Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 152973 dokumen yang sesuai dengan query
cover
F.X. Hendriyono
"Penderita thalassemia β mayor berisiko mengalarni hemokromatosis yang dapat merusak dan menurunkan fungsi ginjal. Pemeriksaan kadar kreatinin serum secara rutin telah digunakan untuk menilai fungsi ginjal namun cara ini banyak kekurangannya, sedangkan parameter baru cystatin C serum diketahui febih baik dibandingkan kreatinin namun belum pernah diteliti pada penderita thalassemia β mayor dengan hemokromatosis. Dengan mengetahui Iebih dini adanya penurunan fungsi ginjal maka diharapkan dapat menghambat progresititas penurunan fungsi ginjal pada penderita thalassemia β mayor dengan hemokromatosis.
Penelitian ini bertujuan menilai fungsi ginjal penderita thalassemia β mayor dengan hemokromatosis. Janis penelitian, potong lintang diiaporkan dalam bentuk deskriptif analitik. Pengambilan darah dan data subyek dilaksanakan di pusat Tfralassemia ilmu Kesehatan Anak dan pengukuran laboratorium dilaksanakan di Departemen Patologi Klinik FKU/RSCM. Semua pasien yang memenuhi kriteria masukan diambil yaitu usia 10-21 tahun, saturasi transferin > 55%, pengobatan desferal < 3 kali per minggu, tidak mendapat obat yang mengganggu sekresi kreatinin.
Hasil penelitian didapatkan, kadar kreatinin serum berkisar 0,2-0,7 mg/dL kadar cystatin C serum berkisar 0,69-1,31 mg/L, laju filtrasi glomerulus berdasarkan kadar cystatin C serum dengan menggunakan rumus Hoek (LFG-C) berkisar 57-112,1mL/menit/1,73m2, laju filtrasi glomerulus berdasarkan kadar kreatinin serum menggunakan rumus Counahan-Barrat (LFG-K) berkisar 95,2-288,1 mL/menit/1,73 m2 dan tidak dijumpai perbedaan hasil antara lelaki dan wanita pada parameter tersebut diatas. Dare 62 penderita thalassemia β mayor dengan hemokromatosis didapatkan penurunan fungsi ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus < 90 mL/menit/1,73m2 sebesar 75,8% jika ditetapkan dengan LFG-C yang mulai terlihat setelah 96 bulan mendapat transfusi berulang. Namun jika ditetapkan dengan LFG-K semuanya belum menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Dijumpai korelasi antara lamanya mendapat transfusi darah dan LFG-C dengan r = - 0,475; sedangkan antara total volum darah transfusi dengan LFG-C dengan r = - 0,467; antara kadar kreatinin dan cystatin C serum dengan r = 0,504. Dijumpai korelasi lemah antara LFG-K dan LFG-C dengan r = 0,37. Tidak djumpai adanya korelasi antara kadar cystatin C serum dengan saturasi transferin. Didapatkan persamaan garis linier regresi pengaruh lamanya mendapat transfusi darah (Y} terhadap rerata LFG-C (X) yaitu Y = 569,1 - 5,06X, sedangkan pengaruh total volum darah transfusi (Y) terhadap LFG-C (X) yaitu Y 107380,7 - 617,414X. Pada penderita thalassemia p mayor dengan hemokromatosis kadar kreatinin serum cenderung rendah oleh karena itu pemantauan fungsi ginjal tidak dianjurkan menggunakan LFG-K, sebaiknya menggunakan LFG-C.

Patients with j3-thalassemia major are at risk of developing hemochromatosis that will deteriorate and decrease renal function. Routine serum creatinine measurement has utilized to assess renal function, but this method has a lot disadvatages, while cystatin C a new parameter is known to be better than serum creatinine but had never been studied in p-thalassemia major patiens with hemochromatosis. Early detection of decreased renal function cans hopefully, slower the progressivity of renal function decrease in 13-thalassemia major patiens with hemochromatosis.
The aim of this study was to access renal function in p-thalassemia major patiens with hemochromatosis. This study was designed as cross-sectional study, and the report was analytic descriptive. Blood and subject data collection was performed in the Thalassemic Center, Departement of Child's Health, FMU1 and laboratory test were performed in the Departement of Clinical Pathology, FMUI, Cipto Mangunkusumo National Hospital. All eligible patiens, i.e aged 10-21 years, with transferrin saturation of > 55%, on desferal with frequency of less than 3 timelweek, not on any medication that affect creatinine secretion, were included in this study.
Result of this study showed that serum creatinine level ranged between 0.2-0.7 mg/dL, serum cystatin C level ranged between 0.69-1.31 mg/dL, glomerular filtration rate based on serum cystatin C level calculated with Hoek formula (GFR-C) ranged from 57- 112.1 mUminll.73 m2, glomerular filtration rate base on serum creatinine level calculated with Counahan-Barrat formula (GFR-K) ranged from 95.2-288.1 mL/min/1.73 m2 and there were no significant difference between male and female for all the parameters above. Of 62 subjects, we found decreased renal function, Le. GFR < 90 mL/min/1.73 m2 in 75,8% if GFR-C was used, and decrease was evident approximately 96 months after first administration of repeated transfusion regiment. But, if GFR-K was used, none of the patiens showed decrease renal function. There were negative correlation between the time interval from first transfusion and GFR-C (r = - 0.475) and between total volume of transfused blood (r = -0.467). Positive correlation was observed between serum creatinine and cystatine C level (r = 0.504). Weak correlation was found between serum cystatin C level and transferrin saturation. The equation of linear regression between the length of transfusion (Y) and mean GFR-C (X) was Y = 569.1 - 5.06X, while linear regression line between total volume of transfused blood (Y) and GFR-C (X) was Y = 107380,7 - 617.414X. In p-thalassemia major patiens with hemochromatosis, serum creatinine level tended to be low, thus GFR-K is not recommended for determination of renal function, and instead, GFR-C is a better measure of renal function in those patiens.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21404
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Indrawati
"Latar belakang: Pekerja yang bekerja di lingkungan panas mempunyai resiko tinggi mengalami gangguan ginjal akibat dehidrasi kronis. Gangguan ginjal dapat dicegah jika kelainan dapat dideteksi dan diterapi sejak awal dimana resiko kesakitan dan kematian juga akan berkurang. Pemeriksaan yang biasa dilakukan dalam praktek sehari-hari pada saat ini adalah dengan kreatinin. Namun pemeriksaan kreatinin baru menunjukkan kelainan pada penurunan LFG lanjut. Cystatin C dikatakan bisa mendeteksi gangguan ginjal lebih awal sebelum kadar kreatinin meningkat sehingga dapat segera dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari kerusakan ginjal lebih lanjut.
Metode penelitian:` Penelitian dilakukan dengan desain Cross sectional. Dilakukan pada 94 pekerja laki-laki yang dipilih secara random sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium. Kadar cystatin c serum diukur dengan metode Immunonephelometri, kreatinin diukur dengan metode enzymatik, kemudian dihitung estimasi Laju Filtrasi Glomerulus berdasar Cystatin C dan kreatinin dengan metode CKD EPI. Hasil penelitian dilakukan analisa univariate dan bivariate.
Hasil: Didapatkan prevalensi Gangguan Fungsi Ginjal dari Pemeriksaan Cystatin C pada Pekerja terpapar panas dengan Laju Filtrasi Glomerulus normal sebesar 17 %. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan gangguan ginjal (p=0,000) dengan OR 13,22. Terdapat hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan gangguan ginjal (p = 0,043) dengan OR 6,67.
Kesimpulan: LFG dengan Cystatin C dapat mendeteksi lebih dini gangguan ginjal sebelum kreatininnya meningkat dengan prevalensi 17% sehingga dengan upaya promotif dan preventif yang dilakukan diharapkan dapat mencegah gangguan ginjal lebih lanjut.

Background: Workers who work in hot environments have a high risk of having renal disorders due to chronic dehydration. Renal disorders can be prevented if the abnormality can be detected and treated early in the beginning where the risk of morbidity and mortality is lower, as well. The common test conducted in daily practice today is the creatinine clearance test. However, creatinine clearance test shows abnormalities only in an advance reduced GFR. Cystatin C is known to be able detecting renal disorders in early stage before the creatinine level increases so that precautions can be taken to prevent a more advance renal damage.
Study Method: This study used a cross sectional design. It was conducted to 94 workers whom selected with random sampling. Data was collected by interview, physical examination, and laboratory tests. Serum level of Cystatin C was measured by the method of immunonephelometry. Creatinine was measured by enzymatic method and subsequently, Glomerular Filtration Rate was estimated based on cystatin and creatinine using CKD EPI method. Univariate and bivariate analysis was performed to the results.
Result: The study suggest that there is prevalence of renal disorders based on Cystatin C test in heat-exposed workers with normal glomerular filtration rate by 17%. There is a significant association between age and renal disorder (p = 0,000) with OR 13.22. There is a significant relation between period of employment with renal disorder (p = 0,001) with OR 6.57.
Conclusion: Cystatin-based GFR is able to detect renal disorder at early stage before the creatinine level increases with prevalence of 17% so that further renal damage is expected to be able prevented with promotion and prevention attempts.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Alex Saputri
"Malondialdehida merupakan produk peroksidasi lipid yang diduga bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya nefropati diabetik. Penelitian ini menilai hubungan antara kadar malondialdehida serum dengan UACR dan laju filtrasi glomerulus sebagai parameter fungsi ginjal. Penelitian ini menggunakan 54 pasien diabetes melitus tipe 2 sebagai sampel (3 laki-laki dan 51 perempuan, rentang usia 42-74 tahun).
Kadar malondialdehida serum diukur secara spektrofotometri menggunakan asam tiobarbiturat. Laju filtrasi glomerulus diperoleh dari nilai kreatinin serum. Kreatinin urin diukur dengan metode Jaffe dan albumin urin diukur dengan metode bromkresol hijau. Kadar malondialdehida pasien diabetes diperoleh sebesar 2,46 ± 2,58 nmol/mL; nilai UACR sebesar 42,32 ± 76,67; dan nilai laju filtrasi glomerulus sebesar 104,75 ± 46,16 (Cockroft-Gault); 89,52 ± 25,86 (MDRD study); dan 99,49 ± 46,11 (CKD-EPI).
Hasil analisis hubungan antara malondialdehida dengan Cockroft-Gault (p = 0,491, r = -0,096); MDRD study (p = 0,618, r = -0,069); CKD-EPI (p = 0,611, r = -0,071); UACR (p = 0,583, r = 0,076). Ditemukan hubungan yang bermakna antara nilai UACR dengan laju filtrasi glomerulus Cockroft-Gault (p = 0,019, r = -0,318); MDRD study (p = 0,007, r = -0,361); CKD-EPI (p = 0,010, r = -0,348). Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara malondialdehida dengan laju filtrasi glomerulus dan UACR.

Malondialdehyde is a product of lipid peroxidation that is suspected as a cause of diabetic nephropathy. This study assessed the relation between malondialdehyde level with UACR and glomerular filtration rate as renal function parameters. This study is using 54 patients type 2 diabetes mellitus as samples (3 men and 51 women, age range 42-74 years).
Malondialdehyde was measured by spectrophotometry using tiobarbiturat acid. Glomerular filtration rate was obtained from serum creatinine value. Urine creatinine was measured based on Jaffe method and urine albumin was measured with bromcressol green. Malondialdehyde level of diabetic patients was 2.46 ± 2.58 nmol/mL; UACR was 42.32 ± 76.67; and glomerular filtration rate were 104.75 ± 46.16 (Cockroft-Gault); 89.52 ± 25.86 (MDRD study); and 99.49 ± 46.11 (CKD-EPI).
The analysis result of the relationship between malondialdehyde and Cockroft-Gault (p = 0.491, r = -0.096); MDRD study (p = 0.618, r = -0.069); CKD-EPI (p = 0.611, r = -0.071); and UACR (p = 0.583, r = 0.076) . There were significant correlation between UACR and glomerular filtration rate Cockroft-Gault (p = 0.019, r = -0.318); MDRD study (p = 0.007, r = -0.361 ); CKD-EPI (p = 0.010, r = -0.348). There were no significant correlation between malondialdehyde level and glomerular filtration rate or UACR.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S54999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Haryo Yudanto
"ABSTRACT
Laju filtrasi glomerulus menjadi salah satu indikator keseluruhan tingkat fungsi ginjal. Selain pemeriksaan laju filtrasi glomerulus terdapat pula pemeriksaan lainnya yang juga dinilai dapat menggambarkan kondisi tersebut, yaitu pemeriksaan kadar asam urat. Namun selama ini belum adanya kepastian korelasi dan ukuran kadar asam urat yang sesuai untuk menentukan stadium penyakit ginjal kronik. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui apakah terdapat korelasi antara Kadar asam urat dalam darah dan laju filtrasi glomerulus pada penderita penyakit ginjal kronik. Penelitian menggunakan desain potong lintang pada 75 orang pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan pemeriksaan asam urat dan laju filtrasi glomerulus pada Laboratorium RSCM data sekunder. Analisis data dilakukan menggunakan uji korelasi Spearmans. Hasil penelitian ini, terdapat hubungan yang signifikan antara kadar asam urat darah dengan kadar laju filtrasi glomerulus p: 0,005; r: -0,362. Kesimpulannya, terdapat korelasi lemah negatif antara kadar asam urat darah dengan kadar laju filtrasi glomerulus pada pasien penyakit ginjal kronik. Kondisi ini kemungkinan dapat terjadi karena adanya faktor-faktor lain yang lebih berkontribusi terhadap kadar asam urat dan kadar laju filtrasi glomerulus.

ABSTRACT
Glomerular filtration rate is an indicator of kidney function. Beside of glomerular filtration rate, uric acid measurement in blood is also kidney function indicator. However, correlation between uric acid level and chronic kidney disease stadium has not been established. This research aims to find the correlation between those two variables. This research was done from laboratory result of 75 chronic kidney disease patients who underwent uric acid and glomerular filtration rate examination in RSCM laboratory. Sparmann rsquo s correlation test was done and showed significant correlation between blood uric acid level p 0.005 r 0.362 . Therefore, there is weak negative correlation between blood uric acid level and glomerular filtration rate in chronic kidney disease patients. It can be caused by other more contributing factors to blood uric acid level and glomerular filtration rate. "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okta Festi Amanda
"Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu komplikasi serius yang sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Dibutuhkan sebuah penanda yang dapat mendeteksi PGK sejak awal untuk mencegah progresifitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar malondialdehida (MDA) serum dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eLFG). MDA merupakan penanda stres oksidatif yang diprediksi berperan dalam tahap awal kerusakan ginjal.
Desain penelitian ini adalah potong lintang. Populasi yang digunakan adalah pasien DM tipe 2 rawat jalan di Puskesmas Pasar Minggu. Sampel yang dianalisis sejumlah 50 orang (14 laki-laki, dan 36 perempuan, rentang usia 39-74 tahun), diambil dengan tenik total sampling. Kadar MDA diukur secara spektrofotometri berdasarkan reaksi antara MDA dengan asam tiobarbiturat, dengan nilai koefisien korelasi (r) dari metode tersebut 0,9996 dan koefisien variasi (%KV) intra dan antar pengukuran berkisar 2,75-13,33%.
Nilai eLFG diukur berdasarkan metode kinetik Jaffe, dengan koefisien korelasi (r) 0,9994 dan %KV intra dan antar pengukuran berkisar 2,91 – 9,52%. Kadar MDA pasien DM tipe 2 diperoleh 0,82 ± 0,26 nmol/ml, dan nilai eLFG diperoleh 78,30 ± 26,77 (Cockroft-Gault); 76,08 ± 24,17 (MDRD study); dan 79,25 ± 21,04 (CKD-EPI). Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar MDA dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan Cockroft-Gault (p =0,039, r = -0,293), tetapi tidak terlihat hubungan yang bermakna dengan nilai eLFG berdasarkan persamaan MDRD study dan CKD-EPI (p = 0,051 dan p = 0,053; r = -0,277 dan r = -0,275).

Chronic kidney disease (CKD) is one of serious complication that most common in type 2 diabetes mellitus patients. It is important to find a marker that can detect it earlier to prevent its progression. The aim of this study was to analyze the correlation between malondialdehyde (MDA) concentration and estimated glomerular filtration rate (eGFR). MDA is an oxidative stress marker which was predicted allies in early stage of kidney damage.
The design of this study is cross sectional. The population was type 2 DM outpatients at Pasar Minggu Local Government Clinic. Total sampling method was used in sample selection. Samples being analyzed were as much as 50 patients (14 males, 36 females, age ranges : 39-74 years). MDA was measured by spectrophotometric based on its reaction with thiobarbituric acid. The coefficient correlation (r) of this method was 0.9996 and the coefficient of variation (%CV) within and between run were 2.75 - 13.33%.
eGFR was measured based on kinetic Jaffe method. Its coefficient correlation (r) was 0.9994 and %CV within and between run were 2.91-9.52%. MDA concentration in type 2 DM patients in this research was 0.82 ± 0.26 nmol/mL and the eGFR values were 78.30 ± 26.77 (Cockroft-Gault); 76.08 ± 24.17 (MDRD study); and 79.25 ± 21.04 (CKD-EPI). There was a significant correlation between MDA concentration and eGFR based on Cockroft-Gault formula (p =0.039, r = -0.293), but there were no significant correlation between MDA concentration and eGFR based on MDRD study and CKD-EPI (p = 0.051 and p = 0.053; r = -0.277 and r = -0.275).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S46473
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Wulandari Puspitasari
"Latar belakang: Hasil pada penelitian hewan coba yang telah dilakukan sebelumnya, salah satunya menyatakan pajanan formaldehida dapat menimbulkan nefrotoksisitas. Cystatin c merupakan penanda endogen laju filtrasi glomerulus yang mendekati ideal. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara pajanan formaldehida dan faktor risiko lain dengan kadar cystatin c serum pada pekerja industri kain ban yang bekerja dengan formaldehida (dipping) dan tidak bekerja dengan formaldehida (weaving).
Metode penelitian: Desain studi adalah potong lintang komparatif. Melibatkan 144 pekerja secara total, masing-masing 72 orang laki-laki dari bagian dipping dan weaving. Data dikumpulkan dengan cara wawancara, kuisioner, pemeriksaan fisik dan data sekunder pekerja dari data hasil MCU 2012. Cystatin c serum diukur dengan menggunakan metode PENIA.
Hasil: Total sampel dalam penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 119 orang. Hasil pengukuran cystatin c serum menunjukkan rata-rata masih dalam batas normal. Variabel unit kerja dengan formaldehida, perokok sedang, obese dan masa kerja >15-29 tahun memiliki hubungan bermakna dengan kadar cystatin c serum. Dari hasil regresi linear bahwa kekuatan asosiasi paling dominan dengan kadar cystatin c serum adalah unit kerja dengan formaldehida (β=0,293, p=0,001).
Kesimpulan: Rata-rata kadar cystatin c serum pada bagian dipping lebih tinggi dibandingkan bagian weaving, meskipun masih dalam batas normal. Didapatkan hasil kadar cystatin c serum diatas normal dengan kadar 0,986 mg/L pada 1 responden dari bagian dipping yang telah bekerja pada unit dengan formaldehida selama 27 tahun, namun pekerja tersebut juga memiliki faktor risiko lainnya yaitu obese grade 1 dan perokok ringan. Unit kerja dengan formaldehida memiliki hubungan paling dominan dengan kadar cystatin c serum.

Background: Review of literature from previous animal studies, showed that exposure to formaldehyde can increase the risk of nephrotoxicity. Cystatin c is a nearly ideal endogenous marker of glomerular filtration rate. This study aims to determine that relationship between formaldehyde exposure and other risk factors with levels of serum cystatin c in the fabric tire industry among workers who worked with formaldehyde (dipping department) and those who worked without formaldehyde (weaving department).
Methods: A comparative cross-sectional design was used. A total of 144 workers were included, 72 men from each department. Data collection conducted was by interview using a standardized questionnaire, physical examination and collecting secondary data from 2012 MCU data. Cystatin c was measured by PENIA method.
Results: Workers who met inclusion criteria were 119 people. Formaldehyde exposure, moderate smokers, obese and lenght of work >15-29 years had a meaningful relationship with levels of serum cystatin c. Result of linear regression showed that the dominant associated factor with levels of serum cystatin c is the workplace that used formaldehyde (β=0,293, p=0,001).
Conclusion: Mean levels of serum cystatin c among workers of the dipping department was higher than weaving department, although still within normal limits. Only one respondent showed at a level of serum cystatin c above normal with 0,986 mg/L from the dipping department who has been working 27 years, he also had other factors like obese grade 1 and is a light smoker. Working with formaldehyde showed the most dominant relationship with levels of serum cystatin c.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Putri Balqis Sarena
"Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang terjadi karena adanya kelainan pada sekresi insulin atau kerja insulin yang ditandai dengan adanya karakteristik hiperglikemia dan dapat berujung komplikasi berupa nefropati diabetik. Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis Diabetes Melitus salah satunya adalah dengan menggunakan HbA1c, yang merupakan hasil dari proses glikosilasi nonenzimatis glukosa pada hemoglobin. Korelasi antara HbA1c dengan mikroalbumin dan laju filtrasi glomerulus sebagai penanda nefropati diabetik belum banyak diteliti di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan design penelitian cross-sectional dengan menggunakan 80 subjek yang memeriksakan kadar HbA1c, mikroalbuminuria dan laju filtrasi glomerulus ke Laboraturium RSCM. Data diolah dengan menggunakan uji spearman untuk HbA1c dan mikroalbumin dengan hasil r = 0.381 dan p < 0,001 serta uji pearson untuk HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus dengan hasil p > 0,05. Pada penelitian didapatkan terdapat korelasi lemah antara HbA1c dan mikroalbumin serta tidak ada korelasi antara HbA1c dengan laju filtrasi glomerulus.

Diabetes Mellitus is metabolic disease with impairment of insulin secretion and insulin function which marked by hyperglycemia and could lead to diabetic nephropathy complication. Testing for HbA1c is one of the tests to diagnose diabetes mellitus. HbA1c itself is a substance that results from glucose nonenzimatic glycosylation process to hemoglobin. The correlation between HbA1c with microalbumin in urine and glomerular filtration rate is not fully known in Indonesia.
This study is using cross sectional study design on 80 subjects from RSCM laboratory. The data for HbA1c and microalbumin were analyzed using spearman test r 0.381 and p 0,001 and the for HbA1c and glomerular filtration rate were analyzed using pearson test p 0,05. The conclusion are there was a weak correlation between HbA1c and microalbumin in urine and no correlation between HbA1c and glomerular filtration rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Faturrahman Jundi
"Telah dilakukan penelitian dalam mengevaluasi fungsi ginjal pada kasus diabetes melitus menggunakan kamera gamma dan radiofarmaka 99mTc-DTPA. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan korelasi nilai Glomerular Filtration Rate GFR antara pasien diabetes dengan pasien non-diabetes yang dikalkulasi menggunakan metode Gates dan metode Inoue, peta biodistribusi radiofarmaka 99mTc-DTPA, dan radioaktivitas selama pemeriksaan Renogram. Penelitian dilakukan menggunakan pesawat SPECT dan 99mTc-DTPA pada 53 pasien dengan usia di atas 40 tahun, dan 22 diantaranya memiliki riwayat diabetes melitus tipe 2. Nilai GFR terukur mGFR dibandingkan dengan perhitungan manual eGFR menggunakan metode Gates dan Inoue. Pemetaan biodistribusi diambil dari citra statik pada region of interest ROI organ jantung, hati, kedua ginjal, dan kandung kemih. Radioaktivitas dikuantifikasi secara kasar menggunakan nilai cacahan pada peta biodistribusi dan faktor kalibrasi kamera gamma. Korelasi mGFR terhadap eGFR menggunakan metode Gates dan metode Inoue yaitu strongly positive. Peta biodistribusi radiofarmaka menunjukkan nilai cacahan pasien diabetes lebih tinggi pada organ ginjal kiri dan ginjal kanan, dan lebih rendah pada organ jantung dan hati relatif terhadap pasien non-diabetes. Organ kandung kemih tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kedua grup. Untuk radioaktivitas radiofarmaka, aktivitas rata-rata tertinggi terletak pada kedua ginjal.

Research has been conducted to evaluate the renal function on diabetes mellitus case using gamma camera and 99mTc DTPA. The evaluation was performed to determine the difference of correlation of Glomerular Filtration Rate GFR values between diabetic patients and non diabetic patients which were calculated using Gates method and Inoue method, radiopharmaceutical biodistribution of 99mTc DTPA, and radioactivity during Renogram examination. The research was conducted using SPECT and 99mTc DTPA in 53 patients with over 40 years of age, and 22 of them had diabetes mellitus type 2. The measured GFR mGFR values were compared with manual calculations eGFR using Gates and Inoue method. The biodistribution was taken from the static image in the region of interest ROI of the heart, liver, kidneys, and bladder. The radioactivity was quantified roughly using the counts value in biodistribution map and calibration factor. The correlation of mGFR to eGFR using Gates method and Inoue method is strongly positive. The biodistribution map in diabetic patients showed higher values on left and right kidney, and lower values on heart and liver. The bladder showed no significant difference of biodistribution map in both groups. For radioactivities, the highest average activity lies in both kidneys."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Salim
"ABSTRAK
Angka kejadian penderita kanker baik nasional maupun dunia cukup tinggi. Di Indonesia karsinoma nasofaring merupakan jenis tumor ganas terbanyak yang menempati urutan keempat dad seluruh tumor ganas setelah karsinoma serviks, payudara, dan kuiit. Keganasan tersebut sexing terlambat didiagnosis dan mempunyai prognosis yang jelek, meskipun keganasan ini sensitif terhadap penyinaran dan kemoterapi. Namun terapi untuk kanker khususnya kemoterapi mempunyai efek samping yang tidak sedikit terutama obat cisplatin sering menyebabkan nefrotoksis. Pada pasien kanker biasanya sebelum kemoterapi secara nrtin dilakukan pemeriksaan penilaian fungsi ginjal. Penilaian fungsi ginjal dengan bersihan kreatinin (Creatinine Clearance Test= CCT) sering menjadi kendala dalam hal penampungan urin 24 jam. Untuk mengatasinya sering dipakai CCT cara hitung menurut rumus Cockroft dan Gault tetapi dipengaruhi puia banyak faktor yaitu usia, berat badan dan jenis kelamin, Walaupun dikenal uji Baku emas GFR berupa uji bersihan inulin, uji kontras radiologik iohexol atau Cr-ECTA, namun cara-cara tersebut kurang praktis untuk diterapkan secara rutin.
Saat ini telah dioerkenalkan parameter uji baru laboratorium untuk LFG yaitu penetapan kadar Cystatin C dalam darah. Cara baru ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan CCT karena Cystatin C diproduksi oleh sel badan secara tetap, dltras'. babas melalui glomeruli dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal. Cystatin C direabsorbsi oleh tubulus proksimal tetapi Iangsung dimetabolisis dalam sel tubulus proksimal tersebut sehingga tidak masuk ke dalam darah. Pengukurarr Cystatin C cukup dengan kadar dalam darah, tanpa penampungan urin 24 jam.
Pemeriksaan fungsi ginjal dengan kadar Cystatin C saja tanpa dikonversikan menjadi LFG sulit untuk menentukan penurunan derajat ringan, sedang dan berat. Oleh karena itu pemeriksaan Cystatin C dikonversikan dengan menggunakan rumus Amal dan Hoek, tetapi dengan kedua rumus tersebut belum dapat terlihat penurunan fungsi ginjal yang dini karena jumlah sampel kurang memenuhi syarat.

ABSTRACT
The incidence of cancer patients nationally and globally is quite high. In Indonesia, nasopharynx carcinoma is in fourth place among commonly found malignant carcinomas,after carcinomas of the cervix, breast and skin. This malignancy is generally diagnosed late and the prognosis is not good, inspite of its sensitivity to radiation and chemotherapy. Chemotherapy has substantial side effects, especially cisplatin which often causes nephrotoxicity. Before starting therapy for cancer patients, evaluation of renal function are routinely carried out. Evaluation of renal function using Creatinine Clearance Test (CCT) often' encounter problems in 24 hour urine collection. To overcome this, CCT count with Cockroft and Gault formula is usually used, however, this test is also influenced by many factors such as age, body weight and sex. Even though there are GFR gold standard tests for GFR such as inulin clearance test, iohexol radiological contrast test or Cr-EDTA, these tests are not practical to be carried out routinely.
At present, a new laboratory test parameter for GFR is introduced by establishing Cystatin C levels in the blood. This new procedure has a number of benefits compared to CCT because Cystatin C is produced by body cells continually, freely filtrated through the glomeruli and not secreted by the proximal tubule but is directly metabolized inside the proximal tubule, thus does not enter the blood. Cystatin C level can be measured in the blood without having to conduct a 24 hour urine collection.
By carrying out renal function test using solely Cystatin C without conversion to GFR, it is difficult to identify whether the decrease was of mild, medium or severe degree. As the consequence, Cystatin C conversion is done using the Amal and Hoek formulas, however, by using these two formulas early decrease in renal function still could not be detected due to inadequate amount of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cintya Astari Dhaneswara
"NADP terbentuk sejalan dengan pembentukan radikal bebas anion superoksida O2 - yang dapat menyebabkan stres oksidatif dan berujung pada komplikasi ginjal yang disebut dengan nefropati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan radikal bebas O2 - adalah peningkatan angiotensin II pada ginjal dan dapat dihambat oleh penghambat sistem renin-angiotensin, yaitu inhibitor ACE dan ARB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan terapi inhibitor ACE dan ARB dalam mengatasi stres oksidatif yang diukur melalui kadar NADP serum dan dikorelasikan dengan nilai estimasi laju filtrasi glomerulus eLFG sebagai parameter yang sudah sering digunakan untuk menandakan perubahan fungsi ginjal. Kadar NADP serum diukur menggunakan uji NADP /NADPH dengan metode kolorimetri dan nilai eLFG dihitung menggunakan persamaan CKD-EPI. Penelitian ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan Puskesmas Kecamatan Pasar Minggu. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok pasien diabetes melitus tipe 2, yaitu kelompok yang mendapat inhibitor ACE n = 11 dan kelompok yang mendapat ARB n = 25 . Rata-rata kadar NADP serum pada kelompok inhibitor ACE adalah 3,4576 pmol/ml dan pada kelompok ARB adalah 5,6240 pmol/ml p = 0,091, sedangkan nilai eLFG pada kelompok inhibitor ACE adalah 61,109 ml/menit/1,73 m2 dan pada kelompok ARB adalah 66,240 ml/menit/1,73 m2 p = 0,510. Korelasi antara kadar NADP serum dengan nilai eLFG r = -0,032; p = 0,851. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa inhibitor ACE dan ARB tidak berbeda signifikan dalam menurunkan kadar NADP serum dan mempertahankan fungsi ginjal, selain itu tidak terdapat korelasi signifikan antara kadar NADP serum dengan nilai eLFG pada kedua kelompok sampel.

NADP is formed in line with the formation of superoxide anion O2 free radical which can cause oxidative stress and lead to renal complications called diabetic nephropathy in type 2 diabetes mellitus. One of the factors that can increase O2 free radical is increased angiotensin II in the kidneys and can be inhibited by the inhibitor of the renin angiotensin system, ie ACE inhibitors and ARBs. This study aims to determine the comparison of ACE inhibitor and ARB therapy in overcoming oxidative stress measured through serum NADP levels and correlate them with estimated glomerular filtration rate eGFR as a parameter that has been frequently used to indicate changes in renal function. Serum NADP levels were measured using an NADP NADPH assay by colorimetric method and eGFR values were calculated using the CKD EPI equation. This research was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital and District Health Clinics Pasar Minggu. The subjects were divided into two groups of patients with type 2 diabetes mellitus, the group receiving ACE inhibitors n 11 and the group receiving ARBs n 25. The mean serum NADP level in the ACE inhibitor group was 3,4576 pmol ml and in the ARB group was 5,6240 pmol ml p 0,091, whereas the eGFR value in the ACE inhibitor group was 61,109 ml minute 1,73 m2 and in the ARB group was 66,240 ml minute 1,73 m2 p 0,510. The correlation between serum NADP levels and eGFR values r 0,032 p 0,851. The results showed that ACE inhibitors and ARBs did not differ significantly in reducing serum NADP levels and maintaining renal function, and there was no significant correlation between serum NADP levels and eGFR values in both groups."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>