Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 66013 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohd. Bhukkar A. S.
"Latar Belakang: Risiko aritmia pasta infark miokard akut 5-11%. Perlu adanya stratifikasi risiko tedadinya aritmia pasca infark miokard akin. Aritmia yang terjadi pasta infark miokard akut dapat disebabkan karena perubahan elektrofisiologi, milieu (transient factors) dan aritmia spontan. Penelitian menggunakan late potential sebagai salah satu modalitas untuk mendapat gambaran perubahan elektrofisiologi yang terjadi pasta infark miokard akin dan sebagai prediktor risiko terjadinya aritmia. Late potential didapatkan dengan pemeriksaan SA-ECG.
Subyek: Dikurnpulkan 38 kasus infark miokard akut barn, sejak bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2005. Usia berkisar antara 35 - 65 tahun. Kriteria inklusi diagnosis infark miokard akut dengan menggunakan kriteria WHO. Kriteria eksklusi: infark sebeluinnya, blok cabang berkas, angina pektoris tak stabil, atrial fibrilasi dan fluter, infark miokard dengan strok iskemia, bedah pintas koroner dan riwayat angioplasti (sten atau balon).
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain kohor, dilakukan pemeriksaan Signal Averaged ECG untuk mendapatkan late potential, kontrol internal late potential negatif Dilakukan uji hipotesis yang sesuai untuk mendapatkan nilai kemaknaan pada penelitian ink Pemeriksaan SA-ECG dilakukan pada hari 6-16 perawatan di RS Harapan Kita, late potential sesuai dua dari 3 kriteria WHO.
Hasil : Laki-laki 30 (78,9%), wanita 8 (21,1%) dan usia rerata 52,34 tahun. Jens infark Q wave 18 (47,4%) dan non Q wave 20 (52,6%). Aritmia terutarna PVC 7 (18,4%), ventrikular takikardia (VT) 2 (5,3%) dan 29 (76,3%) normal. Lokasi infark terutama inferior 17 (44,7%) , non inferior 21 (55,3%).Rerata seat dilakukan pemeriksaan SA-ECG yaitu 9,6 hail dengan SB ± 2,6 hari. Parameter pemeriksaan SA-ECG yaitu 1. QRSD rerata 114,8 ins, SB ±15,8 ms, 2_ HFLA rerata 36,2 ms, SB ± 12,8 ms, 3, RMS rerata 30,2 u.V, SB ± 15,9 µV. Didapatkan late potential positif 13 (34,2%). Kadar kalium bulan pertarna dan bulan kedua dalann Batas normal. Aritmia terjadi pada bulan pertama 2 (5,3%) dan 9 (23.5%). Pada bulan pertama aritmia terjadi pada pasien dengan satu late potential positif dan satu dengan late potential negatif.Sedangkan pada bulan ke 2 didapatkan terjadi aritmia 7 (53,8%) dengan late potential positif dan 2 (8%) dengan late potential negatif, p < 0.003, IK 95% dan relatif risk (RR) 6.73.Tidak didapatkan hubungan bermakna lokasi infark, slat pemeriksaan SA-ECG dengan terbentuknya late potential. Tidak didapat hubungan bermakna antara kaliurn dan kejadian aritmia.
Kesimpulan : Late potential dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk stratifikasi risiko teijadinya aritmia, didapatkan aritmia dengan late potential positif pada bulan 2,.p < 0,003 dan risiko relatif sebesar 6,73. Perlu dilakukan penelitian dengan populasi yang lebih banyak, melibatkan beberapa seater, dilakukan menggunakan halter monitor untuk mengawasi terjadinya aritmia dan dalam waktu 1 tahun pasca infark miokard akut.

Background: Risk of arrhythmias in post acute myocardial infarction in first 2 years was within range 5-i 1%. The stratification of arrhythmia event in post acute myocardial infarction was needed. There are several factors in arrhythmias mechanism, such as electrophysiology alteration, milieu (transient factors) and spontaneous arrhythmias. In this study, late potential as cardio electrophysiology state post infarction is used to be arrhythmias predictor. Late potential description was obtained used by Signal-Averaged ECG.
Subjects: Thirty eight consecutive patients admitted to coronary care unit in Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan hospitals with documented acute myocardial infarction, since Juny 2004 to February 2005. Their ages were ranging from 35 to 65 years: Patients were included according to WHO acute myocardial infarction criteria.
Methods: This is a cohort study. SA-ECG was performed to obtained late potential, negative late potential patients as internal control. Signal-Averaged ECG was done in 6 - 16 days post acute myocardial infarction in Harapan Kita hospital. An abnormal (positive) SA-ECG is considered if two or more of the following three criteria from WHO.
Results: Subjects consisted of 30 (78,9%) male patients and female of 8 (21,1%). The mean age was 52,34 years.The incidence Q wave and non Q wave of acute myocardial infarction were 18 (47,4%) and 20 (52,6%). Type of arrhytrnias were premature ventricle contraction (PVC) 7 (18,4%), ventricular tachycardia (VT) 2 (5,3%) and normal 29 (76,3%). The inferior and non inferior wall site of infarction were 17 (44,7%) and 21 (55,3%). The mean time (days) recording of SA-ECG was 9,6 days, SD 1 2,6 days. There were three parameters of SA ECG included L QRSD mean 114,8 ms, SD 115,8 ms, 2. HFLA mean 36,2 ms, SD ± 12,8 ms, 3, RMS mean 30,2 p.V, SD ± 15,9 IN. The incidence abnormal SA-ECG was 13 (34,2%), Kalium level in first and second month of following was within normal range. The arrhytmias event in first and second month were 2 (5,3%) and 9 (23,7%). in first month, arrhytmia event in one positive and one negative late potential. In second month, seven of 9 patients had positive late potential. There was significant relation between abnormal SA-ECG and arrhytmia event in second month, p < 0.003 (CI 95%: 1,63-27,89), relative risk (RR) 6,73. There was no significant relation in site of infarction, time recording of SA-ECG, and kalium level with arrhytmia event.
Conclusion: The late potential could be used as one of arrhytmia predictors of post acute myocardial infarction. There was significant relation between late potential and arrhytmia in second month, p < 0,003, relative risk (RR) 6,73. Furthere study is needed with greater samples size and appropriate instruments (eg. Holter monitor).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwita Rian Desandri
"Latar belakang: Stenosis mitral SM akibat penyakit jantung reumatik PJR memiliki disfungsi sistolik ventrikel kiri VK secara subklinis bila menggunakan parameter global longitudinal strain GLS walaupun rata-rata pasien memiliki fraksi ejeksi FE baik. Pada PJR, inflamasi kronis menyebabkan terjadinya nekrosis fibrinoid, pada akhirnya menjadi fibrosis miokard. Berdasarkan teori ini, fibrosis miokard merupakan salah satu dasar teori yang mendasari disfungsi sistolik VK pada SM. Namun hingga kini penelitian yang menilai hubungan ini belum ditemukan.Tujuan: Mengetahui hubungan GLS sebagai parameter fungsi sistolik dengan volume fibrosis VK pada SM akibat PJR.Metode: Studi potong lintang melibatkan pasien SM akibat PJR akan menjalani pemeriksaan MRI jantung untuk mengevaluasi fibrosis miokard dengan metode LGE dan ekokardiografi untuk menilai GLS. Kedua data diolah menggunakan analisa korelasi.Hasil: Terdapat 36 pasien subjek penelitian. Volume fibrosis miokard rata-rata VK 4,9 2,7 . Walaupun FE baik median 62 , nilai GLS menurun dibandingkan nilai rujukan normal 13,5 3,9 . GLS memiliki korelasi sedang dengan volume fibrosis VK r = -0,432; p 0,009 . Tidak ada korelasi antara GLS dengan area katup mitral maupun gradien tekanan transmitral rata-rata. Tidak didapatkan juga korelasi antara FE dengan volume fibrosis.Kesimpulan: GLS memiliki korelasi sedang dengan volume fibrosis VK pada pasien SM akibat PJR.

Abstract Background. The correlation between the extent of myocardial fibrosis and subclinical LV systolic dysfunction in rheumatic mitral stenosis MS has not been widely studied. We sought to evaluate the correlation between the extent of LV myocardial fibrosis quantified by Late Gadolinium Enhancement LGE CMR and Global Longitudinal Strain GLS by Speckle Tracking Echocardiography STE in these patients.Methods. We prospectively evaluated 36 consecutive rheumatic MS patients who were planing to undergo intervention in our center. Then we evaluate the correlation between the extent of LV myocardial fibrosis quantified by Late Gadolinium Enhancement LGE CMR and Global Longitudinal Strain GLS by Speckle Tracking Echocardiography STE Results. Thirty six patients showed mean of LGE was 4,9 2,7 . Despite good ejection fraction median 59.5 , IQR 28 68 , the LV GLS was reduced mean 13.5 3.9 compared to normal reference value. There was moderate correlation between GLS and LGE r 0,432 p 0,009 . There are no correlations between GLS with mitral valve area MVA and mean mitral valve gradient mean MVG . No significant correlation was found between ejection fraction and LGE.Conclusion. There was moderate correlation between LGE and GLS in patients with rheumatic MS. Keywords Myocardial fibrosis global longitudinal strain late gadolinium enhancement CMR rheumatic mitral stenosis "
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Surya Suwita
"Latar Belakang: Salah satu modalitas yang dapat memprediksi aritmia ventrikel pasca-infark miokardium (MI), terutama MI anterior, adalah signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), melalui deteksi late potentials (LP) yang merupakan substrat aritmia ventrikel. Faktor-faktor ekstrakardiak yang sekaligus menjadi faktor risiko MI, misalnya hipertensi, diabetes, dislipidemia, dan obesitas, dipikirkan berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel pasca-MI melalui berbagai patomekanisme, yang kemungkinan berkaitan erat dengan timbulnya LP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekstrakardiak terhadap timbulnya LP saat awal perawatan pada pasien MI anterior yang dirawat di intensive cardiac care unit (ICCU).
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan pemeriksaan SA-ECG sewaktu terhadap 80 subjek penelitian yang mengalami MI anterior di ICCU selama periode Desember 2018-2019. Riwayat medis dan faktor risiko ekstrakardiak direkapitulasi, sedangkan data SA-ECG diambil dari pemeriksaan langsung maupun data SA-ECG pasien MI anterior ICCU dalam periode tersebut. Studi ini menggunakan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil: Faktor yang paling umum ditemukan adalah hipertensi (70,00%), diikuti dislipidemia (56,25%), diabetes (46,25%), dan obesitas (38,75%). Obesitas dan dislipidemia merupakan faktor ekstrakardiak yang berperan paling besar terhadap prevalensi LP. Namun, dari analisis tambahan, kami menemukan bahwa diabetes dengan hiperglikemia akut juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya LP. Besar OR untuk diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia masing-masing adalah sebesar 4,806 (IK95% 0,522-44,232), 4,291 (IK95% 0,469-39,299), dan 3,237 (IK95% 0,560-18,707). Hubungan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Pasien MI anterior yang menderita diabetes dengan hiperglikemia akut, obesitas, dan dislipidemia cenderung memiliki prevalensi LP yang lebih tinggi, namun secara statistik hubungan tersebut tidak bermakna. Untuk meningkatkan nilai prognostik SA-ECG, diperlukan pemeriksaan serial selama perawatan.

Introduction: One modality that can predict ventricular arrhythmias after myocardial infarction (MI), particularly anterior MI, is signal-averaged electrocardiogram (SA-ECG), through the detection of late potentials (LP) which is a substrate for ventricular arrhythmias. Extracardiac factors, which are also risk factors for MI, such as hypertension, diabetes, dyslipidemia, and obesity, are apparently associated with post-MI ventricular arrhythmias, which in turn may be correlated with LP.
Aim: This study aims to determine the effect of extracardiac risk factors on LP incidence in anterior MI patients treated in the intensive cardiac care unit (ICCU).
Methods: This was a cross-sectional study in which 80 subjects with anterior MI during December 2018-2019 underwent SA-ECG examination. The medical history and extracardiac risk factors were recapitulated, then the SA-ECG data was taken from either direct examination or ICCU patients database in that period. This study used multivariate analysis with logistic regression test.
Result: The most common factors found were hypertension (70.00%), followed by dyslipidemia (56.25%), diabetes (46.25%), and obesity (38.75%). Obesity and dyslipidemia are extracardiac factors with biggest role in the prevalence of LP. However, from subgroup analysis, we found that diabetes with acute hyperglycemia also had immense influence on the occurrence of LP. The OR for diabetes with acute hyperglycemia, obesity, and dyslipidemia were 4.806 (IK95% 0.522-44.232), 4.291 (IK95% 0.469-39.299), and 3.237 (IK95% 0.560-18.707). However, the association is not statistically significant.
Conclusion: Patients with anterior MI who suffer from diabetes with hyperglycemia in admission, obesity, and dyslipidemia potentially have a higher LP prevalence, despite statistically insignificance. To increase the prognostic value of SA-ECG, serial examinations are needed during hospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wishnu Aditya Widodo
"Latar Belakang. Infark miokard akut (IMA) masih merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di Indonesia dan dunia. Kejadian perdarahan pada pasien IMA berkaitan dengan angka mortalitas yang jauh lebih tinggi. Kejadian perdarahan ditemukan lebih tinggi pada populasi IMA dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) dibandingkan dengan IMA non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Analisa register skala besar telah mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan, dan beberapa diantaranya diaplikasikan sebagai sistem skor. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, belum ada satupun sistem skor yang dibuat khusus untuk populasi IMA-EST.
Metode. Studi retrospektif kohort dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien IMA-EST yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP). Kejadian perdarahan positif menggunakan definisi Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Karakteristik dasar, pemeriksaan klinis awal, data laboratorium, roentgen, terapi awal, tindakan IKPP, dan terapi selama perawatan merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode logistik regresi dan diberikan pembobotan sehingga menjadi suatu sistem skor. Sistem skor ini kemudian diuji kembali dengan menggunakan populasi yang sama.
Hasil. Sebanyak 579 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 42 diantaranya mengalami perdarahan (7.3%). Variabel yang masuk ke dalam model akhir adalah jenis kelamin perempuan, kelas Killip 3 / 4, Umur ≥ 62 tahun, Leukosit >12.000, Kreatinin >1.5, IMT ≥ 25, Lesi koroner multipel, Akses femoral, dan Pemasangan TPM. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model akhir menunjukkan hasil yang baik. Model alternatif dibuat dengan menghilangkan variabel yang berkaitan dengan hasil dan prosedur tindakan intervensif.
Kesimpulan. Sistem skor baru ini merupakan suatu sistem untuk memprediksi kejadian perdarahan pada populasi IMA-EST yang menjalani IKPP. Skor ini memiliki nilai kalibrasi dan diskriminasi yang baik sehingga diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama perawatan.

Background. Acute myocardial infarction still become one of the leading mortality cause in the world. Among these patients, ST elevation myocardial infartion (STEMI) has the greatest mortality rate among other type of Myocardial Infarction. When a myocard infarct patient have bleeding events, mortality rate greatly increased. Up until now, there is no specific bleeding risk assessment tool to predict bleeding events in STEMI patient.
Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in STEMI patients underwent Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI). Bleeding event was defined according to definition by Bleeding Academic Research Consortium (BARC). Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, initial therapies, lab results, x-ray, PPCI procedures, and in hospital treatments. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method and then converted to a scoring system.
Result. 579 sampels fit the inclusion and exclusion criteria. Bleeding event occured in 42 patients (7.3%). Score was created by assignment of variables that included in the final model according to their Odds Ratio (OR) values. The variables are female gender, Killip class 3 / 4, Age ≥ 62 y.o, White blood cell >12.000, Creatinine >1.5, Body Mass Index ≥ 25, Multiple coronary lesion, Femoral access, and TPM implantation. These variabels was converted into two type of scoring system. The complete model contains all of the variables, and the alternative model discard variables related to interventional result and procedures.
Conclusion. A new scoring system quantifies risk for in-hospital bleeding event in STEMI patients underwent PPCI, which enhances baseline risk assessment for STEMI care.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Katrina Ruth Ulima
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan pilihan utama terapi repefusi pada infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMAEST) dan obstruksi mikrovaskular (OMV) merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi pada IKPP. Osteoprotegerin (OPG) merupakan tumor necrosis factor receptor yang konsentrasinya meningkat pada pasien IMA-EST. Studi yang menganalisis hubungan konsentrasi serum OPG dengan luasnya infark masih sangat terbatas.
Metode. Tiga puluh enam pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) pada bulan September hingga November 2013, direkrut secara konsekutif pada studi potong lintang ini. Dilakukan analisis hubungan antara konsentrasi serum OPG sebelum IKPP dengan hs-trop T 24 jam pasca IKPP.
Hasil. Analisis bivariat menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum OPG dengan hs-trop T (r = 0.41, p =0.015). Analisis multivariat konsentrasi serum OPG dan onset nyeri mempengaruhi luas infark (indeks kepercayaan 5.15 – 49.19, p =0.017 dan indeks kepercayaan 2.56 - 15.28, p = 0.005).
Kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan antara konsentrasi serum osteoprotegerin saat masuk dengan luas infark miokard yang diukur dengan hs-trop T pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP.

Primary percutaneous coronary intervention (PPCI ) is the preferred option for reperfusion therapy in acute ST-elevation myocardial infarction (STEMI) patients and microvascular obstruction (MVO) is one of the complication that might occurred during PPCI. Osteoprotegerin (OPG) is a tumor necrosis factor receptors that may increased in STEMI patients. Studies that analyze the relationship between serum concentrations of OPG with the extent of infarction are still very limited.
Method. Thirty six patients underwent PPCI were enrolled in this cross sectional study during September to November 2013. We analyzed the relationship between serum concentrations of OPG before PPCI with the level of hs-trop T measured 24 hours after PPCI.
Results. Bivariate analysis showed a significant correlation between serum osteoprotegerin concentration and hs-trop T (r=0.41, p=0.015). Multivariate analysis showed significant correlation between the extent of infarction with both onset of pain (confidence interval 2.56-15.28, p=0.005) and serum osteoprotegerin concentrations (confidence interval 5.15-49.19, p= 0.017).
Conclusion. This study showed that serum osteoprotegerin concentration have a significant relationship to the extent of infarction measured with hs-trop T in acute STEMI patients underwent PPCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto
"Latar belakang: PCSK9 telah diketahui sebagai molekul yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. Dua dekade ini, PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan, akan tetapi sekelompok pasien masih mengalami luaran klinis buruk meski telah mendapatkan tatalaksana optimal. Adanya polimorfisme gain of function E670G PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam risiko residual pasien-pasien tersebut Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 423 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme PCSK9 pada saat admisi. Pemeriksaan polimorfisme PCSK9 didapatkan dengan menggunakan Real Time PCR. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up telepon. Hasil: Terdapat 2,1 % polimorfisme berupa alel mutan (AG). Terdapat 65 (15,4%) subjek penelitian yang mengalami luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari. Didapatkan analisis kesintasan menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP, terdapat hubungan yang bermakna antara polimorfisme E670G PCSK9 dengan luaran kardioserebrovaskular mayor dalam 180 hari.

Background: PCSK9 is a molecule that regulates blood LDL cholesterol level. Recent evidences suggest that PCSK9 may also have other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which all may play a role in the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Previous advances in the management of STEMI had succeed in increasing survival. However, some STEMI patients still experienced adverse outcomes eventhough they already received optimal management in accordance with the guidelines. Polimorphysm gain of function PCSK9 may have a role in the residual risk that those patients have. However, our knowledge regarding this association between polymorphism gain of function E670G PCSK9 and MACCE in STEMI is still unknown. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between polymorphism Gain of Function E670G PCSK9 with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 423 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for Polymorphism PCSK9. PCSK9 Polymophism was measured with PCR RT. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: The prevalence of Poymorphisme E670G PCSK9 in STEMI patient who underwent PPCI is 2,1 %. There were 65 (15,4%) study participants who experienced MACCE in 180 days. Survival analysis shows a significant association between Polymorphsm Gain of Function E670G PCSK9 and MACCE in 180 days. (HR 7,486; IK95% 3.57-15.697; P=0,0000). Conclusion: There was significant association between Polymorphsm gain of function E670G PCSK9 and 180 days MACCE in STEMI patients treated with primary PCI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hanifa
"ABSTRAK
Latar Belakang : Lama waktu kembali bekerja penting untuk diperhatikan khususnya pada penyakit yang memiliki kemungkinan terjadinya relaps, salah satunya adalah infark miokard. Namun di Indonesia belum ada referensi untuk lama waktu kembali bekerja setelah infark miokard. Tujuan : Untuk menilai rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard dan faktor-faktor yang berhubungan Metode : Penelitian potong lintang ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. 130 pasien rawat jalan yang sebelumnya memiliki pekerjaan tetap, diikutsertakan dalam penelitian ini dengan metode consecutive sampling. Data yang diperlukan didapatkan dari kuesioner data umum, DASS 42, Job Satisfaction Survey, dan rekam medis. Hasil : Rerata lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard adalah 14 hari. Berdasarkan analisis regresi linear, faktor-faktor yang berhubungan dengan lama waktu kembali bekerja setelah mengalami infark miokard, yaitu yang memperlama waktu tersebut adalah pada jenis pekerjaan yang banyak bergerak, waktu kembali kerja yang ditentukan oleh dokter, fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah dan durasi perawatan di rumah sakit yang lebih lama. Kesimpulan : Keberhasilan kembali kerja setelah mengalami infark miokard berhubungan dengan faktor pekerjaan dan faktor klinis, oleh karena itu evaluasi terperinci oleh seorang dokter spesialis okupasi serta dokter spesialis jantung dan pembuluh darah sangat diperlukan.

ABSTRACT
Background The duration of return to work because of a disease needs to have the attention of a doctor, especially in a diseases that has probability for a relapse, one of them is myocardial infarction. However, in Indonesia there is no reference yet about the duration of return to work after myocardial infarction. Objective To assess the average time of return to work after myocardial infarction and the associated factors. Methods This cross sectional study was conducted at National Cardiovascular Center Harapan Kita. 130 employed out patients were involved in this study by consecutive sampling method. The required data was gathered from general data questionnaires, DASS 42, Job Satisfaction Survey and medical records. Result The mean duration for return to work after myocardial infarction was 14 days. Based on linear regression analysis, factors related to the duration of return to work after myocardial infarction, which prolonged the time, were the active job, the time that was determined by a doctor, the low left ventricular ejection fraction and longer hospitalization duration. Conclusion The success to return to work after myocardial infarction is related to occupational and clinical factors, thus a precise evaluation by an occupational medicine specialist and cardiologist is very needed. Keywords return to work, duration of return to work, myocardial infarction, occupational medicine specialist, occupational factors"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sujoko
"ABSTRAK
Penderita pasca IMA yang menunjukan elevasi segmen ST pada ULJB akan mendapat serangan koroner cukup besar berkisar 75% - 84% dan mempunyai gambaran klinik berupa infark anterior yang leas.
Insidensi untuk terjadi elevasi segmen ST pada ULJB bervariasi 2 - 3,5% ada pula yang mendapatkan 14 - 51% , sedangkan kematian tertinggi terjadi pada 6 bulan setelah IMA. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan penelitian secara
retrospektip dan prosfektip pada penderita IMA yang masuk di R.S. Jantung Harapan Kita Jakarta dalam periode Nopember 1985 - Agustus 1988 dengan tujuan penelitian melihat serangan koroner berupa kematian, payah jantung,IMA dan angina berulang yang terjadi dalam periode tindak lanjut (" follow up ") 10 bulan.
Insidensi elevasi segmen ST pada ULJB pada penelitian ini didapat 14,81% dan didominasi 79,2% infarct anterior. Kelompok yang diteliti 19 penderita dengan hasil ULJB elevasi segmen ST , kelompok kontrol 12 penderita dengan hasil ULJB depresi segmen ST, kedua kelompok ini berlatar belakang infark anterior dan beralamat di Jakarta.
Variahel kedua kelompok ini jenis kelamin sama serta usia juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti berusia rata-rata 52,55 ± 6,58 tahun, sedang pada kelompok kontrol, berusia rata-rata 53,79 ± 8,05 tahun, faktor resiko juga tidak berbeda, lama ULJB yang dicapai juga tidak berbeda bermakna kelompok yang diteliti lama ULJB rata-rata 7,11 ± 2,98 menit sedang kelompok kontrol 7,83 ± 5,6 menit, denyut jantung yang dicapai juga tidak berbeda bermakna pada kelompok yang diteliti denyut jantung rata-rata 134,17 ± 13,47 / menit kelompok kontrol 123,17 ± 20,12 / menit.
Nilai ensim kreatinin kinase saat masuk rumah sakit pada kelompok yang diteliti adalah sangat tinggi dan berbeda bermakna dibanding kelompok kontrol yang menunjukan infark luas.
Pada tindak lanjut selama 10 bulan didapatkan serangan koroner hanya pada kelompok yang diteliti 31,5% dengan kematian pada 2 penderita .
Karena itu perlu dilakukan koroner angiografi pada penderita pasca IMA yang menghasilkan elevasi segmen ST pada ULJB guna pertimbangan Bedah pintas koroner atau medikamentosa.
"
1989
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiansyah
"Latar belakang: Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan salah satu penyebab gagal jantung. Terapi yang selama ini dilakukan belum sepenuhnya mampu memperbaiki kerusakan otot jantung yang telah terjadi. Terapi sel punca baik injeksi maupun patch juga masih belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. Penggunaan patch jantung dihadapkan pada masalah seperti rendahnya viabilitas sel yang dihasilkan. Hipotermia pada suhu 4°C yang digunakan untuk isolasi kardiomiosit selama ini dikaitkan dengan gangguan aktivitas sel yang menyebabkan penurunan jumlah sel viabel yang dihasilkan. Suhu 37°C yang merupakan suhu fisiologis tubuh dinilai mampu menghasilkan viabilitas sel lebih baik.
Metode: Studi ekperimental in vitro dilakukan di Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) dan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam periode Desember 2019 hingga November 2020 dengan mengikutsertakan subjek pasien yang menjalani operasi total koreksi tetralogy of Fallot. Jaringan reseksi otot infundibulum jantung diambil kemudian dilakukan isolasi untuk menilai viabilitas sel dan ekspresi genetik.
Hasil: Delapan subjek ((n = 4) ± 95% C.I) kelompok suhu 37°C secara signifikan menghasilkan jumlah sel viabel yang lebih banyak (mean: 2675sel/mg) dibandingkan suhu 4°C (mean: 970 sel/mg) dengan (p <0,05). Ekspresi gen yang mengekspresikan sel kardiomiosit secara flowsitometer terlihat kelompok medium transpor 37°C secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan suhu 4°C.
Simpulan: Isolasi kardiomiosit menggunakan medium transpor suhu fisiologis (37⁰C) menghasilkan jumlah sel viable yang lebih banyak dibandingkan medium konvensional (4⁰C).

Background: Coronary heart disease is one of the main causes of death in developing countries, including Indonesia. This disease is one of the causes of heart failure. The therapy that has been implemented has not able to repair the damage of the heart muscles that have occurred. Stem cell therapy, either injection or patch, has not succeeded satisfactorily. The use of the cardiac patch is exposed to many problems such as low viability of the cells produced. Hypothermia at 4°C, which is used for isolation of cardiomyocytes related with activity disturbance which causes a decrease in the number of viable cells produced. The temperature 37°C which is the body's physiological temperature considered can produce better cell viability.
Methods: An experimental invitro study was conducted in the Pelayanan Jantung Terpadu Cipto Mangunkusumo (PJT-RSCM) and the Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI) Faculty of Medicine, University of Indonesia from December 2019 to November 2020 by recruiting patient subjects who underwent total correction of tetralogy of Fallot. The resection of the cardiac infundibulum was taken and then isolated to assess cell viability and gene expression.
Results: A total of eight subjects ((n = 4) ± 95% CI) the 37°C group produced significantly more viable cells (mean: 2675 cells/mg) than at 4°C (mean: 970 cells/mg).)) with (p <0.05). The expression of genes expressing cardiomyocytes by flowcitometer showed that the physiological group (37°C) was significantly higher than the conventional group (4°C).
Conclusion: Isolation of cardiomyocytes using a physiological temperature transport medium (37⁰C) resulted in a higher number of cells than conventional medium (4⁰C).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>