Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41399 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hejra Dorojatun
"Semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyebabkan cepatnya perubahaan kondisi yang harus segera diantisipasi oleh perusahaan. Produk yang dihasilkan semakin singkat life cycle-nya karena dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama dapat diproduksi produk yang sejenis dengan kualitas yang lebih baik atau dengan harga yang lebih murah. Disamping itu, terdapat pesaing-pesaing baru dari luar negeri yang sebelumnya tidak terfikirkan oleh para manajer. Sekarang akses informasi dengan mudah didapatkan dan transaksi dapat dilakukan tanpa harus dilakukan dengan tatap muka.
Salah satu strategi umum yang dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi kondisi tersebut adalah melakukan reorganisasi perusahaan. Reorganisasi perusahaan bertujuan agar perusahaan lebih efisien dan efektif dalam mejalankan usahanya. Jadi dengan melakukan reorganisasi perusahaan diharapkan kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Salah satu tipe reorganisasi perusahaan adalah melaksanakan penggabungan usaha (merger). Penggabungan usaha adalah penyatuan dua atau lebih perusahaan dimana salah satu perusahaan yang melakukan transaksi tersebut tetap melangsungkan usahanya sedangkan perusahaan lainnya menggabungkan diri dengan perusahaan tersebut. Pengabungan usaha terdiri dari beberapa tipe, salah satu tipe penggabungan usaha adalah triangular merger.
Dalam triangular merger, terdapat tiga pihak yang terlibat. Pihak yang terlibat yaitu induk perusahaan (parent company), perusahaan cabang dari induk perusahaan (subsidiary company) dan perusahaan yang akan diambil-alih (target company). Triangular merger dilakukan dengan cara perusahaan cabang digabungkan dengan perusahaan target. Pemegang saham perusahaan target memperoleh saham perusahaan induk sebagai ganti saham yang dimilikinya pada perusahaan target. PSAK No. 22 mengatur perlakuan akuntansi atas penggabungan usaha. Penggabungan usaha dibagi menjadi dua jenis yaitu akuisisi dan penyatuan kepemilikan. Oleh karena itu, metode akuntansi yang berbeda pun digunakan. Akuisisi menggunakan metode pembelian sedangkan penyatuan kepemilikan menggunakan metode pooling of interest. Ketentuan perpajakan di Indonesia yang menjelaskan paling lengkap tentang penggabungan usaha adalah tahun 1999 dimana diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-23/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999. Ketentuan tersebut berisi penjelasan jenis reorganisasi perusahaan, ketentuan bahwa boleh menggunakan nilai buku. Ketentuan lainnya adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 211/KMK.03/2003 tanggal 14 Mei 2003. tentang Penggunaan Nilai Buku Atas Pengalihan Harta Dalam Rangka Penggabungan, Peleburan, atau Pemekaran Usaha. Perusahaan dapat melakukan penilaian kembali aktiva, secara sukarela maupun terpaksa diharuskan oleh peraturan yang berlaku. Penilaian kembali aktiva diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan. Dengan bolehnya melakukan pemilihan dari alternatif yang ada yaitu menggunakan nilai pasar atau nilai buku, melakukan penilaian kembali aktiva tetap atau tidak merupakan dasar bagi perusahaan untuk melakukan perencanaan perpajakan. Penggunaan nilai buku dan dibolehkannya melakukan penilaian kembali aktiva tetap dapat meningkatkan kesejahteraan perusahaan. Peningkatan kesejahteraan perusahaan melalui penghematan pajak atas transaksi penggabungan usaha. Perencanaan perpajakan atas triangular merger dibahas lebih lanjut. Metode penelitian yang digunakan adalah melalui studi literatur yaitu dengan mengumpulkan, memilih, dan mempelajari bahan bacaan seperti buku-buku literatur, dan sumber-sumber lain, termasuk sumber di internet yang berhubungan pokok bahasan penulisan ini untuk mendapatkan suatu landasan teori dan praktik yang lazim dilakukan perusahaan. Hasil dari studi literatur tersebut selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang terkait dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari hasil analisis, definisi triangular merger belum diatur dalam ketentuan perpajakan di Indonesia. Ketentuan dibawah undang-undang belum mengikuti ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut ketika undang-undang mengalami perubahan.
Kelemahan studi dalam karya tulis ini adalah dikarenakan belum ditemukannya transaksi triangular merger di Indonesia. Namun demikian, dengan banyaknya perusahaan dalam satu grup tidak menutup kemungkinan transaksi triangular merger terjadi di Indonesia. Tingginya tingkat persaingan antara perusahaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah mendorong perusahaan untuk dapat bertahan dan mengembangkan usahanya. Banyaknya peluang dan tantangan tidak hanya berasal dari dalam melainkan juga datang dari luar perusahaan. Untuk itulah banyak perusahaan berusaha mencari upaya mengembangkan usaha dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk hasil maksimal. Pengembangan usaha diikuti dengan suatu restrukturisasi (perubahan struktur perusahaan makin membesar) misalnya dalam bentuk akuisisi (pembelian perusahaan lain, aset maupun saham), penggabungan (merger), peleburan (consolidation), pemekaran unit/cabang (spin off) atau pemecahan usaha (split off). Penggabungan usaha sebagai salah satu restrukturisasi usaha bisa dilakukan baik secara horisontal maupun vertikal. Dengan melakukan penggabungan usaha diharapkan perusahaan lebih efisien dalam mengelola usahanya sehingga dapat tetap kompetitif dalam persaingan usaha. Penggabungan usaha dapat dilakukan dengan membeli harta perusahaan atau membeli saham perusahaan. Untuk penggabungan usaha dengan cara pembelian saham terdapat dua cara yaitu dengan penggabungan usaha secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan membeli saham perusahaan secara langsung baik dibayar dengan uang atau dalam bentuk lainnya saat penggabungan usaha. Cara tidak langsung dengan menggunakan anak perusahaan (subsidiary) saat melakukan penggabungan usaha dengan perusahaan target. Dalam triangular merger transaksi yang dilakukan adalah membeli saham perusahaan target dengan memberikan saham perusahaan induk kepada pemegang saham perusahaan target. Penggabungan usaha merupakan salah satu strategi bisnis. Strategi tersebut dapat berimplikasi pada aspek perpajakannya. Perpajakan yang terkait adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Saat melakukan penggabungan usaha terdapat objek pajak antara lain keuntungan pengalihan harta, penghapusan hutang dan pembagian dividen. Disamping itu dibolehkannya untuk dilakukan revaluasi aktiva tetap dan pengalihan kerugian dari perusahaan yang diakuisisi atau dilebur juga aspek yang perlu dicermati. Bagi perusahaan, aspek perpajakan penggabungan usaha perlu dipertimbangkan disamping aspek-aspek lainnya. Secara umum ketentuan penggabungan usaha telah diatur yaitu dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-23/PJ.42/1999 tanggal 27 Mei 1999 perihal buku panduan tentang perlakuan perpajakan atas restrukturisasi perusahaan. Triangular merger belum diatur secara khusus dalam ketentuan perpajakan di Indonesia. Perusahaan mempunyai pilihan dalam melakukan restrukturisasi perusahaan diantaranya dengan transaksi triangular merger. Dengan semakin banyaknya alternatif pilihan maka perusahaan dapat menyelaraskan aturan perpajakan dengan strategi bisnis yang akan diambil. Strategi yag diambil digunakan untuk mencapai tujuan perusahaan diantaranya untuk memaksimalkan laba. Dalam menyusun tesis ini, kesulitan yang dihadapi adalah kurangnya referensi berkaitan dengan triangular merger. Hal ini terjadi karena di Indonesia hal ini belum lazim digunakan dalam transaksi merger. Untuk penelitian lebih lanjut, dengan terus berkembangnya transaksi merger maka perlu dilakukan analisis transaksi merger yang dilakukan antar negara (cross border merger) yang belum diatur dalam ketentuan perpajakan di Indonesia.

The severe challenges among corporations both in domestic or abroad have encouraged the corporations to sustain and to develop their business. So many chances and challenges do not emanate from inside the company, but also from outside. That is why such companies seek to find the ways to develop their business using so much of chances available to attain maximum results. Business developments followed by business restructuring (the change of structure which is growing bigger) such as in the form of aquitition (purchase of other business, assets or stocks), Merger, Consolidation, Spin ?ff or splitup. Merger as a business restructuring can be executed both horizontally or vertically. By so doing, the such company expects to run the business more efficiently in running the business so that the company can always be competitive in business competition. Merger can be performed through purchasing the assets or the shares of the acquired company. In the merger where the acquiring company purchases shares of the acquired, there are two ways, namely direct merger and indirect merger. Direct merger is a merger where the acquiring company gives cash or other forms of payment in the merger. Indirect merger is a merger where the acquiring company utilizes the subsidiary to merge with the other company. In case of triangular merger, the acquiring company purchases the acquired company through exchanging the shares of the acquired with the shares of parent company. Merger is one of the busuiness strategy. Such strategy has an implication on tax aspects. Tax aspects that bears on the merger are Income tax , Value Added Tax, and BPHTB. When the merger takes form, there are tax objects, among others: Gain on sales of property, debt forgiveness, and dividend distribution. On the other side, the approval of fixed asset revaluation and transfer of loss from the acquired company or consolidation, is also the aspect to be scrutinized. For company, tax aspects of merger need to be deeply considered, without setting aside other important aspects. In general, provision of merger has been regulated in Indonesia, namely with circular letter numbering SE-23/PJ.42/1999 dated 27 May 1999 concerning Manual Book of tax treatment for business restructuring. Nevertheless, triangular merger has not been clearly stipulated in Indonesia. Company has options in restructuring the business, inter alias, with triangular merger. Having so many alternative options, company can harmonize provisions of tax with business strategy to be taken. The assumed strategy is used to meet the purpose of the company, inter alias, to maximize profit. In preparing the thesis, the difficulties found is the lack of reference relating triangular merger. This is it because, in Indonesia, triangular merger is not so commonplace in performing the transaction of merger. For more research, with the increasing interest of merger transactions, it is needed to conduct analyses of merger transaction which is consummated across nations, of which the stipulations have not been regulated."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T23834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaiful Anwar
"Indonesia termasuk melakukan perdagangan dan pengembangan derivatif yang tertinggal. Banyak sekali produk derivatif yang telah diperdagangkan di bursa intemasional tujuannya adalah untuk mengairahkan bursa dan mengembangkan keragaman produk di bursa, secara tidak langsung akan dapat mendongkrak perekonomian suatu negara, dengan investasi hanya beberapa persen dari total investasi atau hanya sebesar premium bisa memberikan keuntungan yang besar bagi investor.
Berbagai Produk derivatif sudah diperdagangkan di Indonesia, baik yang diperdagangkan di bursa maupun di luar bursa. Baik berbentuk option, future, forward dan swap.
Namun demikian peraturan perpajakan yang ada hanya berupa peraturan tentang forward dan swap, sedangkan future dan option belum diatur dalam bidang perpajakan. Artinya peraturan perpajakan yang ada belum mencover secara keseluruhan tentang perdagangan instrumen keuangan derivatif.
Thesis ini yang berjudul perlakuan pajak penghasilan transaksi opsi atas saham mengkaji apa yang menjadi dasar pengenaan pajak dari derivatif kontrak opsi serta bagaimana mekanisme transaksi kontrak opsi dimaksud."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15688
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10118
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
RA. Ira Wardani
"ABSTRAK
Salah satu kegiatan lanjutan yang muncul dalam suatu transaksi pembiayaan konsumen adalah penjualan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang dilakukan oleh pihak kreditur dalam hal debitur gagal bayar (wanprestasi). Dari studi kasus terhadap beberapa Putusan Pengadilan Pajak terkait sengketa PPN sehubungan dengan penjualan AYDA dari kreditur kepada pembeli, terdapat perbedaan pendapat antara DJP di satu sisi dengan kreditur selaku Wajib Pajak dan Majelis Hakim di sisi lain. Analisis perlakuan PPN atas transaksi penjualan AYDA dilakukan dengan menganalisis pendapat yang dikemukakan masing-masing pihak pada ketiga contoh kasus yang diambil dalam penulisan ini. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa transaksi penjualan AYDA dari kreditur kepada pembeli terutang PPN sesuai Pasal 4 huruf a khususnya Pasal 1A ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua tentang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Selain itu dari hasil analisis juga diketahui bahwa peraturan PPN yang ada belum efektif dalam menjaring potensi transaksi penjualan AYDA dari kreditur kepada pembeli.

ABSTRACT
One of the follow-up in a consumer finance transaction is the sale of collateral foreclosed (repossessed collateral) that were carried out by the creditor in case the debtor fails to pay (default). From the case studies of several Tax Court Decision; VAT dispute relating to the sale of repossessed collateral from the creditor to the buyer, there are differences of opinions between the Directorate General of Taxation (DGT) on one side with the Taxpayers as creditors and the Judges on the other side. DGT found that the sales of repossessed collateral by creditors are owed submission of VAT but the creditors (banks and finance companies) as well as the Judges thought that the sale of AYDA is not a VAT payable. Analysis treatment of VAT on the sale of AYDA is done by analyzing the opinions expressed in each of the third party case which is taken in this thesis. The results of the analysis indicate that the sale of repossessed collateral from creditors to the buyers are owed VAT pursuant to Article 4 letter (a) particular paragraph of Article 1A (1) letter (a) VAT Law Number 18 Year 2000 concerning the Second Amendment Act Number 8 of 1983 on VAT Value of Goods and Services and Sales Tax on Luxury Goods. In addition, from the results of the analysis is also found out that the existing of VAT regulations have not been effective in attracting the potential sale of repossessed collateral from the creditors to the buyers.

"
2012
T33759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchamad Rizky Arifiandi
"Kebijakan perpajakan dalam suatu negara akan mempengaruhi perilaku pasar. Dalam hal ini, kebijakan pajak dapat menjadi pendorong ekonomi suatu Negara tau mungkin dapat menurunkan ekonomi negara tersebut. Oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas, diperlukan suatu kebijakan perpajakan yang tepat. Akan tetapi, terdapat kejanggalan pada perlakuan pajak untuk transaksi sale and leaseback. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui apakah surat-surat yang dikeluarkan oleh DJP itu sesuai dengan perlakuan Pajak Pertambanahn Nilai (PPN). Lalu, akan dilihat lebih dalam, mengenai perlakuan PPN terhadap transaksi sale and leaseback telah sesuai. Tiga surat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang akan dibahas, mengenai transaksi sale and leaseback antara lain adalah Surat No. S-2086/PJ.54/1998, yang menyatakan bahwa PPN tidak terutang atas transaksi sale and leaseback, Surat No. S-568/PJ.54/1999, yang menyatakan bahwa PPN tidak terutang atas transaksi sale and leaseback, dan Surat No. 813/PJ.53/2005 yang mengatakan bahwa pada transaksi sale and leaseback dikenakan PPN.
Dalam membuat kebijakan fiskal, ada beberapa prinsip yang harus iperhatikan.
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan antara lain adalah, keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan. Jika dilihat dari surat yang dikeluarkan oleh DJP itu jelas tidak sesuai dengan prinsip keadilan, karena wajib pajak yang berbeda dikenakan pajak yang berbeda. Walaupun terjadi beberapa perubahan pada peraturan pemerintah dan keputusan menteri keuangan, akan tetapi tidak ada perubahan yang signifikan pada undang-undang Pajak pertambahan Nilai sejak tahun 1983 hingga 2000 yang dapat mengubah transaksi sale and leaseback Berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, penyerahan barang kena pajak karena perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing maka dikenakan PPN.
Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa transaksi sale and leaseback terkena PPN. Akan tetapi perlu dilihat secara teliti, bahwa transaksi sale and leaseback merupakan suatu satu kesatuan transaksi, yaitu transaksi keuangan. Yang dimana pada pasal 4A ayat 3 huruf b bahwa jasa dibidang sewa guna usaha dengan hak opsi merupakan jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Oleh karena itu transaksi sale and leasback seharusnya tidak terkena PPN
Tax policy in a country will affect market behavior. In this case, tax policy can be a driving force for a country's economy or it may reduce the country's economy. Therefore, to increase productivity, an appropriate tax policy is needed. However, there are irregularities in the tax treatment for sale and leaseback transactions. The purpose of this paper is to find out whether the documents issued by the DGT are in accordance with the treatment of Value Added Tax (VAT). Then, it will be seen more deeply, regarding the appropriate VAT treatment for sale and leaseback transactions. Three letters issued by the Directorate General of Taxes (DGT), which will be discussed, regarding sale and leaseback transactions include Letter No. S-2086/PJ.54/1998, which states that VAT is not payable on sale and leaseback transactions, Letter No. S-568/PJ.54/1999, which states that VAT is not payable on sale and leaseback transactions, and Letter No. 813/PJ.53/2005 which states that sales and leaseback transactions are subject to VAT.
In making fiscal policy, there are several principles that must be considered. The principles that need to be considered include justice, legal certainty, legality, and simplicity. Judging from the letter issued by the DGT, it is clearly not in accordance with the principle of justice, because different taxpayers are subject to different taxes. Although there have been some changes to government regulations and decisions of the minister of finance, but there are no significant changes to the Value Added Tax law from 1983 to 2000 that can change sale and leaseback transactions. Under the Value Added Tax Law, delivery of taxable goods because the lease and lease agreements are subject to VAT. Therefore, the author argues that sale and leaseback transactions are subject to VAT.
However, it should be seen carefully, that the sale and leaseback transaction is a single transaction, namely a financial transaction. Which is in article 4A paragraph 3 letter b that services in the field of leasing with option rights are types of services that are not subject to VAT. Therefore, sale and leaseback transactions should not be subject to VAT.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10108
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S10149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Melinda Grace Yosefina
"Government needed more income to raise the national budget. They issued instruments to collect income from citizen through debt and foreign currency. Government released Governmental Bonds for domestic market, which sold in retail (ORI) and for international market in foreign currency. Government also presented a law execution regulation to give certainty for the consumers or the taxpayers.
Governmental Regulation Number 6 which published in 2002 distinguished the tax procedure for the bonds which imposed only on transactions tradable and reportable to the stock exchange. Income derived or taken from obligation transaction should be based on a global taxation. While, for the international bonds were given the facilities by the government. We would assume that there was an inequality between the bonds for domestic market and for international market. In global taxation, we should not differentiate the income by the source.
This research used a quantitative descriptive as the research method. The type and data collection techniques used (1) literature research including on various taxation regulations and another related documents and (2) field research using interviews with such related parties as tax academicians, government as issuer and regulator. They gave several opinion which created differences in equity perspective.
Government figured the debt as the best instrument to raise government income. They considered that attracting foreign investor by giving them tax facility was necessary to raise the budget. They named their policy as their budgeting and regulating function. But, we should notice that domestic investor might think the inequality of the tax burden.
Therefore, it was suggested to make a comprehensive and equal policy. Based on tax principle, that tax should be fair and equal. It became fair that tax imposed on the income earned from the same source (instrument) equally. If one of them was given the facility, so the other should be given the same facility."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Sukma Widjaja
"Setiap pihak yang berinvestasi dalam saham mengharapkan dividen dan atau capital gains. Perseroan dalam membagi dividen kepada pemegang sahamnya mempunyai dua cara yaitu secara tunai dan non tunai. Metode non tunai yang terkenal adalah share buy back. Perlakuan pajak atas penghasilan dari transaksi share buy back dapat dikenakan sebagai dividen atau capital gains. Perlakuan sebagai dividen atau capital gains menjadi rumit di lapangan karena adanya beberapa bentuk dan kondisi share buy back yang berbeda. Adanya beberapa bentuk dan kondisi share buy back yang berbeda perlu dipelajari dan dicermati secara baik oleh pembuat kebijakan perpajakan untuk merumuskan bagaimana seharusnya perlakuan perpajakan terhadap penghasilan dari transaksi share buy back yang diterima atau diperoleh pemegang saham. Kebijakan perpajakan diharapkan mengacu kepada hakekat ekonomi yang terjadi dalam setiap Janis transaksi share buy back Dengan demikian asas keadilan, netralitas dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dapat diterapkan dengan baik.
Pokok permasalahan tesis ini adalah bagaimana penentuan obyek pajak atau penentuan dasar pengenaan pajak atas penghasilan dari transaksi share buy back yang diterima atau diperoleh pemegang saham. Penghasilan tersebut diperlakukan sebagai dividen ataukah sebagai capital gains.
Setiap pembagian laba ditahan kepada pemegang saham arahnya menuju ke bentuk-bentuk distribusi dividen termasuk dengan cara share buy back. Untuk itu setiap pengenaan pajak harus didasarkan pada hakekat ekonomi atas transaksi yang sebenarnya. Sehingga tambahan kemampuan ekonomi yang dinikmati wajib pajak yang terlibat dalam transaksi dapat terukur dengan baik. Di dalam Undang-undang PPh disebutkan: setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak (realized income), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia (world wide income), yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun (substance over form principle). Konsep tersebut akan dapat terwujud apabila asas keadilan horisontal dan keadilan vertikal diterapkan dalam tahap pembuatan peraturan sampai tahap implementasinya.
Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian dokumen dan lapangan. Penelitian dokumen dilakukan dengan meneliti hasil karya ilmiah dan ketentuan perudang-undangan di bidang perpajakan, perseroan terbatas, pasar modal, termasuk peraturan pelaksanaannya serta prospektus Wajib Pajak terkait. Metode penelitian lapangan dilakukan melalui wawancara kepada analis sekuritas, konsultan pajak, pejabat Bapepam dan pejabat Ditjen Pajak. Sedangkan teknik penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah deskriptif analitis.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa belum ada ketentuan Pajak Penghasilan yang mengatur secara lengkap, jelas dan menyeluruh tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan dari transaksi share buy back. Oleh karena itu disarankan agar segera dikaji secara seksama semua bentuk transaksi share buy back dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal dan Tax Treaties sehingga dapat dikeluarkan peraturan Pajak Penghasilan yang mengatur secara lengkap, jelas dan menyeluruh tentang perlakuan perpajakan atas penghasilan dari transaksi share buy back.
Pokok-pokok yang perlu diatur antara lain: menegaskan bahwa sumber dana share buy back dari laba ditahan merupakan pembagian dividen; dasar pengenaan dividen dari share buy back proporsional adalah atas seluruh pembayaran tetapi jika non proporsional atas selisih harga jual dan beli saja; pada saat menerima/memperoleh penghasilan share buy back tetap sebagai pemegang saham diperlakukan sebagai dividen tetapi jika bukan pemegang saham lagi penghasilan tersebut diperlakukan sebagai capital gains; kepemilikan saham secara efektif tidak berubah setelah share buy back merupakan dividen atas seluruh pembayaran tetapi jika berubah pengenaan dividen hanya atas selisih harga jual dan beli.
Untuk mempertahankan prinsip keadilan dan netralitas sebaiknya tarif pajak atas dividen dari berbagai bentuk transaksi share buy back mengacu pada Pasal 23 UU PPh yaitu 15% dan memperhatikan realisasi penghasilan yang sesungguhnya. Atas penghasilan tersebut digabungkan dengan penghasilan lain (global income/global taxation) dan dikenakan satu macam tarif progressif yaitu tarif Pasal 17 UU PPh dengan memperhitungkan pajak yang telah dipotong sesuai definisi penghasilan yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12358
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>