indonesia. The empirical finding of this study suggests that two fiscal decentralization indicators and number of population have a negative significant impact on regional economic growth. However, number of education and employment rate are positively correlated with economic growth. Finally, there is a little consensus on the relationship between fiscal decentralization and economic growth in Sumatera, Indonesia."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
T46158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mintargo
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengestimasi model pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Pulau Sumatra dengan memperhatikan masalah perbedaan efisiensi dalam produksi, kualitas output ataupun input, sumber daya alam dan infrastruktnr, (ii) mengestimasi elastisitas output terhadap perubahan input dan angka kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi antar propinsi di Pulau Sumatra.
Model fungsi produksi meta yang bersifat translog digunakan sebagai pendekatan karena dapat memperhitungkan perbedaan kondisi antar propinsi (propinsi berpendapatan tinggi dan propinsi - berpendapatan rendah) dan kemajuan teknologi. Sebagai variabel input digunakan stok barang modal dan tenaga kerja. Untuk menghasilkan dugaan yang tidak bias dan efisien digunakan teknik See mingly Unrelated Regression dalam proses pendugaan.
Studi ini menunjukkan terjadinya penurunan dan peningkatan kualitas input pada tahun-tahun tertentu, sedangkan produktivitas total faktor (PTT) mengalami kemajuan pada semua propinsi. Pada golongan propinsi berpendapatan tinggi produktivitas total faktornya lebih tinggi dari golongan propinsi berpendapatan rendah, hal ini berkaitan erat dengan migas yang dihasilkannya. Alokasi investasi mennnjukkan bahwa barang modal lebih menguntungkan secara relatif jika dialokasikan ke golongan propinsi berpendapatan tinggi dari pada ke golongan propinsi berpendapatan rendah.
Kondisi input dan parameter produksi menunjukkan membaiknya kinerja antar propinsi dalam pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatra. Untuk itu kebijakan yang sebaiknya ditempuh adalah meningkatkan produktivitas di propinsi berpendapatan rendah dengan meningkatkan mutu modal manusia melalui pendidikan, ketrampilan dan latihan. Sehingga dalam jangka panjang diharapkan bahwa produktivitas total faktor yang ada di propinsi berpendapatan rendah bisa menyamai atau paling tidak dapat mendekati produktivitas total faktor propinsi berpendapatan tinggi, sehingga secara nasional dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Mulyadi
"Penelitian ini ditujukan untuk melihat pengaruh pemerintah daerah melalui penerimaan, pengeluaran rutin, dan pengeluaran pembangunan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Metodologi yang digunakan adalah panel data untuk 26 propinsi di Indonesia pada periode 1991-1999. Variabel yang dipakai adalah investasi swasta, tenaga kerja, pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin, dan penerimaan daerah. Regresi dilakukan dengan menggunakan model dari Sung Kim Tai yang pernah dipakai untuk menganalisa sektor pemerintah daerah di Korea.
Berdasarkan hasil estimasi, didapatkan bahwa pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin, dan penerimaan daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 26 propinsi di Indonesia. Pengeluaran pembangunan dan rutin sesuai dengan hipotesa bahwa keduanya mempunyai pengaruh yang positif sedangkan penerimaan daerah tidak sesuai dengan hipotesa yang menyatakan mempunyai pengaruh posilif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Elastisitas variabel pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, dan penerimaan pemerintah daerah berada di atas satu persen, elastisitas terbesar adalah pengeluaran rutin kemudian diikuti oleh pengeluaran pembangunan dan penerimaan daerah. Besarnya elastisitas tersebut menunjukan besarnya pengaruh kebijakan pemerintah daerah khususnya kebijakan fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Supriono
"Satuan Wilayah Tapal Kuda di Propinsi Jawa Timur bukanlah sebagai unit wilayah/daerah administratif. Akan tetapi apabila di lihat dalam tataran persepektif pandangan "obyektif", satuan wilayah ini dapat dipandang dan/atau dikatagorikan sebagai daerah "nodal". Berdasarkan konteks letak geografisnya, Wilayah Tapal Kuda dapat dibagi menjadi 3 (tiga) sub-wilayah, yaitu; (a) Sub-Wilayah Pulau Madura, yang meliputi Kabupaten; Sumenep, Sampang, Pemekasan dan Bangkalan, (b) Sub-Wilayah Teluk Madura, yang meliputi Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo, dan (c) Sub-Wifayah Selat Madura, yang meliputi Kabupaten-; Pasuruan, Probolingo dan Situbondo.
Penelitian ini adalah untuk mencermati dan/atau mengkaji tentang perkembangan perekonomian regional di Wilayah Tapal Kuda tersebut. Dimana ada 2 (dua) issue pokok yang mendasari dilakukannya pelaksanaan penelitian ini, yaitu; (a) Ada gejala-gejala kesenjangan dalam perkembangan perekonomian regional antar sub-wilayah, dan (b) Ada gejala-gejala munculnya perbedaan karakteristik dalam perkembangan perekonomian regional antar subwilayah.
Berdasarkan pada issue dasar tersebut, permasalahan yang diangkat dalam rangka penelitian ini adalah; (a) Diperlukan adanya identifikasi potensi perbedaan dalam perkembangan perekonomian antar sub-wilayah di Wilayah Tapal Kuda tersebut, dan (b) Diperlukan suatu alternatif kebijakan pengembangan perekonomian di Wilayah Tapal Kuda ke depan, yang dapat mengkaitkan potensi perbedaan perkembangan ekonomi regional antar sub-wilayah yang ada tersebut.
Beberapa tujuan yang hendak dicapai daiam rangka penelitian ini, adalah untuk mengidentifikasikan/mencermati potensi sektor-sektor ekonomi basis dan potensi keunggulan relatif sektor-sektor ekonomi di masing-masing sub-wilayah di Wilayah Tapal Kuda. Kemudian untuk mengetahui tingkat penggandaan sektor-sektor ekonomi basis (base multiplier) terhadap perekonomian regional secara keseluruhan di masing-masing sub-wilayah di Wilayah Tapal Kuda, serta mencermati karakteristik pertumbuhan perekonomian regional di masing-masing sub-wilayah di Wilayah Tapal Kuda.
Penelitian ini juga bertujuan untuk mencermati keterkaitan antara perkembangan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan tingkat ketergantungan Wilayah Tapal Kuda dan masing-masing Sub-Wilayah terhadap uluran tangan Pemerintah Pusat dalam rangka membiayai pelaksanaan pembangunan regionalnya. Kemudian juga memiliki tujuan untuk memberikan saran mengenai alternatif kebijakan pengembangan perekonomian di Wilayah Tapal Kuda ke depan, yang terkait dengan perbedaan potensi perkembangan ekonomi regional antar sub-wifayah yang ada.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, digunakan beberapa pendekatan analisis yang dipandang cocok, yaitu antara lain; (a) Location quotiens/LQ, (b) Penggandaan basis (base multiplier), (c) Shift share, (d) Elasticity revenue to income, dan (e) Share/kontribusi. Data penelitian utama penelitian data-data sekunder, berupa data time series dari tahun 1983 s/d 2000.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Sub-Wilayah Teluk Madura memiliki nilai rata-rata tingkat pertumbuhan perekonomian regional yang relatif "lebih tinggi" dibandingkan dengan Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura, dan juga tercatat relatif "lebih tinggi" dari nilai rata-rata tingkat pertumbuhan perekonomian regional Wilayah Tapal Kuda secara umum serta Propinsi ]awa Timur secara umum. Kemudian sektor ekonomi "primer" tercatat sudah "tidak" lagi menjadi "adalan" dalam perekonomian Sub-Wilayah Teluk Madura. Sedangkan di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura "masih" tercatat sebagai sektor "andalan" dalam perekonomian regionalnya.
Sub-Wilayah Teluk Madura memiliki sektor ekonomi "basis" dan/atau sektor ekonomi yang memiliki "keungulan relatif' tercatat "lebih banyak" (cat; 5 sektor ekonomi), dan kesemuanya merupakan sektor ekonomi "sekunder" dan "tersier". Sedangkan di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura hanya memiliki "3 (tiga)" sektor ekonomi "basis" dan/atau sektor ekonomi yang memiliki "keungulan relatir", dan "2 (dua)" diantaranya adalah sektor "primer".
Sub-Wilayah Teluk Madura tercatat relatif "lebih makmur" apabila dibandingkan dengan di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura. Kemudian pertumbuhan perekonomian di Sub-Wilayah Teluk Madura tercatat "sudah terspesialisasi" pada sektor-sektor ekonomi yang "bertumbuh cepat" di Wilayah Tapal Kuda secara umum, dan/atau industrial mix-nya "sudah terspesialisasi" pada industri-industri yang "bertumbuh cepat" di Wilayah Tapal Kuda secara umum. Demikian juga Sub-Wilayah Teluk Madura memiliki keuntungan-keuntungan lokasional yang dapat dipergunakan/dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian regionalnya, pada khususnya sektor-sektor ekonomi dan/atau industrial mix-nya yang "bertumbuh cepat" di Wilayah Tapal Kuda secara umum.
Keterlambatan pertumbuhan ekonomi regional di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura dibandingkan dengan Sub-Wilayah Teluk Madura, antara lain disebabkan oleh 2 (dua) hambatan, yaitu; (a) Dalam pertumbuhan perekonomian regionalnya "belum terspesialisasi" pada sektor-sektor ekonomi dan/atau industrial mix-nya yang "bertumbuh cepat" di Wilayah Tapal Kuda secara umum, dan (b) Tidak/kurang memiliki faktor keuntungan lokasional yang dapat dipergunakan untuk mendukung/mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian regionalnya, pada khususnya sektor-sektor ekonomi dan/atau industrial mix-nya yang "bertumbuh cepat" di Wilayah Tapal Kuda secara umum.
Kondisi sebagaimana tersebut sebelumnya dapat menunjukkan bahwa, di dalam lingkup satuan Wilayah Tapal Kuda, dimana apabila Wilayah Tapal Kuda dikonsepsikan sebagai "daerah nodal", maka dapat menunjukkan bahwa Sub-Wilayah Pulau Madura sudah tumbuh sebagai daerah "pusat pertumbuhan" (growth pole). Sementara itu ada "kecenderungan" Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura masih tumbuh sebagai daerah belakang (backwase area).
Akan tetapi "ironisnya, teridentifikasi bahwa nilai penggandaan basis di Sub-Wilayah Teluk Madura, ternyata "lebih rendah" dari pada nilai pengganda basis di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sektor ekonomi "primer" (cat: sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian), masih memegang peranan "vital" atau masih sebagai "andalan utama" daiam pertumbuhan perekonomian di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura tersebut.
Peningkatan nilai penerimaan PAD di Wilayah Tapal Kuda secara umum dan di Sub-Wilayah Pulau Madura teridentifikasi "signifikan" dipengaruhi oleh peningkatan perkembangan PDRB yang terjadi. Akan tetapi peningkatan nilai penerimaan PAD tersebut, belum "proporsional" dibandingkan dengan peningkatan perkembangan nilai PDRB-nya. Sementara itu peningkatan dibandingkan dengan peningkatan perkembangan nilai PDRB-nya. Sementara itu peningkatan nilai penerimaan PAD di Sub-Wilayah Pulau Madura dan Sefat Madura tercatat "signifikan" dipengaruhi oleh peningkatan perkembangan PDRB yang terjadi. Dimana peningkatan nilai penerimaan PAD tersebut, sudah "proporsional" dengan peningkatan perkembangan nilai PDRB-nya.
Diketahui bahwa tingkat "ketergantungan" Wilayah Tapal Kuda secara umum dan Sub-Wilayah Teluk Madura terhadap Pemerintah Pusat dalam rangka membiayai pelaksanaan pembangunan regionalnya, berada dalam kriteria "sedang". Sedangkan tingkat ketergantungan Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura terhadap Pemerintah Pusat dalam rangka membiayai pelaksanaan pembangunan regionalnya, berada dalam kriteria "sangat tinggi".
Alternatif kebijakan yang dipandang "relatif cukup baik" guna mengembangkan perekonomian regional Wilayah Tapal Kuda ke depan, dengan "harapan" dapat mengatasi kondisi "ketimpangan" dalam kemakmuran dan pertumbuhan perekonomian regional, antara Sub-Wilayah Teluk Madura dengan Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura, adalah "menggalang" masing-masing sub-Wilayah, dan pada khususnya adalah Sub-Wilayah Pulau Madura dan Selat Madura, menjadi "suatu kesatuan daerah perencanaan (planning region/ programming region)".
Alternatif kebijakan demikian dapat diyakini akan dapat memberikan manfaat (benefit) bagi "tingkat pemerataan" pertumbuhan/perkembangan perekonomian regional yang "lebih baik". Karena pada dasarnya akan memiliki "muatan tujuan bersama" untuk; (a) Mengambil manfaat yang lebih besar dari keputusan-keputusan investasi yang bersekala ekonomi yang lebih luas/besar, (b) Mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada.
Melahirkan/memunculkan titik pertumbuhan (growth point) baru, dan (d) Mengambil manfaat "tricle down effect"dari adanya titik pertumbuhan (growth point) baru tersebut.
Upaya-upaya yang hendaknya perlu ditempuh guna mencapai hal tersebut antara lain:
Membangun kesadaran "masyarakat" dan "pemerintah daerah" di masing-masing Kabupaten, akan adanya "kesamaan kepentingan" untuk mengembangkan perekonomian regionalnya menjadi kesatuan "kohesi" dan/atau "kesatuan" keputusan-keputusan ekonomi, dan Penciptaan titik pertumbuhan baru (growth point) baru hendaknya dikembangkan berdasarkan kepada potensi "keunggulan relatif" sektor-sektor ekonomi di masing-masing kabupaten, dengan cara mengacu kepada pilihan sektor-sektor ekonomi "basis" di masing-masing kabupaten tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>