Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65588 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winda Artanty
"Tesis ini secara khusus menyoroti tentang terjadinya perkembangan situasi politik di Hongaria pasca jatuhnya pemerintahan komunis. Seperti halnya negara-negara Eropa Tengah dan Timur lainnya, Hongaria tidak punya kesempatan untuk bergabung dalam skema Eropa yang muncul dan berkembang sejak perang dunia kedua. Alasannya adalah adanya pertentangan timur dan barat dalam hat ideologi, politik serta bidang ekonomi dan militer. Jatuhnya pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan Timur pada tahun 1989 diikuti oleh permintaan bantuan dari kelompok negara tersebut untuk dapat melakukan transformasi politik dan ekonomi. Hongaria merupakan salah satu pemimpin demokrasi, menjadi pertama yang menurunkan tirai besi dan menandatangani Perjanjian Asosiasi (Assasiatrorr Treaty) dengan Uni Eropa.
Uni Eropa memutuskan untuk membuka kesempatan bagi negara Eropa Tengah dan Timur yang mampu memenuhi persyaratan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan untuk bergabung dalam Uni Eropa. Persyaratan tersebut terangkum dalam sebuah kriteria yaitu kriteria Kopenhagen. Untuk memenuhi persyaratan yang terdiri dari kriteria politik, ekonomi dan hukum tersebut, terjadi perkembangan dari pemerintahan komunis menuju pemerintahan demokratis. Dalam usaha penyesuaian yang berlangsung mulai tahun 1989 hingga 2004 ini, Hongaria hams menghadapi kendala-kendala sebelum akhirnya dapat bergabung menjadi negara anggota Uni Eropa tahun 2004.
Tests ini memberikan gambaran perkembangan sebuah negara bekas pemerintahan komunis menuju suatu pemerintahan yang demokratis dengan berbagai kendala yang dihadapi dan diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi negara-negara demokrasi berkembang dalam memperbaiki keadaan politiknya pass sebuah pemerintahan yang otoriter termasuk Indonesia.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah pasal pertama dari kriteria Kopenhagen yaitu yang membahas tentang kriteria politik Selanjutnya penulis akan menganalisa penerimaan Uni Eropa mengenai usaha Hongaria Iewat laporan rutin (Regular Report) yang dikeluarkan Uni Eropa tentang perkembangan Hongaria dalam memenuhi kriteria Kopenhagen. Laporan ini mulai dibuat sejak terjadinya negosiasi pertama yaitu tahun 1998 dan diakhiri dengan laporan menyeluruh (Comprehensive Report) di akhir tahun 2003.
Walaupun pada dasarnya Hongaria dinilai berhasil memenuhi persyaratan politik dalam Kriteria Kopenhagen sejak tahun 1999, banyak permasalahan signifikan yang terus terjadi seiring penyesuaian. Masalah-masalah tersebut adalah yang berhubungan dengan korupsi, penghormatan hak asasi dan hak minoritas, yang merupakan masalah Iama yang semakin berkembang.
Masalah-masalah yang ada seperti korupsi dan prejudis terhadap Roma tersebut merupakan sebuah budaya yang mengakar, sehingga dapat dimaklumi jika tidak mullah untuk mencegah dan menguranginya. Di luar masalah itu, Hongaria memang patut menjadi inspirasi transisi politik di Eropa Tengah dan Timur karena konsisten dalam merevisi regulasi-regulasi yang dianggap kurang mengikat, demikian pula dalam usaha mengimplementasikannya. Bagi Uni Eropa, Hongaria akan menjadi partner dan anggota yang sangat penting untuk kemajuan integrasi Uni Eropa.

This Thesis is mainly explaining the political development that occurred in Hungary after the fall of the communism in Central and Eastern Europe in 1989. As was the case with the other Central and Eastern European states, Hungary had no opportunity for a long time to integrate into the European scheme that evolved and became unified after World War IL the reason for this was the opposition between the East and the West in the ideological, political, military and economic fields. The fall of Communism in Central and Eastern Europe in 1989 prompted a flood of requests to help the Central and East Europeans transform their economies and polities.
European Union decided to Iaunch Eastern Enlargement and to draft a list of criteria for EU membership (political, economic and implementing the acquis), which have come to be known as the Copenhagen Criteria. To meet the requirements, Hungary makes many efforts to develop a communism government (o democratic government. There were many obstacles coming in Hungary's way to reform from 1989 until finally joining the European Union in 2004.
This Thesis gives a view of political changes and development from authoritarian power to democratic power through many problems that occurring. Hopefully it can inspire other country to follow Hungary's way to succeed. The Political development is bordered with the first condition in Copenhagen Criteria which underlined the political criteria. Next, the regular report from EU that launch every years since 1998 until 2003 will help us analyze what is EU's opinion about Hungary's reformation.
Although basically Hungary had succeeded to fulfill the political criteria from Copenhagen Criteria in 1999, there were still significant problems such as corruption and violation of the human right which hard to handle. But since it has become a culture, it is easy to understand why Hungary could not prevent or reduce it right away. Outside of that, Hungary's continuous revision to laws and the will to implement it will inspire other country in Central and Eastern Europe. To European Union, Hungary will be important partner and member to European Integration.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Fredi Susanto
"Penelitian ini membahas alasan Uni Eropa sebagai anggota tetap di dalam forum G20, terutama penekanan pada mamfaat yang diperoleh oleh Uni Eropa melalui G20. Teori yang digunakan untuk meneliti Keanggotaan Uni Eropa di G20 adalah teori interdependensi kompleks, teori efek domino dan konsep global governance. Penelitian ini menemukan bahwa pada saat berdirinya dan pada saat transformasi Uni Eropa di G20, adalah respon dari krisis keuangan yang dinilai ber-efek domino terhadap ekonomi global. Uni Eropa dengan anggota G20 lainnya dinilai mempunyai kemampuan dan memiliki interdependensi untuk berkerjasama menyelesaikan krisis dan mencegah efek domino. G20 dalam perkembangannya, berkembang menjadi global governance khususnya dalam tatanan ekonomi dunia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Uni Eropa semakin mendapat tempat sebagai aktor global melalui G20 untuk mewujudkan visi Effective Multilateralism berbasis nilai, berperan dalam mengembangkan manajemen keuangan dunia dan meningkatkan keuntungan perdagangannya.

This study analyses the permanent membership of European Union in G20, especially its benefit as a member of G20. Theory used in this study consists of interdependence complex and domino effect theories and global governance concept. This study finds out that the establishment and transformation of European Union within G20 are the response toward domino effect in global financial crisis. European Union and other member of G20 are considered having the ability and interdependence to cooperate solving the crisis and prevent the domino effect. G20 thrives to be a global governance, specifically in world economic order. Finally, this study concludes that by way of G20, European Union becomes one of the promising global actors that helps actualising value based Effective Multilateralism vision, develops world financial management and enhances its trading profit. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Auzan Shadiq
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi politik dan dampak ekonomi yang muncul akibat pengenaan sanksi oleh Uni Eropa kepada Rusia pada kerja sama energi nuklir Uni Eropa-Rusia (2013-2018). Pada tahun 2014 Krimea menyatakan mengintegrasikan diri ke Federasi Rusia, dan menyatakan memisahkan diri dari Ukraina. Rusia menerima Krimea, meskipun Rusia dan Ukraina telah menandatangani Budapest Memorandum tahun 1994 tentang jaminan atas pengakuan wilayah Ukraina. Tindakan politik tersebut mendapat respons dari aliansi negara-negara Barat yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Uni Eropa, Australia dan Jepang dengan cara mengenakan sanksi terhadap Rusia. Pemberian sanksi diplomatik dan sanksi ekonomi tersebut tampaknya tidak berlaku untuk sektor-sektor lainnya, diantaranya dalam bidang kerjasama energi nuklir.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan dukungan data primer dan sekunder. Dalam penelitian ini dipertanyakan mengapa sanksi Uni Eropa terhadap Rusia secara politik berimplikasi pada kebijakan kerja sama di bidang energi nuklir pada tahun 2014, serta bagaimana dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam bidang kerja sama energi nuklir di Rusia setelah tindakan pembatasan oleh EU pada tahun 2014.
Analisis pembahasan tentang permasalahan tersebut akan dilakukan dengan menggunakan Organization Process Paradigm, International Sanction Theory, dan Regional Security Complex Theory. Penelitian ini menemukan bahwa implikasi politik yang ada pada pengenaan tindakan pembatasan atau sanksi Uni Eropa terhadap Rusia ialah karena adanya sifat ketergantungan yang besar terhadap bahan bakar nuklir Rusia oleh Uni Eropa, sedangkan dampak ekonomi yang muncul ialah menurunnya angka neraca perdagangan energi nuklir Rusia terhadap Uni Eropa akibat proyek diversifikasi nuklir Eropa (ESSANUF).

The objective of this research is to analyzed the political implications and the economic impact that appears as a result of imposed sanctions by the European Union toward Russia on the nuclear energy cooperation between European Union and Russia (2013-2018). In 2014 Crimea stated themselves to integrate with the Russian Federation, and seceded from Ukraine. Russia accept Crimea, even though Russia and Ukraine had signed the Budapest Memorandum in 1994 regarding the assurance of the Ukraine territory recognition. The political action got the respond from the Western Alliance which consist of the United States of America, Canada, European Union, Australia and Japan by imposed sanctions toward Russia. Those diplomatic and economic sanctions are likely not applicable to the other sectors, for instance in the field of nuclear energy cooperation.
This research used a qualitative method which supported by primary and secondary data. This research questioned why did the European Union's economic sanctions toward Russia politically implicated with the nuclear energy cooperation policy in 2014, and how did the economic impact which inflicted in the field of nuclear energy cooperation in Russia after the restrictive measures taken by European Union in 2014.
The discussion part of this research will be conducted with the Organization Process Paradigm, International Sanction Theory, and the Regional Security Complex Theory. This research found that the political implications which exist in the European Unions's restrictive measures or sanctions is because of the large dependency nature of the European Union toward the Russian nuclear fuel, at the same time the economic impact which appear is the decline of the Russian nuclear energy trade balance toward European Union as a result of the European Supply of Safe Nuclear Fuel project (ESSANUF).
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Ferakanita
"Tesis ini berfokus pada fenomena keluarnya Ingris dari Uni Eropa Brexit . Dalam fenomena ini terjadi persaingan diskursif antara Remain vs Leave. Penelitian ini menggunakan teori pemosisian dengan asumsi dasar bahwa diskursus adalah variabel utama yang disosialisasikan oleh agen sehingga menjadi sebuah realita sosial. Kemenangan diskursif ditentukan dalam tiga variabel kelayakan: Kelayakan Referensi, Kelayakan Sistemik dan Kelayakan Sosial. Penelitian ini menggunakan metode process tracing dan telaah wacana untuk melihat proses deepening Inggris ke Uni Eropa.. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa persaingan diskursif ini dimenangkan oleh agen yaitu kelompok leave yang menginterpretasikan bahwa identias nasional Inggris tidak kompatibel dengan identitas Uni Eropa dan memunculkan kegagalan proses deepening pada integrasi Inggris dengan Uni Eropa. Meskipun secara kuantitatif diskursus kelompok remain lebih unggul sampai periode sebelum referendum variabel kelayakan referensi , namun pada akhirnya kelompok leave secara kelayakan sistemik lebih dapat mendistribusikan diskursusnya untuk menjangkau ke masyarakat. Dalam variabel kelayakan sosial, kelompok leave juga lebih unggul karena diskursusnya lebih dapat diterima di masyarakat. Penelitian ini menyumbang pada studi tentang regionalisme yang memberikan pemahaman bahwa dinamika yang terjadi dalam institusi regional tidak hanya bisa meluas expand , tetapi juga bisa menyusut shrink . Isu Brexit menjadi penting karena belum pernah ada negara mengambil sikap untuk keluar dari institusi maju seperti Uni Eropa.

This thesis focuses on the phenomenon of Britain leaving the European Union Brexit. The phenomenon refers to the discursive competition between the two parties Remain vs. Leave. This research uses positioning theory with the basic assumption that discourse is the main variable which is socialized by agent and it transcends into a social reality. Discursive victory itself is determined in three eligibility indicators Referential Adequacy, Systematic Adequacy and Social Adequacy. This research applies process tracing and discourse analysis method to examine the deepening process of UK to the European Union. The result of this study indicates that the discursive competition won by the agent of the Leave group which interpreted UK national identity was not compatible with the EU identity and led to the failure of a deepening process on British integration to the EU. Quantitatively, based on the Referential Adequacy indicator, the discourse of the Remain group is higher than the Leave group especially in the final weekend before the referendum. However, based on Systematic Adequacy indicator, the Leave group is more successful in distributing its discourse to reach out to the people. Last, the Leave group is also winning because based on Social Adequacy indicator the discourse is more acceptable in society. This research contributes to the study of regionalism which provides an understanding that the dynamics within regional institutions not only can expand, but also shrink. The issue of brexit is important, because no country has ever taken the stance to get out of an advanced institution like the European Union. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
T51499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teodore Ignatius Minaroy
"Penelitian tesis ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi Ode to Joy yang merupakan bagian dari Simfoni nomor 9 Beethoven dari perspektif kebudayaan dan politik, sampai bisa menjadi anthem Uni Eropa. Selain itu, bertujuan untuk mengetahui proses penetapan anthem tersebut, menelusuri motif hegemoni kebudayaan dan politik, terutama oleh Jerman. Pembahasan topik ini diawali oleh adanya penolakan 29 anggota parlemen Partai Brexit pimpinan Nigel Farage terhadap anthem tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif fenomenologis. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Teori Kapital Pierre Bourdieu, Teori Semiotika Ferdinand de Saussure, serta Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Jerman memiliki berbagai modal, yaitu: modal simbolik, modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial. Hal itu menyebabkan Ode to Joy dapat diterima sebagai anthem Uni Eropa. Penetapan anthem Uni Eropa tersebut mendorong eksplorasi lebih lanjut tentang motif lain, yaitu hegemoni kebudayaan dan politik Jerman terhadap Uni Eropa. Sebelum diresmikan menjadi anthem Uni Eropa, Ode to Joy sudah menjadi simbol kejermanan di Eropa.

The purpose of this thesis research is to determine the significance of the Ode to Joy, a melody from the fourth movement of Beethoven’s Ninth Symphony, from a cultural and political perspective, so that it can become an anthem for the European Union. Apart from that, it aims to understand the process of determining the anthem, tracing the motives for cultural and political hegemony, especially by Germany. Discussion of this topic began after Nigel Farage and his Brexit party MEPs turned their backs during the playing of the anthem. The method used in this research is a qualitative phenomenological method. The analysis in this research was carried out using Pierre Bourdieu’s Capital Theory, Ferdinand de Saussure’s Semiotic Theory, and Antonio Gramsci’s Hegemony Theory. The findings of this research show that Germany has various capital, namely: symbolic capital, economic capital, cultural capital, and social capital. This caused Ode to Joy to be accepted as an anthem for the European Union. The establishment of the European Union anthem encouraged further exploration of other motives, namely German cultural and political hegemony towards the European Union. Before it was inaugurated as an anthem for the European Union, Ode to Joy had already become a symbol of Germany in Europe."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monika Febiola
"Sebagai institusi supranasional terbesar di dunia, Uni Eropa telah mengalami enam gelombang perluasan sejak awal pendiriannya. Mulai dari perluasan ke Eropa Barat hingga perluasan ke Balkan Barat, perluasan telah menjadi agenda yang krusial dalam kebijakan Uni Eropa. Tulisan ini hanya mencakup perluasan ke Timur sebagai perluasan terbesar yang pernah terjadi di Uni Eropa, dan perluasan prospektif ke wilayah Turki dan wilayah Balkan Barat. Hal ini disebabkan karena sejak perluasan ke Timur mulai dibicarakan sebagai perluasan prospektif pada abad ke-21, literatur yang membicarakan mengenai dinamika perluasan secara komprehensif pun turut bermunculan. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau perkembangan literatur mengenai perluasan Uni Eropa pada abad ke-21. Tulisan ini meninjau 29 literatur yang terakreditasi secara internasional mengenai perluasan keanggotaan Uni Eropa pada abad ke-21. Berdasarkan metode taksonomi, literatur-literatur tersebut dibagi menjadi tiga kategori tematik yang terdiri atas: 1) Faktor Pendorong, 2) Dampak, dan 3) Karakteristik. Tulisan ini mengidentifikasi bahwa faktor pendorong rasional, dampak positif, dan karakteristik kepentingan Uni Eropa menjadi kombinasi tema yang paling dominan dan bersifat paling kuat. Terakhir, tulisan ini memberikan rekomendasi dan penekanan pada pentingnya perluasan untuk dijadikan agenda penelitian secara lebih lanjutan oleh penulis-penulis Eropa mau pun non-Eropa.

As the largest supranational institution in the world, European Union has experienced six waves of enlargement since its inception. Ranging from enlargement to Western Europe to Western Balkan, enlargement has always been a crucial part of the European Union agenda. This writing only comprises of enlargement to the East as the largest enlargement to have ever occured in European Union, and prospective enlargement to Turkey and Western Balkan. This is as Eastern Enlargement began to be discussed as a prospective enlargement in the 21st century, literatures discussing about the dynamics of enlargement in a comprehensive way also began to emerge. This writing aims to review the development of literatures regarding European Union enlargement in the 21st century. This writing reviews 29 internationally accredited literatures regarding European Union Enlargement in the 21st century. Using taxonomy method, the literature is divided into three thematic categories, which comprise of: 1) Push Factors, 2) Impact, and 3) Characteristic. This writing identifies that rational push factor, positive impact, and characteristic of European Union interest are the most dominant and strongest combination. Lastly, this writing recommends and emphasizes on the importance of enlargement to be a further research agenda by authors of Europe origins or non-European origins."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Mangaratua
"Skripsi ini membahas tentang perluasan keanggotaan suatu organisasi internasional, secara khusus mengenai proses perluasan keanggotaan Turki di dalam Uni Eropa. Uni Eropa, seperti kebanyakan organisasi internasional lainnya, memberikan persyaratan perluasan keanggotaan bagi negara-negara yang ingin bergabung menjadi negara anggota. Untuk dapat diterima menjadi negara anggota di Uni Eropa, sebuah negara harus memenuhi persyaratan yang terkandung di dalam Traktat Maastricht 1992 dan Kriteria Copenhagen 1993. Turki telah mengajukan aplikasi perluasan keanggotaan kepada Uni Eropa sejak tahun 1987 dan telah melakukan berbagai upaya untuk memenuhi persyaratan yang ada, namun hingga saat ini Turki masih harus puas dengan statusnya sebagai kandidat anggota di Uni Eropa. Berbagai hal dianggap menjadi kendala dalam proses bergabungnya Turki di Uni Eropa, misalnya adalah keadaan ekonomi Turki, hal tentang perlindungan hak minoritas, dan konflik Turki dengan Siprus yang telah menjadi anggota Uni Eropa pada tahun 2004. Namun demikian, Turki hingga saat ini masih terus melakukan upaya-upaya dalam harapan Uni Eropa dapat segera menerima Turki sebagai negara anggota di Uni Eropa.

Every international organization has its own provision or requirement on its enlargement. The European Union, as any other international organizations, also requires the state that desires to join into it as a member state. In order to be accepted as a member state in the European Union, a state must fulfill all the requirements stipulated in Maastricht Treaty 1992 and Copenhagen Criteria 1993. Turkey had submitted its enlargement application in 1987 and it has done all its efforts since then to satisfy the requirements, but until now Turkey has to be content with its status as a candidate state. Several things are considered to be the constraints on the process of Turkey's application; the Turkey's economic condition, the protection of minority rights, and the conflict between Turkey and Cyprus, which had been an European Union's member state since 2004. However, Turkey still continues to make efforts to fulfill all the requirements in the hope of its acceptance in the European Union."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farandy Nurmeiga
"Proses integrasi yang dilakukan oleh Uni Eropa terhadap negara-negara yang dianggap berada di wilayah Eropa berawal dari integrasi ekonomi yang kemudian berubah menjadi integrasi politik. Salah satu negara yang ingin bergabung menjadi anggota Uni Eropa adalah Turki. Turki sudah mengajukan diri untuk mengikuti proses negosiasi keanggotaan Uni Eropa sejak tahun 1959, tetapi hingga tahun 2019 Turki masih belum mendapat status sebagai negara anggota Uni Eropa. Padahal, Turki telah memiliki pemimpin baru dari partai pro kebijakan Eropa. Pemimpin tersebut adalah Recep Tayyip Erdogan yang kemudian menjabat posisi Perdana Menteri dan Presiden Turki. Namun, terdapat pandangan di elit Uni Eropa yang menyebut bahwa Erdogan adalah penyebab memburuknya hubungan Turki dan Uni Eropa. Gaya kepimpinan milik Presiden Erdoğan dapat menjadi salah satu pengaruh tidak diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam makalah ini adalah bagaimana gaya kepemimpinan Recep Tayyip Erdogan dan mengapa hal tersebut dapat memengaruhi proses keanggotaan Turki di Uni Eropa Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian tersebut maka teori yang digunakan adalah teori gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Margaret G. Hermann. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang datanya diperoleh dari sumber data primer hasil dari kuesioner dan publikasi transkrip wawancara Erdogan dengan media serta sumber data sekunder hasil dari studi pustaka berupa buku biografi, artikel jurnal, berita, internet, dan statistika. Penelitian ini memiliki temuan bahwa Erdogan memiliki gaya kepemimpinan yang siap dalam mengahadapi hambatan politik, tertutup dalam proses pengolahan informasi, dan memiliki motivasi untuk membangun relasi. Gaya kepemimpinan tersebut berdampak pada sulit untuk diterimanya Turki sebagai negara anggota Uni Eropa.

The process of integration carried out by the European Union towards countries considered to be in European territory originated from economic integration which later turned into political integration. One country that wants to join as a member of the European Union is Turkey. Turkey has volunteered to take part in the process of negotiating European Union membership since 1959, but until 2019 Turkey still has not received the status of an EU member state. In fact, Turkey already has a new leader from the pro-European party. The leader was Recep Tayyip Erdogan who then held the position of Prime Minister and President of Turkey. However, there is a view in the European Union elite that Erdogan is the cause of deteriorating relations between Turkey and the European Union. President Erdogans leadership style can be one of the influences not accepted by Turkey as an EU member state. The research question raised in this paper is what is the leadership style of Recep Tayyip Erdogan And why does this affect Turkeys membership process in the European Union To help answer these research questions, the theory used is the theory of leadership style developed by Margaret G. Hermann. This study uses qualitative research methods whose data are obtained from primary data sources as a result of questionnaires and publication of transcripts of Erdogans interviews with media and secondary data sources resulting from literature studies in the form of biographies, journal articles, news, internet, and statistics. This study found that Erdogan has a leadership style that is ready to challenge political constraints, closed in the opensess to information, and has the motivation to build relationships. This leadership style has an impact on Turkeys acceptance as an EU member state."
2019
T54380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherona Junika
"Tesis ini membahas mengenai isu pendidikan di Eropa yang saat ini sedang memfokuskan pada peningkatan kualitas dan inovasinya agar mampu bersaing secara kompetitif di seluruh dunia. Pada dasarnya kebijakan pendidikan dibentuk dengan tujuan untuk melaksanakan kewajiban pasar internal yang sangat bergantung pada kondisi ekonomi saat itu, sehingga akhirnya Uni Eropa menciptakan kerangka kebijakan pendidikan yang berpusat pada dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya agar dapat memperkuat standar hidup warga Eropa yang cerdas, berkelanjutan dan inklusif sesuai dengan target “Strategi Eropa 2020” untuk menjadikan Eropa negara ekonomi berbasis pengetahuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif dengan pendekatan hubungan internasional, ekonomi dan budaya. Adapun teori yang digunakan sebagai instrumen analisis yaitu teori neo-institusionalisme (yang dikemukakan oleh William R. Scott) dengan tiga pilar elemen analisisnya, yaitu pilar normatif, regulatif, dan kultural-kognitif, serta teori modal manusia (yang dikemukakan oleh Garry S. Becker). Teori ini berkaitan dengan pencapaian produktivitas ekonomi melalui investasi modal manusia dalam program pendidikan dan pelatihan, serta sumber daya manusia sebagai tenaga kerja.

This thesis discusses the issue of education in Europe which is currently focusing on improving its quality and innovation in order to be able to compete competitively around the world. Basically, education policy was formed with the aim of carrying out the obligations of the internal market which is very dependent on the current economic conditions at that time, in order the European Union created an educational policy framework centered on the economic, political, social and cultural dimensions in order to strengthen the standard of living of its citizens to be smart, sustainable and inclusive in accordance with the target of the "European 2020 Strategy " to make Europe as a knowledge-based economy. The methods used in this research are qualitative methods with an approach to international relations, economics and culture. The theory used as an instrument of analysis is neo-institutionalism theory (by William R. Scott) with three pillars of its analysis elements (normative, regulative, and cultural-cognitive pillars), and Human Capital Theory (by Garry S. Bcker). This theory deals with achieving economic productivity through investment in human capital in education and training programs, and human resources as labor."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>