Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 171663 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amiluddin Rabbi
"Berdasarkan dokumentasi yang ada, Kota Jakarta dilanda banjir pada tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976,1996, 2002 dan terakhir di tahun 2007 ini. Banjir di DKI Jakarta yang terjadi pada tahun 1996, 2002 dan 2007 selain menggenangi hampir seluruh penjuru kota juga menjadi tragedi nasional dan perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun.
Mencermati persoalan banjir di DKI Jakarta, paling tidak harus meliputi aspek teknis dan non teknis seperti, aspek kelembagaan, pendanaan penegakan hukum dan sosial (kesadaran masyarakat) yang harus dirumuskan bersama-sama stakeholders. Terjadinya banjir yang disertai dengan peningkatan dampak secara berulang kali mengisyaratkan pengelolaan lingkungan hidup di DKi Jakarta belum berjaian secara baik. Salah satu indikasinya ditunjukkan dengan kelembagaan yang terkait dengan pengendalian banjir belum mampu menyelesaikan permasalahan banjir yang sudah menjadi rutinitas di DKI Jakarta. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah menyusun konsep koordinasi antara institusi/lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir melalui pemahaman tentang: (1) Peran lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta; (2) Pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKi Jakarta; (3) Unsur-unsur yang berpengaruh terhadap pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKl Jakarta.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Ada tiga instrumen yang digunakan dalam penelltian ini, yaitu: (1) pengamatan melalui visualisasi; (2) pencocokan data dan wawancara; dan (3) telaah pustaka. Data yang diperoleh lalu dianalisis dengan menggunakan pendekatan arialisis interaktif dan strength, weaknesses, opportunities, dan threats (SWOT).
Dari hasil penelitian ini ditarik suatu kesimpulan:
1. Peran lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta dapat dibedakan menjadi 2 (duo), yaitu: pertama, peran yang bersifat struktural (teknis), dengan menekankan pada pendekatan pembangunan secara fisik dan berkenaan langsung dengan sistem tata air seperti: mencegah meluapnya banjir sampai ketinggian tertentu dengan tanggul; merendahkan elevasi muka air banjir dengan normalisasi, sudetan, banjir kanal dan interkoneksi; memperkecil debit banjir dengan waduk, waduk retensi banjir, banjir kanal dan interkoneksi; mengurangi genangan dengan polder, pampa dan sistem drainase. Kedua, pengendalian banjir yang bersifat non struktural (non teknis), seperti peringatan banjir lebih dini; resettlement penduduk di dataran banjir dan sempadan sungai; restorasi (penataan ruang), reboisasi dan penghijauan kawasan penyangga; penyuluhan anti pentingnya potensi sumberdaya air (situ, sungai, dan mata air); pengentasan kemiskinan; manajemen pengendalian limbah (domestiklindustri); dan penegakkan hukum. Kedua bentuk peran tersebut saling terkait dan mendukung, namun kenyataanya peran yang bersifat struktural lebih dominan. Berbagai upaya pemerintah DKI Jakarta yang masih bersifat struktural (structural approach) ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir yang terjadi. Dengan demikian, maka penanggulangan banjir yang biasa dilakukan dengan pembangunan fisik semata (structural approach) harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach) yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat sehingga tercapai hasil yang lebih optimal.
2. Pelaksanaan koordinasi antar lembaga yang terkait dengan pengendalian banjir di DKI Jakarta belum efektif, karena berangkat dari tugas pokok dan fungsi yang berbeda-beda, selain itu juga disebabkan karena sifat koordinasinya interrelated, artinya koordinasi antar lembaga yang tingkatannya sama, tetapi secara fungsional berbeda namun satu dengan yang lain bergantungan atau mempunyai kaitan baik ekstem maupun ekstem.
3. Unsur-unsur yang berpengaruh secara internal, adalah (a) eksistensi organisasi perangkat daerah DKI Jakarta; (b) adanya kegiatan pengendalian banjir; (c) tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas; (d) dukungan sarana dan prasarana pengendalian banjir; (e) anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD) DKI Jakarta; (f) tidak adanya forum yang menjembatani koordinasi antar lembaga yang terkait; (g) koordinasi antar lembaga belum berjaian efektif; (h) peran kepemimpinan tidak berjalan dengan baik; (i) lemahnya penegakan hukum; (j) budaya kerja aparatur. Secara eksternal, yaitu (a) berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah; (b) keterlibatan sektor publiklswasta; (c) adanya program tahunan kali bersih (Prokasih); (d) terjadinya siklus tahunan banjir; (e) perubahan tata guna lahan dan tata ruang; (f) meningkatnya populasi penduduk DKI Jakarta; (g) minimnya kesadaran masyarakat; (i) permasalah banjir di DKI Jakarta bersifat lintas wilayah.
Saran-saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) perlunya kesamaan persepsi antar stakeholder, terutama mengenai defenisi banjir; periode ulang banjir; dataran banjir; babas banjir; bantaran sungai; dan sempadan sungai; (2) lmplementasi kebijakan tata ruang secara konsisten dan pemberlakuan peraturan secara ketat; (3) perlunya pengendalian banjir secara terpadu dalam satu kesatuan daerah aliran sungai (restorasi ekologi); (4) pengendalian banjir yang meliputi aspek teknis, kelembagaan, pendanaan, penegakan hukum, dan aspek sosial perlu dirumuskan secara bersama-sama; (5) mengefektifkan situ-situ, sumur resapan dan drainase kota; (6) mengefektifkan program kali bersih (Prokasih); (7) resetllernent penduduk pengokupasi bantaran sungai; (8) koordinasi antar lembaga perlu diwadahi dalam suatu forum; dan (9) hasil penelitian ini perlu ditindak-lanjuti melalui penelitian secara komprehensif.

Based on the existing documents, Jakarta have had several floods in 1621, 1654 and 1918, and then in 1976, 1996, 2002 and the last of 2007. Floods in Jakarta occurred in 1996, 2002 and 2007 were not only stroke the city entirely; they were also national tragedy catching the eyes of the world. The big flood is believed to be relapsed once every five years.
Studying the problems of flood in Jakarta, shall also includes technical and non-technical aspects, as well as institutional aspect, law enforcement funding, and social aspect (the community awareness) which shall collectively formulate by stakeholders. The flood occurrence which concurrent with the increase of impact indicates so many times that life environmental management in DKi Jakarta has not performed well yet. One of the indications is shown by flood management-related institutions that have not been able yet to settle the flood problem which has already been routine occurrence in Jakarta. Therefore, the aim of this research is to arrange the concept of coordination between flood management-related institutions by comprehending on: (1) The role of institutions associated with flood control in Jakarta; (2) The implementation of institutions coordination associated with flood control in Jakarta (3) The elements which is effecting the implementation of institutions coordination associated with flood control in Jakarta
This research is using analytical descriptive method. There are three instruments used in this research; i.e.: (1) Observation through visualization; (2) The matching of data and interview; and (3) Library Research. The data obtained then was analyzed using interactive and strength, weaknesses, opportunities, and threats analysis.
There is conclusion withdrawn from the research.
first, the role of institutions associated with flood control in Jakarta can be differentiated into 2 (two), i.e.: first, structural (technical) role, by emphasizing on physical development approach and is directly concerned to water management system as well as: avoiding flood up to certain .height to the embankment, lowering the elevation of flood water surface by normalization, waterway diversions, flood channeling and interconnection; decreasing water dimension with dam, flood retention dam, channel flood and interconnection; decreasing inundation with polder, pump, and drainage system. Second, non-structural (non-technical) flood management, as well as flood early warning system; resettlement of the inhabitant dwelling on flood area and riverbank, restoration (spatial
arrangement); reforestation of sustaining area; counseling on the importance of water resources (lake, river, and water spring); poverty annihilation; domestic/industrial waste management; and law enforcement. The both roles are inter-connected and inter-sustained, however the fact is that the structural role is dominating. various structural approaches of KI Jakarta Government are still not entirely able to overcome re-occurring flood problem. Therefore, the flood management which usually conducted solely by physical development (structural approach) shall be synergized by non-physical development (non-structural approach) which is providing wider space for community participation to reach more optimum results.
Second, the implementation of coordination among institutions associated with flood control in Jakarta has not been effective yet, since it come from the main duty and different function, in addition, it is also caused by interrelated coordination, which means that coordination of inter-institutions in the same level, but functionally different with interdependent nature or having both intern and extern relation.
Third, the elements which internally affected, i.e. (a) the existence of DKI Jakarta regional apparatus organization; (b) the presence of-flood-management activities; (c) availability of quality human resources; (d) support of flood management facilities and infrastructure; (e) DKI Jakarta regional budget and expense; (f) the absence of forum relating inter-related institution coordination; (g) ineffectiveness of inter-institutional coordination; (h) leadership role which is not funning well; (i) the weakness of law enforcement; (j) apparatus work behavior. Externally, i.e. (a) the effective of Act Number 32 of 2004 regarding Regional Government and Act Number 33 of 2004 regarding Financial Balance between Central and Regional Government; (b) involvement of private/public sector, (c) existence of annual clean river program (Prokasih); (d) occurrence of annual flood cycle; (e) alteration of land use and spatial arrangement; (f) increase of DKI Jakarta inhabitant; (g) low level of community awareness; (i) the flood problems in DKI Jakarta which still have cross-area in nature.
The suggestions proposed in this research are: (1) the needs of similar perception between stakeholders, especially on flood definition, flood periodic occurrence, flood area; flood free area, riverbanks, and riverside; (2) implementation of spatial arrangement policy consistently and effecting tight regulation; (3) the needs of integrated flood management in a unity of river stream area (ecologic restoration); (4) flood management covering technical, institutional, funding, law enforcement aspects, and social aspect shall be collectively formulated; (5) make effective of lakes, absorbent wells and urban drainage; (6) make effective of clean river program (Prokasih); (7) resettlement of inhabitant occupying riverbanks; (8) inter-institutional coordination shall be accommodated in a forum; and (9) the result of this research shall be followed up through comprehensive research."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Setia Damayanti
"ABSTRAK
Kota-kota besar di Indonesia khususnya DKI Jakarta sebagal Iingkungan buatan saat ini mulal menghadapi berbagai masalah Iingkungan, berupa derasnya arus penduduk dari desa dan kota-kota kecil ke Jakarta sehingga kegiatan semakin meningkat yang menuntut kebutuhan akan sarana dan prasarana. Karena sarana- sarana, prasarana yang tersedia semakin tidak memadai dan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah tidak bisa mengejar tuntutan kebutuhan masyarakat yang selalu meningkat mengakibatkan penurunan kualitas Iingkungan kota yang pada akhimya berdampak pada kuailtas hidup masyarakatnya.
Menurut Budiardjo (1991), arsitek adalah seorang yang menggeluti kancah lingkungan buatan dan memiliki tanggung jawab dalam berperansertanya membentuk lingkungan buatan melalui produk arsitektur berupa arsitektur bangunan, arsitektur lansekap, arsitektur ruang dalam, urban design. Sebagai arsitek, mereka tentu memiliki persepsi/pemahaman tentang pengelolaan Iingkungan buatan tempat dirinya berada dan berinteraksi serta berpengaruh pada perilakunya dalam menghasilkan produk arsitektur.
Dari uraian di atas maka masalah penelitian ini adalah bagaimana persepsi arsitek tentang pengelolaan Iingkungan buatan di Jakarta dan bagaimana perilaku arsitek dalam menghasilkan produk arsitek lerhadap pengeloloan Iingkungan buatan di Jakarta.
Dalam penelitian kuantitatif diajukon hlpotesis sebagai berikut:
1. Hipotesis 1: "Ada hubungan signlfikan antara Persepsi arsitek terhadap pengeIolaan lingkungan buatan dengan perilaku arsitek dalam menghasilkan produk arsitekur?
2. Hipotesis 2: "Ada hubungan signifikan antara pengalaman dan pengetahuan arsitek tentang pengelolaan lingkungan buatan terhadap persepsi arsitek tentang pengelolaan lingkungan buatan".
Dalam penelitian kuantitatif secara deskripiif menjawab penelitian sebagai berikut:
"Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku arsitek dalam menghasilkan produk arsitektur"
Kegunaan penelitian ini bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu Iingkungan, arsitektur lingkungan, psikologi Iingkungan. Dari informasi-informasi yang diperoleh, maka dapat dipakai sebagai masukan bagi dunia pendidikan arsitektur, pemerintah dalam rangka upaya pengeloloan Iingkungan buatan di kawasan perkotoan, bagi dunia usaha agar tercipta kedewasaan dalam pelaksanaan pembangunan suatu proyek. dan memberikan dasar bagi penelitian selanjutnya.
Penelitian dilakukan pada arsitek sebanyak 72 orang yang bermukim di wilayah Botabek. Jenis penelitian adalah penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode survai. Metode anauisis data pada teknik pengolohan datanya menggunakan bantuan program SPSS/Pc+ baik secara deskriptif maupun pengujian hipotesis. Data dikumpulkan melalui pengisian kuesioner pada responden, wawancara mendalam dan diskusi untuk melengkapi analisis deskripsi dan kesimpulari statistik.
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara persepsi arsitek terhadap pengelolaan Iingkungan buatan dengan perilaku arsitek dalam menghasilkan produk arsitektur
2. Ada hubungan antara variabel pengalaman dan pengetahuan arsitek dalam pengelolaan lingkungan buatan terhadap persepsi arsitek tentang pengelolaan lingkungan buatan di Jakarta.
Faktor-faktor yang memberikan sumbangan yang berarti terhadap perliaku arsitek dalam menghasilkan produk arsitektur yang tidak berwawasan lingkungan adalah usia, pendidikan, pekerjaan. Sedangkan jenis kelamin dan usia perguruan tinggi tidak memberikan sumbangan yang berarti terhadap perilaku arsitek."
2001
T1598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Ferdi Andi Kamser
"Berangkat dari keinginan memahami “banjir” di Jakarta, saya menyusun pertanyaan untuk memahami adaptasi masyarakat terhadap bencana banjir yang melekat dengan identitas nama Kota Jakarta. Sebagai orang yang juga sering menikmati banjir di Jakarta, saya ingin mengkaji bagaimana masyarakat ‘berdamai’ dengan banjir. Saya kemudian merumuskan kerangka berpikir untuk mengeksplorasi pengalaman sensorik masyarakat dalam menghadapi banjir dan bagaimana pengalaman tersebut mempengaruhi persepsi risiko serta strategi adaptasi mereka. Kerangka analisis yang digunakan saya adalah konsep desensitised disaster perception, sebuah konsep yang menggabungkan unsur-unsur affect dan emotion dalam interaksinya di realitas sosial. Konsep ini mengacu pada bagaimana pengalaman berulang terhadap suatu bencana membuat individu atau komunitas menjadi kurang sensitif terhadap risiko tersebut. Metode penelitian saya meliputi observasi, wawancara mendalam, serta pencarian data publikasi di situs pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di Sunter Muara bersikap tenang selayaknya berdamai dengan banjir. Mereka memiliki cara unik dengan menanam keyakinan bahwa ada daerah lain yang lebih rentan terdampak banjir dibandingkan mereka. Mereka menganggap bahwa kondisi mereka tidak terlalu mengancam bermodalkan pemikiran “tinggi air cuma sebetis.” Adaptasi lainnya pun nampak dari pemanfaatan ruang atap rumah sebagai area mengungsi saat terjadinya banjir. Temuan ini menunjukkan bahwa kebiasaan dan pengalaman menghadapi banjir telah membentuk persepsi masyarakat hingga perasaan panik tak lagi membebani persepsi mereka. Penelitian ini memberi gambaran tentang adaptasi masyarakat Jakarta, terutama di daerah dataran rendah, dalam menghidupi situasi banjir. ‘Berdamai’ dengan banjir menunjukkan adaptasi mereka yang tak hanya diwujudkan secara fisik, tapi juga ketubuhan dan pemikiran.

Starting from a desire to understand the “floods” in Jakarta, the author formulated questions to understand the adaptation of the community to the flood disasters that are closely associated with the identity of Jakarta. As someone who also often experiences floods in Jakarta, the author wanted to study how the community ‘makes peace’ with the floods. The author then developed a framework to explore the sensory experiences of the community in facing floods and how these experiences influence their risk perception and adaptation strategies. The analytical framework used by the author is the concept of desensitised disaster perception, a concept that combines elements of affect and emotion in their interaction within social reality. This concept refers to how repeated experiences of a disaster make individuals or communities less sensitive to the associated risks. The author's research methods included observation, in-depth interviews, and data collection from government websites. The research findings showed that the community in Sunter Muara remained calm as if they had made peace with the floods. They had a unique way of believing that other areas were more vulnerable to floods than their own. They considered their situation not too threatening with the thought, “tinggi air cuma sebetis.” Other adaptations were also evident, such as the use of rooftops as evacuation areas during floods. These findings indicate that the habits and experiences of dealing with floods have shaped the community’s perceptions to the point where panic no longer burdens their perception. This research provides an overview of the adaptation of Jakarta's community, especially in low-lying areas, in living with flood conditions. 'Making peace' with floods shows their adaptation, which is not only manifested physically but also bodily and mentally."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruminingsih
"Kabupaten Karawang yang dikenal sebagai daerah penghasil padi, kini mengalami perkembangan industri yang pesat. Masalah dalam penelitian ini adalah perubahan penggunaan lahan akibat pembangunan kawasan industri dapat meningkatkan risiko banjir. Namun demikian, instrumen perencanaan kawasan belum mementingkan risiko banjir secara komprehensif. Tujuan penelitian ini adalah memberikan konsep perencanaan kawasan industri di daerah rawan banjir untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Metode yang digunakan adalah metode campuran (mixed method). Hasil penelitian menunjukkan: (1) perubahan rona lingkungan akibat perubahan fungsi lahan persawahan dan hutan sekunder menjadi kawasan industri dan permukiman. Luasan lahan terbangun meningkat 126% selama periode 30 tahun; (2) perubahan penggunaan lahan meningkatkan risiko bencana, terindikasi dengan proyeksi fraksi run-off permukaan tanah meningkat sebesar 0,30% pada tahun 2030; (3) Korelasi kuat sebesar 0,731 antara faktor lingkungan dengan dampak banjir. Perencanaan berbasis model risiko bencana dengan mitigasi struktural dan non struktural menjadi pilihan pembangunan berkelanjutan di kawasan industri.

Karawang Regency is known as rice-producing region, now it’s experiencing tremendous industrial growth. The problem in this research is the landuse changes due to the development of industrial areas could increase the flood risk. Nevertheless, the regional planning instrument has not yet comprehensively prioritized the flood risk. This research aims to provide a planning concept for industrial region in flood-prone areas to achieve sustainable development. The method used is mixed method. The study showed: (1) changes in environmental setting were due to landuse changes from rice fields and secondary forest into settlements and industrial areas. coverage of built-up areas is increasing by 126% within 30 years period; (2) landuse changes increase the disaster risk, indicated by the projection of run-off that has 0.30% incline in the Year 2030; (3) The strong correlation of 0.731between environmental factor and flood impact.  Disaster-risk model planning with structural and non-structural mitigation is an option for sustainable development in industrial areas."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Irawati
"ABSTRAK
Banjir di Jakarta sudah terjadi sejak kota Jakarta didirikan, dan upaya penanganannya juga sudah dimulai sejak timbulnya masalah banjir ini pada zaman Belanda. DKI Jakarta dengan luas kurang lebih 65.000 hektar, hanya 30% atau 19.500 hektar yang merupakan wilayah resapan, dan jumlah penduduk mencapai sekitar 10.000.000 jiwa pada tahun 1996, ditambah sekitar 250.000 jiwa pendatang Baru setiap tahunnya, dan pada tahun 1994 wilayah terbangun di Jakarta mencapai 86,5% dengan pertambahan mencapai 2.900 hektar setiap tahunnya, akan menimbulkan banjir yang semakin meningkat setiap tahunnya. Padahal sebagai ibu kota dan urat nadi perekonomian Indonesia, banjir di Jakarta akan sangat mempengaruhi arus lalu lintas serta kegiatan perdagangan dan perekonomian, belum lagi kerugian yang ditimbulkannya cukup banyak; puluhan orang meninggal dunia, ratusan bahkan ribuan rumah rusak, roda perekonomian terhambat, dan tidak berfungsinya sentra-sentra produksi untuk beberapa waktu serta berbagai penyakit yang kemudian timbul sesudalh terjadinya banjir tersebut. Dari pengamatan luas wilayah banjir, terlihat bahwa semakin lama wilayah banjir semakin luas, terutama pengamatan banjir yang dilakukan pada tahun 1979 dibandingkan terhadap wilayah banjir tahun 1996.
Untuk meneliti dan mengkaji wilayah banjir di Jakarta, harus dibedakan dalam tiga bagian genangan, yaitu wilayah aliran berat, wilayah aliran tengah dan wilayah aliran timur Jakarta, hal tersebut didukung oleh adanya pola pengendalian air di DKI Jakarta yang juga terbagi menjadi tiga sistem pengendalian. Di wilayah aliran tengah dan timur Jakarta, air masih dapat dikendalikan sepenuhnya. sedangkan di wilayah aliran barat Jakarta genangan air, baik yang disebabkan oleh hujan lokal maupun hujan dari hulu sangat berat dikendalikan (Martsanto, 1979).
Masalah Penelitian
Atas dasar latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut, maka masalah dalam penelitian ini meliputi:
1. Meneliti berbagai faktor yang mempunyai peluang menjadi penyebah banjir di Jakarta, khususnya di wilayah aliran Barat Jakarta.
2. Meneliti faktor yang dominan menjadi penyebab banjir.
Dengan demikian, maka permasalahan yang diajukan dalam tulisan ini adalah:
1. Mengapa di beberapa wilayah aliran Barat Jakarta luas wilayah banjir pada tahun 1996 semakin meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 1979?
2. Dari faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab banjir, faktor apa yang paling mempengaruhi terjadinya peningkatan luas wilayah banjir tersebut?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Memberikan masukan untuk penataan dan pengelolaan lingkungan mengenai faktor-faktor yang harus diperhatikan agar perluasan wilayah banjir dapat diminimalisasi.
Tujuan khusus penelitian ini yaitu:
1. Menetapkan faktor-faktor yang menjadi penyebab banjir di Jakarta, khususnya di wilayah aliran Barat Jakarta.
2. Menetapkan faktor dominan yang menjadi penyebab banjir di wilayah aliran Barat Jakarta.
Metode Penelitian
Penelitian mengenai wilayah banjir di wilayah aliran barat Jakarta menggunakan metode penelitian ex post facto, yaitu metode yang dipergunakan untuk memilih suatu fenomena causal effect yang telah nyata terjadi di lapangan.
Teknik analisis data untuk mengetahui hubungan kualitatif dan kuantitatif antara variabel dependen (wilayah banjir) dengan variabel independen (intensitas curah hujan, persentase wilayah terbangun, morfologi wilayah, rata-rata ketinggian wilayah, persentase fasilitas drainase, dan persentase penduduk membuang sampah ke badan air) dilakukan dengan:
1. Analisa korelasi pets : dengan cara inelakukan metode pertampalan peta ternatik antara variabel dependen dengan masing-masing variabel independen. Peta tematik untuk masing-masing variabel diperaleh berdasarkan peta tematik yang sudah tersedia, ataupun berdasarkan data tabulasi yang kemudian dipetakan, disesuaikan dengan tujuan penelitian.
2. Analisa statistika : dengan nielakukan uji regresi berganda yang diuji kembali dengan uji ANOVA dan uji T. Uji regresi berganda digunakan apabila parameter dari suatu hubungan fungsional antara satu variabel dependen dengan lebih dan satu variabel independen ingin diestimasikan dalam suatu fenomena dengan asuinsi bahwa model tersebut adalah linier, sedangkan uji ANOVA digunakan untuk menguji kepastian dari persamaan regresi secara total atau disebut juga uji serentak, semen tara uji T dilakukan untuk menguji apakah masing-masing variabel indep en den mempunyai pengaruh tambahan terhadap variabel dependen. Penghitungan dengan metode analisa statistika dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS for Windows Release 7.0.
Hasil Penelitian
1. Hasil Analisis Korelasi Peta:
Banjir pada tanggal 19 hingga 21 Januari 1979, terjadi pads scat intensitas curah hujan 5-15 menit berkisar antara 139-199 mm, sedangkan banjir pada tanggal 10-11 Februari 1996 terjadi pada saat intensitas curah hujan 5-15 menit berkisar wilayah dengan ketinggian kurang dari 10 meter dpl dengan kondisi morfoligi rawa, dan dijurnpai pada wilayah dengan persentase wilayah terbangun mencapai lebih dari 70%.
2. Hasil Analisis Statistik:
Hasil uji regresi berganda menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara luas wilayah banjir dengan intensitas curah hujan, persentase wilayah terbangun, morfologi wilayali, rata-rata ketinggian wilayah, persentase fasilitas drainase, dan persentase penduduk membuang sampah ke badan air, dengan nilai R2 sebesar 0,92. Berdasar uji regresi berganda antara wilayah banjir dengan seluruh variabel bebas, ternyata bahwa 88% kejadian banjir disebabkan oleh pertambahan wilayah terbangun, sedangkan 80% kejadian banjir disebabkan oleh perilaku penduduk membuang sampah ke badan air.
Sementara dari hasil uji regresi dapat dinyatakan bahwa, setiap kenaikan mm intensitas curah hujan akan meningkatkan 0,13 hektar luas wilayah banjir, dan setiap satu persen pertambahan bias wilayah terbangun akan meningkatkan banjir sebesar 0,90 hektar, sedangkan setiap satu persen tambahan penduduk yang membuang sampah ke badan air akan menambah banjir sebesar 0,80 hektar, dan setiap penambahan satu meter ketinggian wilayah akan mengurangi banjir sebesar 0,79 hektar.
Kesimpulan
1. Banjir di wilayah aliran Barat Jakarta merupakan interaksi berbagai faktor, seperti ditemui pada wilayah dengan ketinggian rendah kurang dari 10 m dpl, dengan kondisi morfologi rawer, serta jumlah penduduk membuang sampah ke badan air lebih dari 20%, seperti di Penjaringan, Cengkareng, Kapuk, Rawa Buaya. Paola wilayah yang merupakan cekungan diantara ketinggian 10-30 m dpl, dengan kondisi morfologi dataran rendah alluvial, dan jumlah penduduk membuang sampah ke badan air mencapai lebih dari 15%, seperti di sekitar Bin tare, Tanah Kusir, Slipi, dan Ulujami. Peningkatan luas wilayah banjir terjadi pada wilayah dengan persentase luas wilayah terbangun yang terbesar, seperti di sekitar Penjaringan, Cengkareng, Pesanggrahan, dan Grogol Petamburan. Banjir yang ditemui di wilayah aliran Barat Jakarta, ditemui pada saat intensitas curah hujan 5-15 menit saat itu mencapai 139-199 mm pada tahun 1979, dan pada saat intensitas curah hujan 5-15 menit mencapai 75-150 mm pada tahun 1996.
2. Faktor yang paling dominan mempengaruhi pertambahan luas banjir di wilayah aliran barat Jakarta adalah kondisi lingkungan binaan yaitu pertambahan luas wilayah terbangun dan perilaku penduduk membuang sampah ke badan air.
Saran:
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka pengelolaan banjir untuk meminimalisasi pertambahan luas wilayah banjir sebaiknya dilakukan dengan cara:
1. Pengaturan mengenai besarnya wilayah terbangun di Jakarta, dan menambah jalur-jalur hijau dan hutan kota di seluruh wilayah kota.
2. Ijin mendirikan bangunan sebaiknya diberikan hanya untuk wilayah yang tinggi, dan setiap pengembang atau perorangan yang akan membangun perumahan harus membangun lebih tinggi dari pada banjir yang telah ditetapkan.
3. Sistim pengelolaan sampan perlu dilaksanakan dengan balk, yang tidak hanya melibatkan pihak Pemexintah, namun juga melibatkan pihak swasta dan peran serta masyarakat.
4. Membuat peraturan mengenai keharusan setiap perumahan, dan perkantoran membuat sumur-sumur resapan atau setiap pengembang perumahan membangun kolam-kolam penampungan air hujan serta sistim drainase yang berwawasan lingkungan.

Dominant Factors Influencing Flood Areas (A Case Study of Westside Jakarta Stream Flows)Flood has occurred since the establishment of Jakarta, and the measures to overcome has started since the problem arose during the Dutch regime. With an area of at least 65,000 hectares, the infiltration area covered 30% or 19,500 hectares only. The total population of 10,000,000 people in 1996 has an annual steady increase of 250,000 people every year. The built-up area covered 86,5% in 1994 with 2,900 hectare accretion every year, hence, no wonder if flood problems increase every year. As a capital city and the centre of economic activity in Indonesia, flood problems in Jakarta affected transportation flow, economic and trading activity, and riot to mention the financial loses; many people were . killed, hundreds even thousands houses damaged, economic activity obstructed, and the production center could not operate for a while, contagious diseases occured after the flood too.
For research and assessment of flood area in Jakarta, there are three separated parts; namely the westside stream flow, centerside and eastside stream flow, each supported by the water control management system. Water has been fully managed at the center and eastside stream flow, but it was very difficult to manage flood at the westside stream flow because of local or upper region rain.
Research Problems
Based on the background former mentioned, problems involved in this research are:
1. Examining factors which have an opportunity to be Influencing factors at westside streamflow Jakarta.
2. Examining the dominant causal factor of flood area at the westside streamflow Jakarta.
In terms, the problems being issued in this paper are:
1. Why the innundation area at westside streamflow Jakarta increasing in 199G compared to 1979?
2. What dominant factor which influencing flood area at the westside streamflow Jakarta?
Purpose
General Purpose:
To give some recommendation for environment management condition on the issue of noticed factors to .minimized increasing of flood area.
Specific purpose are:
1. To determine the causal factors of flood area at the westside streamllow Jakarta.
2. To determine the dominant factor which influencing flood area at the westside streamllow Jakarta.
Research Method
For the research of innundation area at the westside stream flow in Jakarta, ex post facto Method is used. It chose the causal effect phenomenon that occured in the field.
The technical data analysis to find out the qualitative and quantitative correlation between dependent variable (flood area) and independent variables (rain intensity, built-up percentage area, morphology condition, elevation condition, drainage facility, and percentage of peoples who throw away the garbage into the river), will was carried out by:
1. Mapping correlation analysis : this was done by overlay, namely the thematic map of dependent variable with every consecutive independent variable map. The thematic map of every independent variable was obtained on the bases of the available thematic map or from tabulation data which was mapped, in line with the objectives of the study.
2. Statistical analysis : by using multiple regression, ANQVA, and T test analysis. A multiple regression analysis will be used when the parameter of functional relationship between one dependent variable with more than one independent variable being estimated in one phenomenon with the assumption that the model is linier, whereas the ANOVA analysis was used to test simultaneous analysis or totally regression analysis, and the T test was used to test whether or not each independent variable has additional influence towards dependent variable. The statistical analysis was done by using the SPSS software for Windows Release 7,0.
Result
1. Mapping Correlation Analysis Results :
Flood at the 19'1' to 21st January 1979 occurred when 5-15 minutes rain intensity are between 139 to 199 mm, and flood at the 10th, to 1114 February 1996, the rain intensity were between 75 to 150 mm. The biggest innundation area found was at the area with less than 10 meters elevation, on the swampland morphology, and more than 70% built-up area.
2. Statistical Analysing Results
The multiple regression analysis showed that there is strong correlation with R2 = 0.92, between flood area and rain intensity, built up area percentage, morphology condition, elevation condition, drainage facility, and percentage of peoples who disposed the garbage into the river. The multiple regression analysis between flood area with all variable independent showed 88% flood phenomenon caused by the rapid built up area, and 80% flood phenomenon caused by people disposing garbage into the river.
Meanwhile the regression analysis results, showed that eves milimeter high rain intensity will increase by 0.13 hectare flood area, and every 1% more built up area will increase by 0.90 hectare flood area, and every 1% more people disposed the garbage, into the river will increase by 0.80 hectare flood area too, but every one meter high elevation area will decrease by 0,'79 hectare flood area.
Summary
1. The flood at westside streamflow Jakarta are result of interacted factors, such found on the low region with less than 10 m elevation, with swamp morphology condition and more than 20% people disposed the garbage into the river. It found at Penjaringan, Cengkareng, kapuk and Rawa buaya area. Flood was found at the basin region between 10-30 m elevation, with alluvial lowland morphology, and more than 15% people disposed the garbage into the river. It found around Bintaro, Tanah kusir, Slipi, and Ulujami. The increasing of innundation area occurred on the rapid built up area, such as around Penjaringan, Cengkereng, Pesanggrahan and Grogol Petamburan. Flood at westside streamflow Jakarta occurred in the 1979 when 5-15 minutes rain intensity reach 139-199 mm, and in the 1996 when 5-15 minutes rain intensity reach 75-150 mm.
2. The dominant factor influencing flood area at the westside streamflow Jakarta are the social environmental eonditions,there are the increasing of built up area and community behaviour disposed the garbage into the river.
Suggestion
Based on actual research, the management effort in handling flood in order to minimize the increasing of innundation area can be issued by:
1. To limit the built up area at Jakarta, which including the green heft and city park addition in a whole town region of Jakarta. Issue a strict building construction code and permit. The permits for build area should be given only for high elevation region, and each developer or individual who built an estate have an obligation to construct the built ground higher than flood plain being settled.
3. To increase garbage system management effort which involve not only local authority but also private groups and community role, and prohibit accumulation of waste as well as prohibit utilization of rivers as waste bowl (waste disposal bowl).
4. Regulations in providing infiltration well on every residential and office or to construct of rain water ponds and drainage system with natural concept to every developer.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Nicorafferta
"Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pemahaman pustakawan dalam penanggulangan bencana kebakaran dan banjir yang sudah dilakukan oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Kota Jakarta Barat dalam menghadapi bencana dan menganalisis faktor apa yang menjadi penghambat dalam melaksanakan penanggulangan bencana di KPAK Jakarta Barat serta menyimpulkan faktor apa yang menjadi pendukung untuk mengatasi hambatan dalam melaksanakan penanggulangan bencana di KPAK Jakarta Barat. Penelitian ini didasarkan atas asumsi keletakan lokasi dari KPAK Jakarta Barat yang rawan ancaman bencana karena lokasinya yang berdampingan dengan Kali Krukut dan asumsi upaya menghadapi potensi kebakaran yang ada. Penelitian ini dilakukan pada pertengahan bulan Juni tahun 2022 dan dilakukan selama 12 bulan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan metode observasi, wawancara, dan melakukan kajian dokumen pendukung yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Hasil penelitian menunjukan bahwa KPAK Jakarta Barat, telah melakukan upaya yang baik dalam menanggulangi kebakaran dengan adanya APAR serta melakukan Manajemen Keselamatan Kebakaran Gedung (MKKG) sebagai faktor yang mendukung rencana penanggulangan kebakaran dan menjadi rencana preventive, preparedness, dan reaction. Namun dengan tidak adanya rencana recovery menjadi faktor penghambat penanggulangan bencana kebakaran di KPAK Jakarta Barat. Untuk penanggulangan banjir perpustakaan mempunyai elevasi yang tinggi dan adanya basement yang menjadi faktor pendukung penanggulangan bencana banjir sekaligus rencana preventive di KPAK Jakarta Barat, untuk rencana preparedness dan reaction perpustakaan menyerahkan semuanya ke UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang bertugas untuk mencegah terjadinya banjir di Kali Krukut. Kesimpulan yang dapat diambil adalah perpustakaan tidak terlalu memfokuskan diri menanggulangi banjir dan lebih memfokuskan diri dalam kesiapan menghadapi bencana kebakaran dikarenakan bencana banjir sudah diserahkan ke UPK Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.

This research aims to identify librarians' understanding of fire and flood disaster management that has been carried out by the West Jakarta City Library and Archives Office in dealing with disasters and analyze what factors are obstacles in implementing disaster management at CLAO West Jakarta and conclude what factors are supporting Overcoming obstacles in implementing disaster management at CLAO West Jakarta. This research is based on the assumption of the location of West Jakarta CLAO which is prone to disaster threats because of its location adjacent to the Krukut River and the assumption of efforts to deal with existing potential fires. This research was conducted in mid-June 2022 and carried out for 12 months. This research uses a qualitative approach, using observation methods, interviews, and reviewing supporting documents relevant to the research being conducted. The results of the research show that West Jakarta CLAO has made good efforts in dealing with fires with APAR and implementing Building Fire Safety Management (BFSM) as a factor that supports fire management plans and becomes a preventive, preparedness and reaction plan. However, the absence of a recovery plan is an inhibiting factor in dealing with fire disasters at CLAO West Jakarta. For flood prevention, the library has a high elevation and the presence of a basement which is a supporting factor for flood disaster management as well as preventive plans at CLAO West Jakarta. For preparedness and reaction plans, the library handed over everything to the UPK of the DKI Jakarta Environmental Service Water Agency which is tasked with preventing the occurrence of flood in Krukut River. The conclusion that can be drawn is that the library is not focusing too much on dealing with floods and is focusing more on preparing for fire disasters because the flood disaster has been handed over UPK of the DKI Jakarta Environmental Service Water Agency."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Neni Herlina Rafida
"Secara geografis, Jakarta dilalui oleh 14 ruas sungai yang membentang mulai dari kanal timur yang berbatasan dengan Bogor sampai ke wilayah tanjung Priok Jakarta Utara. Dipicu oleh perubahan iklim dan pembangunan yang sangat pesat, DKI Jakarta memiliki potensi bencana banjir dan bencana hidrometerologis lain yang cukup tinggi. hal ini menjadikan Jakarta menjadi daerah krisis atau rawan apabila terjadi suatu bencana khususnya bencana banjir. Bencana banjir hampir terjadi di Jakarta setiap tahunnya. Hospital safety Index adalah indikator yang ditetapkan WHO dalam menilai Rumah sakit dalam menghadapi kesiapsiagaan bencana termasuk bencana banjir. Tujuan dari penulisan ini adalah membuat strategi model RS Tangguh bencana banjir berkelanjutan dengan mengambil sampel rumah sakit umum daerah milik pemprov DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan mix method. Pendekatan kuantitatif untuk menilai hospital safety index di RS terpilih dan analisa kualitatif dengan menggunakan analisa SWOT. Hasil yang didapatkan adalah dari lima RSUD yang dipilih sebagai sampel hanya satu RSUD yang dapat dikategorikan sebagai RS tangguh bencana banjir berkelanjutan yaitu RSUD Cilincing dengan nilai 0,9 atau denagn kriteria A. sedangkan RSUD Tarakan; RSUD Kalideres dan RSUD Budhi Asih dengan kriteria B dan RSUD Kebayoran Lama dengan kriteria C. Dengan penilaian ini dapat dijadikan dasar untuk kesiapsiagaan banjir di wilayah DKI Jakarta di masa yang akan datang sehingga dapat menyiapkan Rumah sakit sebagai rujukan pasien pada saat banjir dan menjadikan  rumah sakit yang tangguh bencana banjir berkelanjutan.

As geographically, Jakarta is traversed by 14 river sections that stretch from the eastern canal which borders Bogor to the Tanjung Priok area of North Jakarta. Triggered by climate change and very rapid development, so Jakarta has a fairly high potential for floods and other hydrometerological disasters. This makes Jakarta a crisis or vulnerable area if a disaster occurs, especially a flood. We know that flood disasters almost occur in Jakarta every year. Eventually the Hospital Safety Index is an indicator by WHO to assess hospitals in encounter of disaster preparedness, including flood disasters. The aim of this research is to create a strategy for a sustainable flood disaster resilience hospital model by taking a sample of regional general hospitals belonging to the Province of DKI Jakarta government. This research uses a mix method approach. Quantitative approach to assess the hospital safety index in selected hospitals and qualitative analysis using SWOT analysis. The result obtained were that of the five RSUD only one hospital could be categorized as a sustainable flood disaster resilient hospital that RSUD Cilincing with the score 0,9 or with criteria ; But RSUD Tarakan, RSUD Kalideres adnd RSUD Budhi Asih with B criteria and RSUD Kebayoran Lama with C criteria. This assessment can be used as a basis for encounter flood  in the DKI Jakarta area in the future so that hospitals can be prepared as patient referrals during floods and offcourse can be a hospitals resilient to sustainable flood disasters."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Kurnia
"Salah satu bentuk pengelolaan limpasan permukaan secara off stream adalah pendekatan Low Impact Development (LID). Di daerah hulu LID umumnya diterapkan secara off stream. Penerapan LID ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat hulu seakan dipojokkan untuk mengeluarkan biaya (cost), agar masyarakat hilir yang mendapatkan manfaat (benefit) dalam bentuk tidak kebanjiran. Untuk menghindari hal ini, wajar bila masyarakat hulu mendapat kompensasi sedemikian rupa, dimana sumber dana kompensasi berasal dari daerah hilir, sehingga terjadi subsidi silang. Karakteristik dari pemilihan kompensasi tergantung dari skala penerapan LID. Skala ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan yaitu rumah tangga, komunal dan wilayah. Penentuan bentuk kompensasi selain sumur resapan untuk rumah tangga belum ada penelitiannya. Tingkat kesediaan masyarakat dan bentuk kompensasi ditinjau berdasarkan kesediaan masyarakat berpartisipasi baik individu maupun komunal, dan bentuk kompensasi yang diinginkan masyarakat. Kesediaan masyarakat secara individu dibagi dalam tiga kategori berdasarkan luas lahan yang dimiliki. Penentuan lokasi didasarkan atas dua faktor, pertama : berdasarkan konsep regional groundwater, daerah resapan untuk kota Jakarta mulai dari Kota Depok sampai Puncak dan Cianjur. Faktor kedua : UU No. 15 Tahun 1999 (Depok menjadi daerah TK II) menetapkan Depok sebagai daerah penyangga Jakarta dengan fungsi sebagai daerah resapan dan konservasi. Dengan demikian penelitian ini dilakukan di Kota Depok, Kecamatan Sukmajaya (Kelurahan Sukmajaya, Abadijaya, Mekarjaya). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kesediaan masyarakat berpartisipasi secara individu dalam bentuk penyediaan lahan dan dana pada setiap kategori tidak sama, karena kesediaan berpatisipasi secara individu sangat tergantung kepada faktor lahan dan dana yang dimiliki. Sementara tingkat kesediaan partisipasi secara komunal cukup tinggi, karena responden menganggap pelaksanaan secara komunal efektif. Bentuk kompensasi yang diinginkan masyarakat secara individu adalah konsekuensi teknis, sementara secara komunal adalah reward. Disimpulkan bahwa masyarakat sudah menyadari bahwa pelaksanaan penanggulangan banjir tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga masyarakat. Bentuk tanggung jawab responden dapat dilihat dari kesediaan responden berpartisipasi dalam penanggulangan banjir, walaupun manfaat utama tidak dinikmati. Diharapkan hasil penelitian ini bisa menjadi masukan bagi pembuat kebijakan (decision maker) dalam membuat kebijakan pelaksanaan penanggulangan banjir yang mengikutsertakan peran masyarakat.

This study aimed to determine whether The most recent concept in managing surface runoff is Low Impact Development (LID). On the upstream area of watershed LID is commonly manifestated as an off stream measure in which it?s intensely use residential land or resources. The upstream resident is forced to pay the cost, for the save of downstream resident benefit such as flood free neighborhood. To avoid this unjust situation, it seems pretty fair if the upstream resident received compensation subsidized by downstream resident. It is found that the member of study that adress this issue is still rarely limited. In this study the willingness to participate is analysed based on the individually and as a member of it is communal, classified based on the size their land. Selection of study area is based on 2 factors. The first : the regional groundwater concept, dictate that recharging zone of Jakarta, is starts from Depok City to Puncak and Cianjur Region. The second : UU No.15 1999 stipulate that Depok as recharging zone and conservation area. As such the survey is conducted on Depok City, Kecamatan Sukmajaya (Kelurahan Sukmajaya, Abadijaya, Mekarjaya) The result shows that willingness to participate individually by providing space in their yard and budget, in every category, is depend on the land size and their social welfare level. Communal participation rate is a high since the believed it is more effective. The compensations are expected by individuals in the form of technical necessities, while communal the group expects rewards. It is concluded that the society is already aware that flood prevention actions is not the government?s responsibility only but also theirs.The participant eagerness to take responsible is shown by their enthusiasm to participate even they do not get the benefit directly.This finding expected to be considered by the decision-makers in developing flooding prevention regulations."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
T24625
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>